• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #42: Ulang Tahun ke-15 dan Kunjungan Ketua Volksraad

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #42: Ulang Tahun ke-15 dan Kunjungan Ketua Volksraad

Ketua Volksraad Mr. W. H. van Helsdingen berkunjung ke kantor redaksi Sipatahoenan pada 25 April 1938.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Halaman pertama yang menampilkan tulisan besar tentang titimangsa ulang tahun Sipatahoenan yang ke-15. (Sumber: Sipatahoenan, 20 April 1938)

1 Mei 2024


BandungBergerak.id – Pada halaman pertama edisi 20 April 1938, Sipatahoenan menampilkan tulisan besar berbunyi “20 April 1923 – 20 April 1938 Sipatahoenan 15 Taoen”. Tulisan tersebut menandakan bahwa koran itu tengah mengabarkan titimangsa ulang tahunnya yang ke-15. Meskipun sebenarnya setelah menelusuri edisi-edisi lama, 20 April 1923 bukanlah tanggal mulai diterbitkannya Sipatahoenan. Karena yang benar seharusnya  1 Juli 1924.

Betapa pun, mari kita simak keterangan yang diungkapkan Mh. K alias Mohamad Koerdie yang menjadi pemimpin redaksi Sipatahoenan, di bawah tulisan besar itu, dengan tajuk “15 Taoen”. Ia mengungkapkan sekilas sejarah penerbitannya di bawah pimpinan Ahmad Atmadja, ketua Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya, 15 tahun yang lalu. Termasuk kesukaran yang harus dihadapinya, karena saat itu pemerintah kolonial tengah menjalankan kebijakan yang represif terhadap pergerakan bumiputra. Oleh karena itu, kata Mh. K, jangankan membayangkan dapat menempuh 15 tahun, saat terbit edisi pertamanya saja sudah dibayangi kekhawatiran apakah dapat menerbitkan edisi kedua, dan seterusnya.

Dalam kata-kata Mh. K terbaca: “15 taoen ka toekang, hoesoesna koe alpoekah djrg. Ahmad Atmadja, harita Voorzitter tjabang Pasoendan Tasikmalaya, dilahirkeun weekblad satjewir, ngaranna ‘Sipatahoenan’. Dina mangsa eta, mangsa kiroehna pergerakan politiek, hebatna bezuiniging anoe didjalankeun di ieu djajahan, Sip atawa noe ngamoedi Sip teh njanghareupanana mangsa noe rek kasorang pohara lewangna. Teu loedeung ngawangwang oemoer nepi ka 15 taoen teh, boro2 sakitoe, sataoen oge dina pertanjaan gede pisan. Noe djadi bakoe dina ngaloearkeun nomer kahidji, nginget2 koemaha kaloearna (dikaloearkeunana) nomer kadoea; ...”

Kata Mh. K, berbilang tahun, bulan, minggu, hari, jam, dan menit telah dilalui oleh Sipatahoenan. Segala pengalaman yang enak dan tidak mengenakkan, pengalaman yang pahit dan manis, anugerah dan cobaan, telah dirasainya pula. Sekarang koran tersebut tinggal menghadapi garapan esok hari, esok lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan dan lain-lain (“Ajeuna kabeh geus kalakonan, keur Sip tinggal sorangeunana, isoek, pageto, minggoe hareup, boelan hareup, taoen hareup enz”).

Pada edisi yang sama, E. M. Dachlan menulis untuk rubrik “Notitie” dengan judul “Sipatahoenan 15 Taoen: 20 April 1923! 20 April 1938!”. Katanya, bagi pegawai Sipatahoenan maupun para langganannya, hari ini tentu saja takkan bisa dilupakan, mengingat agak langka ada surat kabar Indonesia yang mampu bertahan hingga 15 tahun, sebab banyak sekali gangguannya (“Keur pagawe Sipatahoenan, nja kitoe deui anoe djadi langgananana, ieu powe teh tangtoe henteu bisa dipopohokeun, sabab noeroetkeun kaloembrahan, di kalangan Indonesier anoe teu atjan sawawa dina sagala djihatna, soerat kabarna nepi ka ngalaman 15 taoen teh beunang diseboetkeun rada langka, toemali djeung ganggoean kana hiroepna lain loemajan”).

E. M. Dachlan bahkan menyatakan sekarang Sipatahoenan telah “djadi lijfolad-na Pagoejoeban Pasoendan!” (menjadi lijfolad-nya Paguyuban Pasundan); “Sipatahoenan djadi batjaanana oerang Pasoendan!” (Sipatahoenan menjadi bacaannya orang Pasundan!); dan “Sipatahoenan djadi tarompetna pikeun kamadjoean Soenda heureutna, legana Indonesia” (Sipatahoenan menjadi terompetnya kemajuan khususnya Sunda, umumnya Indonesia). Selanjutnya, ia menguraikan secara kronologis sejarah penerbitan Sipatahoenan yang berpautan dengan percetakannya, perintisnya, redaktur dan pemimpin redaksinya, kepindahannya dari Tasikmalaya ke Bandung, direksinya, pembelian Drukkerij Pengharepan, dan pemindahan kantor di Bandung.

Untuk menyambut momen bersejarah itu, Sipatahoenan menerbitkan buku peringatan setebal 60 halaman, yang dihiasi berbagai potret para penulis yang memberikan ucapan ulang tahun. Seperti dari Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dan para pemuka lainnya (“ngahadja Sipatahoenan midamel boekoe pangeling-ngeling anoe kandelna moal kirang ti 60 katja, dipapaesan koe roepi-roepi potret anoe njarerat ngawiloedjengkeun ti antarana nja eta ti Kangdjeng Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat [Kangdjeng Ideler Pangsioen] sareng ti kalangan gegeden2 anoe sanesna”).

Bagi para langganan Sipatahoenan yang biasanya menerima kiriman via pos, buku peringatan diberikan secara percuma, asal disertai dengan kiriman uang sebesar sepuluh sen untuk biaya perangko (“Kangge abonnes’s Sipatahoenan anoe biasa nampina ti post, oepami palaj eta boekoe kedah ngintoenkeun kangge parangkona 10 sen”).

Selanjutnya pada rubrik “Panganggoeran” ada pula tulisan pendek bertajuk “15 taoen” yang sama-sama membahas mengenai ulang tahun Sipatahoenan. Penulisnya menegaskan Sipatahoenan pertama diterbitkan pada tanggal 20 April 1923. Selebihnya ia menyebut usia 15 tahun adalah usia yang sedang dalam masa produktif, sedang kuat-kuatnya, dan mengibaratkannya sebagai gadis yang termasuk sudah bisa diajak menikah (“Poegoeh bae, lamoen di djelema mah ajeuna teh keur meudjeuhna boeta toelang boeta daging, di awewe sedeng mandjing ekah, sah ditoengtoen [dikaleng atoeh!] ka bale njoengtjoeng”).

Keesokan harinya, pada edisi 21 April 1938, ihwal ulang tahun itu ditulis lagi dalam rubrik “Panganggoeran” dengan judul “20 April”. Ternyata, pada 20 April 1938 itu diselenggarakan kenduri dadakan untuk memperingati hari bersejarah khususnya untuk para awak Sipatahoenan (“Atjan pok nanjakeun, geus ngeng kadenge noe idjab kaboel, Oom Elon, magar ieu teh hadjat dadakan keur korawa Sip, di oenggal apdeling, drukkerij, zetterij, administratie, enz”).

Oto Iskandar di Nata, Swarha, dan Mr. W. H. van Helsdingen dipotret oleh Aloen di kantor Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan,  26 April 1938)
Oto Iskandar di Nata, Swarha, dan Mr. W. H. van Helsdingen dipotret oleh Aloen di kantor Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 26 April 1938)

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #39: Lampiran Aoseun Moerangkalih dan Kaboedajan
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #40: Tanda Tanya untuk Pemerintah Kolonial
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #41: Punya Percetakan Sendiri sejak 1 Agustus 1936

Kongres Pasundan XXII dan Kunjungan Ketua Volksraad

Lima hari sebelum hari jadi Sipatahoenan diperingati, Pengurus Besar Paguyuban Pasundan menyelenggarakan kongresnya yang ke-22 di Pasoendanschool, Sukabumi. Saya pertama kali melihat pengumumannya dalam “Programma Congres Pasoendan ka XXII, 14-17 April 1938 tempatna di Pasoendanschool Soekaboemi” dan dimuat dalam edisi 7 Maret 1938.

Salah satu mata acara yang diselenggarakan pada kongres tersebut adalah pelaporan keadaan Sipatahoenan dan percetakannya (“Verslag Sipatahoenan sareng Drukkerij”) pada hari Jum’at tanggal 15 April 1938. Dengan adanya mata acara itu, saya jadi memperkirakan bahwa pelaporan tersebut berisi pencapaian-pencapaian yang telah diraih oleh Sipatahoenan selama 15 tahun. Bahkan patut diduga pula, dalam acara tersebut gagasan dan rencana penerbitan buku peringatan ke-15 tahun sudah mulai dibicarakan dengan  hadirin peserta pertemuan.

Adapun penerbitan dan pencetakan bukunya sendiri dalam pengumuman tanggal 25 April 1938 dinyatakan akan dilakukan bulan depan, atau Mei 1938. Dalam pengumuman berjudul “Boekoe Pangeling-eling: ‘Sipatahoenan 15 Taoen’” itu dikatakan “Baris dikaloearkeun boelan hareup” (akan diterbitkan bulan depan). Seperti yang dibilang E.M. Dachlan, jumlah halaman bukunya setebal sekitar 60 halaman, ditambah keterangan baru yaitu memakai kertas halus berbobot 28 kg/rim dengan format 22x32 cm (“Ditjitak dina kertas lemes, kandel, noe bobotna 28 kg/riem; kandelna ± 60 katja, formaat 22 x 32 cm”). 

