Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #2: Nama Tidak Berganti, Namun Kondisi Terus Berubah
Nama Gedebage dikenal di era kolonial Belanda sebagai halte kereta api, kawasan hijau dengan hamparan sawah dan habitat hewan buruan, juga daerah langganan banjir.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
12 April 2024
BandungBergerak.id – Secara administratif, saya tinggal di Kelurahan Babakan Penghulu, Kecamatan Cinambo. Dulu, sebelum pemekaran tahun 2007, wilayah Cinambo berada di bawah administratif Kecamatan Ujungberung. Luasnya tidak seberapa, tetapi di sepanjang jalan Cinambo, terdapat pabrik-pabrik yang hampir selalu bisa ditemui dari arah selatan hingga ke sebelah utara. Pabrik-pabrik ini menampung banyak kaum pendatang dari bermacam daerah, termasuk mereka yang kini masih tinggal di sekitar rumah saya.
Zaman berubah, maka satu per satu pabrik-pabrik itu mati. Para buruh merasakan dampaknya. Ada yang di-PHK, tetapi sebagian lainnya ada yang mengundurkan diri sebelum perusahaan itu berhenti. Akhirnya mereka yang semula bekerja sebagai buruh pabrik, tidak sedikit yang banting setir menjadi pedagang. Dari berjualan, mereka bahkan memperoleh penghasilan yang layak. Mereka juga mengumpulkan uangnya itu untuk membeli tanah, lalu mereka membangun rumah-rumah sampai menetap menjadi warga setempat. Namun banyak juga yang terpaksa kembali ke kampung halamannya, karena nasib perekonomian yang semakin memburuk. Semua itu berjalan dari waktu ke waktu di sebuah kawasan dengan nama Gedebage yang selalu melekat.
Sampai hari ini, nama Gedebage tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas masyarakat yang berada di kawasan Cinambo. Meski telah berganti status administratif, warga seolah senang menyebut Gedebage sebagai tempat mereka berpijak. Salah satu alasannya, yakni bahwa di kawasan ini akses perputaran ekonomi cukup terjangkau dibandingkan dengan daerah lain dengan berbagai indikasinya. Sebut saja seperti pabrik, pusat perbelanjaan, kompleks-kompleks perumahan yang terus bermetamorfosis, bahkan mall yang baru saja diresmikan beberapa bulan yang lalu.
Baca Juga: DATA PENDUDUK KECAMATAN GEDEBAGE 2008-2023: Jumlah Warga Terus Meningkat Seiring Menjamurnya Pembangunan
Data Luas Sawah di Gedebage 2014 dan 2021: Menyusut Deras Tergusur Pembangunan
Yang Hilang Ditelan Tembok di Gedebage #1: Bermula dari Rumah
Kawasan Hijau di Jalur Transportasi
Sejak masa kolonial nama Gedebage telah menempati posisi penting sebagai jalur transportasi, terutama untuk jalur pemberhentian kereta api. Dokumen-dokumen sejarah yang muncul pada tahun 1900-an banyak menyebut kawasan ini sebagai halte kereta api seperti tercantum dalam Staatspoorwegen op Java Westerlijnen Tijdtafels van de Facultatief treinen (1909) maupun koran-koran sezaman seperti dalam De Nieuwe Vorstenlanden 5 Oktober 1928. Memang, sejak dibukanya jalur keretaapi di Bandung pada tahun 1884, Gedebage merupakan salah satu kawasan pertama yang dibangun untuk jalur itu. Lalu sampai sekarang jalur kereta api ini terus diperbarui tidak hanya sebagai halte tetapi telah menjadi stasiun megah dengan fasilitas penunjang.
Selain terdapat jalur kereta api, Gedebage pada masa kolonial juga merupakan tempat yang cocok untuk berburu bila musim hujan tiba. Sebuah laporan dari De Preangerbode 10 Desember 1912 menunjukkan bahwa kala itu puluhan pemburu memasuki area persawahan Gedebage dengan menggunakan mobil, sepeda, dan ada pula yang berjalan kaki. Sementara objek perburuan diarahkan pada ayam-ayaman, sejenis burung yang ukurannya sebesar ayam berwarna cokelat. Konon, dari perburuan ini, para pemburu mendapat 92 ekor hasil tangkapan, dan melanjutkan perburuannya itu ke persawahan Rancaekek, Majalaya, Haurpugur, Sapan, Cangkring, dan Bojongsoang.
Jika melihat kondisi di masa-masa itu, Gedebage tergambar sebagai kawasan hijau yang membentang sawah dari utara ke selatan. Namun bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, area persawahan disertai dengan habitat hewan-hewan yang mendiaminya kian terkikis seiring pembangunan ruang-ruang untuk kalangan elite yang begitu masif. Mungkin, pada awal 2000-an, saya bisa menikmati sebagian alam di Gedebage yang masih tersisa. Kala itu, aliran sungai tidak begitu deras, beberapa petak kebun singkong sekitar hamparan persawahan selalu menjadi tempat yang indah untuk didiami. Biasanya, selepas pulang sekolah saya selalu menghabiskan waktu di sana bersama beberapa orang teman. Jarak dari sekolah kurang lebih sekitar satu kilometer ke arah selatan, dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak kami tiba di sana tidak lebih dari 20 menit.
Pada masa Hindia Belanda, nama Gedebage sering diidentikkan dengan kawasan Ujungberung. Saya tidak tahu persis kapan Gedebage mulai masuk dalam catatan orang-orang Belanda. Tetapi koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch Indie yang terbit pada 5 Desember 1925 memberikan gambaran bahwa Gedebage pada saat itu merupakan suatu kawasan yang berdekatan dengan Ujungberung. Koran itu menyebut Gedebage sebagai sebuah desa di sebelah timur Ujungberung. Penyebutan ini berkaitan dengan peristiwa angin puting beliung yang menghancurkan 48 rumah termasuk bangunan stasiun Gedebage yang dibuat luluh-lantah.
Daerah Langganan Banjir
Jika Anda membayangkan hujan besar datang, lalu ketika itu Anda sedang berada di Gedebage. Seketika Anda akan merasa khawatir bahwa hujan akan menenggelamkan Anda, bahkan mungkin akan terjebak dan kehilangan arah untuk pulang. Perasaan ini tentu saja bukan sekadar bawaan dari pikiran, tetapi sudah menjadi semacam fakta yang tidak bisa terbantahkan. Gedebage dan banjir merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, kondisi ini sudah terjadi sejak hampir satu abad silam ketika area ini masih terbentang hamparan sawah.
Tengok misalnya, pada sebuah laporan De Koerier 23 Januari 1933. Berita ini menyebutkan bahwa Gedebage tengah menjadi sorotan karena dilanda banjir besar dengan ketinggian 1,2 meter. Sawah-sawah yang berada di area itu terendam parah sepanjang kurang lebih 6 kilometer yang membentang jarak antara Gedebage-Sapan. Banjir juga berimbas pada sejumlah desa seperti Cimincrang, Cipadung, Rancakuntul, Rancabiuk, dan Rancakacang, serta menenggelamkan tempat tinggal warga.
Demikianlah serangkaian peristiwa tersebut hanya contoh kecil dari berbagai peristiwa banjir yang selalu muncul beriringan dengan curah hujan tinggi. Wajar bila nama Gedebage sering disebut-sebut sebagai daerah rawan banjir, sehingga tidak sedikit orang enggan melewati jalur ini. Sialnya, ketika wilayah ini mempunyai problem secara ekologis, para korporat bisa-bisanya menggerus lahan-lahan persawahan lalu digantikan oleh ruang-ruang beton yang mereka sebut sebagai hunian asri antibanjir. Tentu saja slogan ini tidak diperuntukkan bagi mereka kalangan tunawisma, karena tempat tinggal yang nyaman hanyalah angan-angan bagi rakyat kecil.
* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Hafidz Azhar, serta artikel-artikel lain tentang Gedebage