• Berita
  • Membaca Perjanjian Dewan Pers dan Kemenristekbud di Tengah Marak Tekanan terhadap Pers Mahasiswa

Membaca Perjanjian Dewan Pers dan Kemenristekbud di Tengah Marak Tekanan terhadap Pers Mahasiswa

Perjanjian Dewan Pers dan dan Kemenristekbud mendapat reaksi beragam dari persma. Bagaimana perlindungan persma-persma di kampus di bawah Kementerian Agama?

Nabil, Cindy, Akmal, Farhan menyampaikan pendapatnya tentang perjanjian kerjasama Dewan Pers dengan Kemenristekbud di Hotel Tebu, Bandung, Jawa Barat, 20 April 2024. (Foto: Raja Ilham Maulidani Gumelar/BandungBergerak.id)

Penulis Raja Ilham 3 Mei 2024


BandungBergerak.idSejarah pers mahasiswa tak terpisahkan dari dinamika perjalanan bangsa Indonesia. Sejak awal abad ke-20, pers mahasiswa telah menjadi tonggak penting dalam membangun kesadaran nasionalisme, memperjuangkan hak-hak demokrasi, dan menyuarakan keadilan. Hingga sekarang, persma tetap menjadi corong bagi mahasiswa untuk menyalurkan kritiknya.

Namun, perjalanan panjang pers mahasiswa tidak lepas dari tantangan dan hambatan. Mereka menghadapi tekanan, sensor, dan intimidasi yang bentuknya beragam, mulai dari pembredelan surat kabar, penangkapan wartawan mahasiswa, hingga ancaman terhadap kebebasan berekspresi.

Kini, kabar baik datang dari Dewan Pers yang menerbitkan perjanjian kerja sama antara Dewan Pers dan Kemenristekbud pada 18 Maret 2024. Perjanjian ini memuat tentang peningkatan kompetensi mahasiswa dalam aktivitas jurnalistik di lingkungan perguruan tinggi, penyelesaian sengketa yang timbul dari aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi, pelaksanaan merdeka belajar kampus merdeka bagi mahasiswa yang dilaksanakan secara mandiri oleh Dewan Pers, lalu pertukaran data dan informasi yang relevan tentang tujuan perjanjian kerja sama.

Perjanjian Dewan Pers dan Kemenristekbud seakan secercah harapan di tengah rentannya posisi persma. “Mungkin ini semacam inisiatif ya dari Dewan Pers buat memberikan perlindungan hukum kepada pers mahasiswa yang emang selama ini hanya bersandar kepada UU kebebasan berekspresi,” ujar Nabil Haqqilah, Pimpinan Umum LPM Isolapos Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, kepada BandungBergerak.idm 21 April 2024.

Nabil berharap surat perjanjian ini membuka kembali kasus-kasus pers mahasiswa yang terbredel oleh kampus. “Karena bagaimana pun pers mahasiswa itu sangat dibutuhkan di kampus-kampus sebagai pilar keempat demokrasi,” ujar Nabil.

Farhan Anfasa, pimpinan penelitian dan pengembangan LPM Suara Mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) juga mengapresiasi Dewan Pers terkait perjanjian kerja sama ini. Langkah ini akan membantu pers mahasiswa dalam peningkatan kompetensi jurnalistik.

Data jumlah kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak di tahun 2022. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Data jumlah kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak di tahun 2022. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Menimbulkan Banyak Tanda Tanya

Meski dianggap angin segar, perjanjian Perjanjian Dewan Pers dan Kemenristekbud masih menimbulkan tanda tanya bagi pers mahasiswa di kampus-kampus di bawah Kementrian Agama.

Akmal Albari, Pimpinan Redaksi LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung mempertanyakan apakah perguruan tinggi agama termasuk di dalam perjanjian kerja sama tersebut mengingat perguruan tinggi agama dinaungi oleh Kementrian Agama bukan Kemenristekbud.

Akmal berharap Dewan Pers menekan perjanjian kerja sama kepada Kementrian Agama apabila perjanjian kerjasama ini tidak mengikutsertakan perguruan tinggi agama. Dengan demikian lembaga pers mahasiswa yang berada di lingkungan perguruan tinggi agama dapat mendapatkan perlindungan sehingga pembredelan tidak lagi terjadi kepada lembaga pers mahasiswa yang berada di bawah perguruan tinggi agama.

Akmal mengacu pada kasus pembredelan LPM Lintas di IAIN Ambon 2022 lalu. LPM Lintas dibredel karena mengangkat kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. LPM ini kemudian dibekukan oleh kampus IAIN Ambon. Selain itu, ia juga mempertanyakan mekanisme pelaksaan merdeka belajar kampus merdeka.

“Kita perlu telisik lagi bahwa adanya merdeka belajar di sini harus dijelaskan kembali oleh Dewan Pers itu sendiri. Bagaimana mekanisme dan juga indikatornya yang jelas gitu antara Dewan Pers dan juga persma itu sendiri,” ujar Akmal.

Hal serupa disampaikan Cindy Setiana, Pimpinan Redaksi LPM Momentum Universitas Langlang Buana, Bandung yang mengatakan tiga tahun masa berlaku perjanjian kerja sama ini sangat singkat. Dia berharap perjanjian ini dapat berlaku 5 sampai 10 tahun ke depan.

“Mungkin bisa diperpanjang lagi sampai 5 tahun ke depan atau 10 tahun ke depan untuk kebaikan atau mungkin jadi bisa mewadahi persma-persma,” ujar Cindy.

Baca Juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Laporan Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2023 oleh AJI: Indonesia Mengalami Krisis
https://bandungbergerak.id/article/detail/2579/memperkuat-persekutuan-media-alternatif-independen-dalam-gamang-demokrasi-yang-menggerus-kebebasan-pers

Data pelaku tindak kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak aparat kampus. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Data pelaku tindak kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak aparat kampus. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Data Kasus Kekerasan yang Menimpa Pers Mahasiswa

Kasus-kasus pembungkaman masih tejadi sampai detik ini. Dalam liputan khusus kolaborasi bandungbergerak.id dengan pers mahasiswa se-Bandung Raya tahun 2023, tercatat pada rentang tahun 2010-2023 terdapat adanya 34 kasus kekerasan dengan 61 tindak represif yang menimpa 19 lembaga pers mahasiswa. Bentuk-bentuk kekerasan ini beragam, mulai dari perintah pencabutan berita hingga ancaman pelaporan pidana.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi persma dengan kasus tertinggi, yaitu lima kasus. LPM Aksara Universitas Telkom dan LPM Jumpa Universitas Pasundan menyusul dengan masing-masing empat kasus tindak represif.

Dari segi jenis, kekerasan verbal merupakan yang paling sering terjadi dengan 15 kasus, diikuti oleh ancaman pencabutan berita dengan jumlah kasus mencapai 14 kasus. Posisi ketiga ditempati oleh intimidasi dan teror dengan 10 kasus.

Jika melihat dari pelakunya, tindak represif terutama berasal dari pihak-pihak di lingkungan kampus, termasuk pejabat dan staf kampus serta organisasi mahasiswa. Pejabat kampus mendominasi sebagai pelaku tindak kekerasan dengan sembilan kasus, diikuti oleh mahasiswa dan organisasi mahasiswa masing-masing tujuh kasus. Staf kampus juga terlibat dalam enam kasus tindak represif terhadap persma.

*Kawan-kawan dapar membaca tulisan-tulisan lain dari Raja Ilham Maulidani Gumelar atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//