Sementara isinya bunga rampai tulisan yang penting karya mantan anggota Volksraad (dewan rakyat), bupati, nasionalis/anggota Volksraad, politisi, ekonom, ahli-ahli lainnya dan para jurnalis. Buku tersebut disebarkan secara gratis kepada semua langganan Sipatahoenan, asal memberikan ongkos untuk membungkusnya dan mengirimkan uang sebesar f. 0,10 atau satu ketip (“Baris disebarkeun pertjoemah ka kabeh langganan [adverteerders] Sip, asal aja ongkos keur moengkoes djeung ngirimkeunana bae f. 0,10 [saketip]!”).

Berbicara mengenai Volksraad, ternyata dalam momentum hari ulang tahun Sipatahoenan yang ke-15 ketuanya Mr. W. H. van Helsdingen direncanakan akan mengunjungi kantor surat kabar itu persis pada hari peringatannya, 20 April 1938. Namun, sayang, karena ada halangan, kunjungannya diundur menjadi 25 April 1938. Hal ini saya dapatkan keterangannya dari berita berjudul “Voorzitter Volksraad ka Bandoeng: Djadi tatamoena djrg. Oto Iskandar” (Ketua Volksraad ke Bandung: Menjadi tamu Oto Iskandar di Nata).

Dari berita yang disiarkan dalam edisi 23 April 1938 itu dikatakan “Sakoemaha anoe diterangkeun dina ieu soerat kabar, Mr. W. H. van Helsdingen, voorzitter Volksraad bakal soemping ka Bandoeng. Tadina bakal soempingna ka ieu kota teh dina tanggal 20 boelan ieu, tapi koe lantaran aja halangan, djadina pisoempingeun teh dina powe Senen pageto tanggal 25 April 1938”.

Di antara agenda yang akan dilakukan Mr. W. H. van Helsdingen setibanya di Bandung dengan mengendarai kereta cepat Vlugge Vier (Si Empat Cepat) pada jam 08.45 adalah berkunjung ke rumah Said Wiratmana Abdurrachman Hasan (Swarha)  di Kopoweg 17 untuk sarapan. Setelah itu, sang ketua akan berkunjung ke kantor Sipatahoenan dan Drukkerij Pengharepan (“Poekoel 8,45 dina Vlugge Vier soemping ka Bandoeng. Ti dinja moeroe ka boemina Djrg. Swarha di Kopoweg 17 [sarapan endjing2]. Sanggeus sawatara lilana teroes ka kantoor Sipatahoenan djeung Drukkerij Pengharepan”).

Secara rinci, laporan kunjungan Mr. W.H. van Helsdingen ke kantor Sipatahoenan dimuat dalam edisi 25 April 1938 dengan tajuk “Ti Hertogspark ka Bantjeuj ...” (Dari Hertogspark ke Banceuy). Di antara yang dilaporkan di dalamnya adalah “Sanggeus Volksraad njatetkeun oemoer 20 taoen, kakara ajeuna, powe ieu aja voorzitter-na anoe kersa roeroempaheun soemping ka kantor soerat kabangsaan Rayat, Sipatahoenan. Sanggeus Sip njatetkeun oemoer 15 taoen, kakara ajeuna, powe ieu meunang kahormatan disoempingan (dilinggihan) koe Voorzitter Volksraad. Lebah dieu, Hertogspark djeung Bantjeuj teh amprok atawa saloejoe!”

Artinya, setelah Volksraad berumur 20 tahun, baru sekarang, hari ini ada ketuanya yang berkenan berkunjung ke kantor surat kabar kebangsaan rakyat, Sipatahoenan. Setelah Sipatahoenan berumur 15 tahun, baru sekarang, hari ini mendapatkan kehormatan dikunjungi ketua Volksraad. Dalam hal ini, Hertogspark dan Banceuy bertemu atau berkesesuaian.

Di kantor Sipatahoenan, dipandu oleh Oto Iskandar di Nata (direktur Sipatahoenan) dan Swarha, Mr. W.H. van Helsdingen mula-mula mengamati redaksi, kemudian administrasi, seting, percetakan, dan lain-lain. Hal ini dilakukannnya setelah dipertemukan dengan semua personil Sipatahoenan dan Pengharepan (“Di Sip ningalian sagala roepa kaajaan pagawean, pangheulana bagian redactie, teroes administratie, zetterij, drukkerij dj.s.t., sabada ditepangkeun ka kabeh personeel Sipatahoenan djeung Pengharepan”).

Sebelum meninggalkan kantor Sipatahoenan, oleh Oto Iskandar di Nata, ketua Volksraad diminta untuk berpotret terlebih dulu oleh fotografer Aloen, untuk arsip peringatan Sipatahoenan. Namun, karena dipotretnya pada jam 10.00, sehingga sangat terlambat untuk dapat dimuat dalam edisi 25 April 1938. Oleh karena itu, potret yang memperlihatkan Oto Iskandar di Nata, Swarha, dan Mr. W. H. van Helsdingen disusulkan pemuatannya pada edisi 26 April 1938.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//