BUNGA DI TEMBOK: Agil H. Ali Terseret Gerakan Mahasiswa
Dikenai tuduhan subversi, Agil H. Ali ditahan selama lebih dari dua bulan. Catatannya memuat kekhawatiran tentang arah gerakan mahasiswa.
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
2 Mei 2024
BandungBergerak.id - Pada awal tahun 1978, dimulai dari Institut Teknologi Bandung (ITB), gelombang penolakan mahasiswa terhadap pencalonan kembali Suharto sebagai presiden semakin membesar. Pemerintah menanggapinya dengan tindakan represif berupa penangkapan aktivis dan pendudukan kampus. Di Surabaya, ratusan mahasiswa diciduk militer. Seorang wartawan terseret.
Agil H. Ali adalah pemimpin redaksi surat kabar Mingguan Mahasiswa. Umurnya ketika itu sudah 33 tahun. Pernah menjabat ketua Dewan Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Agil dikenal luas di kalangan aktivis mahasiswa di Jawa Timur.
Agil berada di tahanan sejak 24 Januari hingga 31 Maret 1978. Beberapa mahasiswa sudah terlebih dahulu diciduk aparat. Mereka dikenai tuduhan subversi.
Selama meringkuk di tahanan Mess Perwira 516, Agil membuat beberapa catatan. Pertama kali dimuat secara berseri di surat kabar Mingguan Mahasiswa segera sesudah kebebasannya, tulisan-tulisan itu dikumpulkan dalam buku Kertas Kesaksian yang diterbitkan oleh Haji Ali & Son pada Juli 1978. Tebalnya hanya 54 halaman.
Dalam bentuk surat, Agil mengabarkan kondisinya kepada sang ayah, Achmad RH Ali, seorang bekas wartawan. Ia merasa diperlakukan dengan laik selama penahanan dan pemeriksaan. Seorang tentara bahkan tergopoh-gopoh mencarikannya sepotong roti ketika mengetahui ia sedang kesakitan menahan gerogotan mag yang sedang kambuh seusai pemeriksaan di markas Detasemen Polisi Militer (Denpom) 084.
Di perjalanan kembali ke tahanan, Agil tak kuasa membendung air mata. Perasaannya tersentuh oleh aksi manusiawi itu.
“Ah, tak ada lagi sesuatu yang dapat mengikat manusia dengan kuat kecuali cita rasa itu,” tulisnya. “Dan itulah yang paling langka dalam diri setiap pemimpin politik , di sini dan juga di sana.”
Tentang apa isi pemeriksaan, Agil enggan menceritakan secara rinci. Termasuk alasan sebenarnya para aparat ikut menyeretnya ke tahanan. Kita hanya bisa menebak, ia dituding terlibat ‘gerakan subversi’ karena pernah memberikan ceramah di hadapan para aktivis mahasiswa se-Surabaya dalam sebuah acara yang digelar 9 Desember 1977 malam. Pada pekan-pekan itu, suara protes mahasiswa memang sudah mengeras.
Agil justru banyak bercerita tentang para mahasiswa yang ia temui selama berada di tahanan. Ia bercerita tentang Harun Al-Rasyid, ketua Dewan Mahasiswa ITS Surabaya, yang ia banding-bandingkan dengan pentolan Peristiwa Malari, Hariman Siregar. Anak muda seperti Harun mewakili mereka yang berani “melakukan kesalahan” dengan menolak untuk “tidak berbuat apa-apa”.
Namun ada juga kisah tentang Joni Kunto, mahasiswa necis dengan senjata sisir besar di saku celana. Selama di tahanan, cowok Palembang itu tak henti-hentinya menerima kiriman kue dan buah dari para cewek.
Lewat Kertas Kesaksian, Agil membagikan banyak pemikirannya tentang gerakan mahasiswa. Ia merenung sekaligus mengkritik dari dalam. Salah satu kekecewaan terbesarnya adalah, berkaca dari angkatan 1966, bagaimana para mahasiswa itu kehilangan api begitu masuk ke lingkaran kekuasaan. Agil khawatir, kejadian serupa akan terulang lewat aksi angkatan 1978 itu.
Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Kecil-kecil Wartawan Perang
BUNGA DI TEMBOK: Indonesia dalam Buku Jurnalistik 1929
BUNGA DI TEMBOK: Suparman Amirsyah, Menyerah Tidak Berarti Kalah
Dari Kamas Kos Sempit
Agil Haji Ali dilahirkan di Tondano, Sulawesi Utara pada 1 Juli 1945. Setelah lulus SMP, akibat kecamuk pemberontakan Permesta, ia mengikuti keluarganya pindah ke Palu, Sulawesi Tengah. Lulus SMA, Agil berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sebelum pindah ke Universitas Brawijaya Malang. Di sana, ia menjabat ketua umum Dewan Mahasiswa. Di sana pula, ia mengembangkan dua keterampilan khas aktivis: berorasi dan menulis.
Sam Abede Pareno dalam Pengantar buku Aktor Besar di Panggung Kecil: Perjalanan, Pikiran, dan Perasaan Agil H. Ali (2005) menceritakan bagaimana Agil, yang “”selalu mengenakan jaket merah”, memulai semuanya dari kamar kos kecil di Malang. Di kamar itulah ia “merancang aksi, membuat selebaran, mengatur kader-kader bangsa, dan merencanakan isi pidato”. Di kamar yang sama, dirancang Buletin Mahasiswa, sebuah stensilan yang di kemudian hari akan terus membesar menjadi tabloid Mingguan Mahasiswa, yang kemudian bersalin nama menjadi Mingguan Memorandum dan lalu Harian Memorandum yang bertahan hingga hari ini.
“Kamar Agil makin sempit lagi ketika ia memutuskan untuk hijrah ke Surabaya di awal tahun tujuh puluhan. Ia menyewa satu kamar di suatu hotel di sebuah gang di Kalianyar. Di kamar ini, ia merancang lagi perjuangannya,” tulis Sam yang diajak Agil bergabung ke Mingguan Mahasiswa.
Bermula dari kamar kos sempit, karier Agil meroket di beragam bidang, dari jurnalistik, seni, hingga politik. Mingguan Mahasiswa terus bertambah oplahnya. Selama dua periode sang jurnalis dipercaya menjabat ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur. Turut mendirikan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Agil juga berkiprah sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Utusan Daerah. Di bidang olah raga, Agil pernah menjabat manajer klub sepak bola Persebaya Surabaya.
Namun kiranya dunia jurnalistik-lah yang sebenar-benarnya menempa Agil dan tidak pernah mau ia tanggalkan. Dalam orasi di malam resepsi penerimaan Penghargaan Jurnalistik 1977 oleh Yayasan Prima Jakarta, ia menegaskan keyakinan itu.
“Dunia jurnalistik adalah satu dunia yang penuh dengan fatamorgana. Ia menakutkan, menggelisahkan tetapi menghibur jiwa,” katanya. “Saya telah memilihnya, dan saya tidak keliru, karena itu saya tidak ingin melepasnya.”
Dalam buku Aktor Besar di Panggung Kecil: Perjalanan, Pikiran, dan Perasaan Agil H. Ali, yang memuat ulang seluruh catatan agil dalam buku Kertas Kesaksian, kita memperoleh informasi bahwa bukan hanya sekali Agil ditahan oleh aparat. Semua gegara daya kritisnya sebagai jurnalis cum aktivis yang dekat dengan gerakan mahasiswa. Namun agaknya, penahanan di tahun 1978 itulah yang paling lama.
Membaca Kertas Kesaksian, kita dapat menemukan beberapa hal menarik tentang sudut pandang Agil menyikapi beberapa isu terkini ketika itu. Tentang Peristiwa 1965, misalnya, ia terkesan berpikir hitam-putih dengan menyepakati semua tudingan ke golongan kiri. Sama sekali tidak disebut bagaimana ratusan ribu atau bahkan jutaan orang harus kehilangan hak mereka menjelang kelahiran Orde Baru. Tak terkecuali hak hidup.
Di dalam tahanan Mess Perwira 516, Agil berinteraksi dengan beberapa orang berumur yang ia sebut sebagai tahanan politik (tapol) PKI. Merekalah yang berbaik hati memberikan air panas dan gula untuk kopi sang wartawan. Menyusul kemudian, rokok kretek. Namun tidak banyak yang Agil ceritakan dari percakapan mereka. Ia dengan sengaja memilih menghindar.
“Kami bercakap-cakap mengenai masalah kewartawanan tanpa menyinggung-nyinggung masalah ideologi. Kami saling menjaga diri untuk tidak berbicara masalah itu,” tulis Agil yang meninggal pada 11 November 2007.
Menarik juga mengetahui bahwa dalam catatan Agil tidak ada kecaman keras yang secara langsung ditujukan ke rezim Orde Baru yang dengan semena-mena telah merenggut kebebasan hidupnya, dan juga para mahasiswa, selama lebih dari dua bulan. Tidak ada makian, tidak ada sumpah serapah. Kritik ia selipkan di ujung catatan terakhirnya berjudul “Subversi II”. Bukan untuk pemerintah, tapi perusahaan raksasa yang sanggup mengontrol dan meruntuhkan rezim. Dengan kata lain, Agil mencemaskan cengkeraman oligarki.
“Mereka dengan uang yang berjumlah besar dapat membeli prinsip-prinsip politik dari para politisi yang tidak bermoral dan akibatnya kehidupan politik suatu negara tidak lagi dikontrol oleh rakyat, tetapi sepenuhnya bergantung dari keinginan “god father” yang berada di perusahaan-perusahaan raksasa,” tulis Agil. “Subversi macam apa lagi yang lebih durjana daripada ini?”
Apakah nada lembut ini yang menyebabkan kumpulan catatan Agil bisa dengan leluasa segera diterbitkan di surat kabar yang ia pimpin, Mingguan Mahasiswa, dan bahkan lalu diterbitkan menjadi sebuah buku meski serupa stensilan? Entahlah, tapi bandingkan, misalnya, dengan catatan-catatan Mochtar Lubis selama disekap di Nirbaya pada 1975. Diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1979, tulisan-tulisan tersebut baru bisa beredar di negeri sendiri jauh setelah Suharto tumbang, tepatnya pada 2006. Demikian juga memoar para penyintas Peristiwa 1965 yang harus menunggu kelahiran era reformasi untuk bisa diterbitkan satu per satu.
Catatan-catatan Agil dalam Kertas Kesaksian boleh jadi tidak tajam mengkritik rezim yang telah menahannya. Namun otokritiknya untuk gerakan mahasiswa, meskipun ia memosisikan diri sebagai penentang unjuk rasa jalanan, kiranya masih relevan hingga hari ini. Terutama tentang tingkah para pentolan mahasiswa angkatan 1966 yang tenggelam dalam nikmatnya kekuasaan dan jabatan politik. Dalam bekapan kekuasaan itu, mereka kehilangan akal sehat yang menjadi ciri khas gerakan kampus. Lebih buruk lagi, pola semacam ini meracuni para aktivis mahasiswa generasi berikutnya.
“Banyak pemimpin-pemimpin mahasiswa berhasil menjadi anggota parlemen dan beku di lembaga itu seperti bekunya orang-orang lama yang mereka gantikan,” tulis Agil.
Sejarah mencatat, gelombang protes mahasiswa di awal 1978 itu berhasil dipadamkan pemerintah. Sidang Umum MPR pada 23 Maret 1978 melantik kembali Suharto sebagai presiden Republik Indonesia. Sang jenderal bahkan bakal mempertahankan kekuasaannya hingga dua dekade berikutnya.
Sejarah juga mencatat perubahan nasib tokoh-tokoh mahasiswa dalam gerakan tersebut. Tidak sedikit dari mereka meloncat ke lingkaran elite, sebagai politisi atau pejabat. Nama-nama yang sohor di antaranya adalah Rizal Ramli, Dipo Alam, dan Heri Akhmadi.
Pada 1998, sejarah berulang ketika mahasiswa kembali tampil ke garis depan untuk melahirkan era reformasi. Nama-nama tokohnya banyak kita temui dalam peta politik elite hari ini. Entah kapan lagi siklus akan berulang: mahasiswa menumbangkan rezim, masuk lingkaran rezim baru, lalu ditumbangkan oleh generasi mahasiswa berikutnya. Dan begitu seterusnya.
Ketika masuk ke lingkaran elite itu, apakah para pemimpin mahasiswa masih merawat ‘ke-kampus-an’ (dibaca: akal sehat) mereka? Atau jangan-jangan kritik Agil H. Ali dari dalam tahanan tidak meleset sedikit pun: mereka beku!
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme.