KITA DAGO ELOS: Iri dan Ade Tegar Melawan Penggusuran
Iri dan Ade pernah merasakan hidup damai dan tenteram di Dago Elos, sebelum diusik oleh kalim ahli waris keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah3 Mei 2024
BandungBergerak.id- Sembari melihat pertandingan bola antara Tim Nasional Indonesia melawan China, Iri Samsudin mengingat bagaimana perjalanan hidupnya dari Subang sampai akhirnya memiliki rumah di Kota Kembang, di Dago Elos. Pahit manis kehidupan telah ia telan. Ia merasakan hidup di zaman gerombolan, peristiwa Gestapu, dan kini kembali menghadapi penjajahan dari mereka yang mendaku keturunan Belanda yang ingin menyerobot rumahnya dan ruang hidup tetangga-tetangganya.
“Kita tuh udah merdeka, abah orang Indonesia, kenapa orang Belanda diangkat lagi. Dulu harta kita diambil, orangnya dibunuh, zaman gerombolan ga bisa tidur, terus zaman PKI. Sekarang juga ga bisa tidur karena orang Belanda ini,” tutur Iri, matanya menatap ke layar televisi namun memorinya berkelana ke masa lalu, Jumat malam, 22 Maret 2024.
Iri menerima BandungBergerak.id di ruang tengah rumahnya. Dinding rumah penuh dengan foto-foto pernikahan anak-anak Iri Samsuddin. Di rumah itu Iri tinggal bersama salah seorang anaknya, Ade Soeharman (44 tahun).
Iri masih mengingat bagaimana operasi pagar betis terjadi di perbatasan antara Subang dan Lembang, di Gunung Tangkuban Perahu. Operasi ini dilancarkan untuk memadamkan gerakan DI/TII. Banyak masyarakat yang menimbun barang-barang milik mereka karena takut dirampok. Bahkan Iri sempat bersembunyi di dalam sebuah gua Curug Cijalu untuk menghindari situasi genting.
Tahun 1975 Iri datang ke Bandung dan bekerja sebagai pekerja bangunan. Ia harus menghidupi istri dan 5 anak, termasuk 3 sanak saudara yang menjadi tanggungannya. Iri selalu mengajarkan kemandirian pada anak-anaknya.
Pada masa Orde Baru, ia selalu terlibat menjadi pekerja TPS pada musim pemilu. TPS biasa didirikan di belakangan rumah yang dulu terdapat seke atau mata air. Kini seke tersebut menjadi rumah yang saling berdempetan.
Ade Soeharman ikut menyambung cerita bapaknya. Ade lahir di Dago Elos. Saat ini usianya 44 tahun. “Bapak (Iri) pindah ke sini ingin memperbaiki hidup. Di sini saya lahir, di Bandung punya tanah ini (Dago Elos), saya mau ke mana kalau ini digusur,” tutur Ade.
Ade dan Iri tinggal satu rumah. Beberapa saudara kandung Ade sudah berkeluarga dan memiliki kehidupannya sendiri-sendiri. Ade menikah dan memiliki satu anak. “Kalau dulu mah, banyak lahan tempat-tempat bermain. Waktu zaman saya mah belum ada gawai juga sih dulu jadi seru,” ujar Ade.
Ade sehari-hari bekerja menjadi pegawai delivery di Kimia Farma. Di samping itu ia mencari tambahan uang dengan ngojek online. Dari sejak kecil Ade sudah berusaha mandiri dan tak mengenal kata menyerah. “Lulus SMP saya ngejar juga paket C,” kata Ade.
Ade mengalami hidupt tenteram di Dago Elos. Namun kedamaian itu berubah sejak 2016 ketika keluarga Muller bersaudara menyerobot tanah warga. Di pengadilan warga menang secara kasasi namun kalah di tingkat Peninjauan Kembali (PK).
“Dari 2016 sudah mulai terganggu segi psikis kita yang muda-muda yang tadinya cuek jadi engga,” tutur Ade.
Hal ini yang kemudian mendorong Ade untuk mempelajari lebih dalam untuk mempertahankan tanahnya. “Begitu kita dapat PK, di situlah saya mau maju, sudahlah kita anak muda, didukung LBH, aliansi kita banyak belajar tentang gugatan ini,” terang Ade.
Padahal begitu menang dalam putusan kasasi, warga akan berencana mengajukan sertifikasi tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Begitu kita kalah dari pengadilan negeri, hidup tenang itu gak ada. Terus-terusan ada was-was. Malam gak bisa tidur, siang kerja gak tenang,” ucap Ade.
Baca Juga: KITA DAGO ELOS: Semangat Kemandirian Nuy Menyambut Hari Kemenangan
KITA DAGO ELOS: Harapan Ambu Iceu di Harum Kue Lebaran
Duduk Perkara Dugaan Penipuan Dokumen Klaim Tanah Dago Elos
Aanmaning yang Dipaksakan
Pada 20 Februari 2024 lalu, warga menuntut Pengadilan Negeri (PN) Bandung agar menetapkan objek sengketa Dago Elos sebagai non-exucutable objek atau objek yang tidak bisa diekskusi. Mereka menghadiri surat Aanmaning eksekusi objek antara warga melawan PT Dago Inti Graha dan Muller bersaudara.
“Terlalu dipaksakan, si obyeknya gak tahu batasannya dari mana-mana. Masa orang yang sudah meninggal masuk dalam gugatan. Jadi Aanmaning seolah dipaksakan. Kita mah menolak dengan penuh rasa kecewa terhadap pengadilan,” ujar Ade.
Kejanggalan demi kejagalan tak dipertimbangkan oleh hakim. Garda keadilan tersebut seakan tak memikirkan nasib ribuan warga Dago Elos.
“Mau digimanakan (warga), karena tahu kehidupanya sendiri berat kalau harus pindah mah. Zaman sekarang harga beras aja naik. (Sengketa Dago Elos) penuh kejanggalan, gugatannya asal,” sahut Ade.
Dago Elos bagi Ade bukan sekadar tempat tinggal. Di sini ia mendapatkan keluarga dalam suasana kehangatan kampung kota. Ia bercerita bagaimana saat Covid-19 melanda yang menyebabkan ia bersama keluarga lain diisolasi di rumah sakit. “Alhamdulillah, tetangga di sini banyak persatuan dan menjaga kesatuan,” tutur Ade.
Ade menjadi representasi dari rakyat yang tidak bisa dibodohi. Ia dibekali kesadaran mempersenjatai diri untuk mempertahankan tanah yang merupakan hak mereka. Ade dan warga lainnya berusaha tetap tegar di tengah ancaman penggusuran.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos