• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #31: Nasihat Om Kendar

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #31: Nasihat Om Kendar

Om Kendar adalah Bapak pemilik kos. Orangnya baik dan aku anggap dia sebagai pengganti sosok Baba yang sudah tiada.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Bangunan terminal bandara Husein Sastranegara. (Foto: BandungAirport.com)

5 Mei 2024


BandungBergerak.id – Bulan Juni 1981, menjadi hari pertama aku masuk kerja di PT. Nurtanio Bandung. Ini sekaligus menandai selesainya proses diklat yang aku jalani sebelumnya.

Tetapi kadang aku suka berpikir ulang tentang keputusanku merantau ke Bandung ini. Biasanya, sambil menyusuri Jalan Pajajaran menuju Jalan Teluk Buyung Kaler tempat kosku berada, aku yang memang sering pulang jalan kaki sering mengisi waktu sendiri ini dengan banyak berpikir. Misalnya aku mempertanyakan kenapa Nurtanio ini adanya di Bandung. Enggak di Jakarta saja, Kemayoran misalnya. Kan di sana juga ada bandara. Atau Halim Perdana Kusumah. Tentu lebih dekat juga dari rumahku. Tidak perlu kos dan jauh dari keluarga.

“Ah tapi ada sebabnya kenapa jalan hidupku seperti ini,” kataku dalam hati.

Perjalanan pulang pergi ke kantor dengan berjalan kaki menjadi momen yang aku ingat saat awal bekerja dulu. Biasanya di jam pergi dan pulang kerja, jalanan begitu ramai. Tidak hanya karyawan tetapi juga siswa yang bersekolah di sekitar Bandara Husein Sastranegara. Pemandangan yang ramai ini kadang bikin perjalananku tak terasa. Dari tempat kerjaku yang letaknya di dalam kompleks AURI tak terasa sudah sampai gerbang. Dan hanya tinggal beberapa langkah akan masuk ke Teluk Buyung, tempat kosku.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #28: Hari Pertama Kerja
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #29: Pelajaran Hidup di Rantau dari Almarhum Baba
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #30: Mulai Bekerja sebagai Cakara

Pesan Om Kendar

Om Kendar adalah Bapak pemilik kos. Orangnya baik dan aku anggap dia sebagai pengganti sosok Baba yang sudah tiada. Aku terbilang akrab dengannya, sama seperti akrabnya aku dengan istrinya dan juga anak-anaknya.

Aku masih ingat momen di mana sepulang kerja aku berpapasan dengan Om Kendar yang rasanya juga belum lama pulang dari tempat kerjanya. Itu di hari pertamaku bekerja.

“Eh, baru pulang De,” sapa Om Kendar. Ia memanggilku adek. Aku mengiyakan.

“Bagaimana kerjanya di hari pertama. Senang enggak Adek?,” kata Om Kendar.

“Ya gitu aja Om,” jawabku singkat. Om Kendar pun membalasnya dengan tawa.

Lantas ia melanjutkan dengan sebuah petuah. “Om kasih tahu, sekalipun ayah sudah tiada, jaga nama baik ayahnya yang sudah tiada. Sering-sering doakan. Jaga nama baik keluarga, kalau enggak punya keluarga, jaga nama baik untuk diri sendiri saja. Insyaallah nanti Adek ini banyak disayang orang.”

“Kalau Adek baik, nanti orang-orang akan nanya sama Om. Anak siapa itu, orang mana? Pasti semua orang juga akan berbalik baik,” ia melanjutkan.

Aku iyakan dan berterima kasih sudah diingatkan.

Setelah itu aku masuk kamar. Tak lama kemudian aku keluar lagi untuk berwudu karena aku belum salat Ashar. Setelah sembahyang aku baringkan badan sejenak sambil menunggu Magrib.

Aku jadi kepikiran yang diucapkan Om Kendar tadi. Aku harus bisa menjaga nama baik. Memang keinginanku untuk selalu bisa berbuat baik. Aku pengennya bersaudara. Merantau ke sini bukan untuk mencari musuh. Kalau aku macem-macem di luar juga kasihan sama yang punya rumah ini.

Makasih sudah diingetin. Di kampung orang, masih ada yang peduli denganku,” gumamku dalam hati.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//