• Kolom
  • SUARA SETARA: Retrospeksi Feminisme Era Gelombang Kedua dalam Novel Fiksi The Handmaid’s Tale Karya Margaret Artwood

SUARA SETARA: Retrospeksi Feminisme Era Gelombang Kedua dalam Novel Fiksi The Handmaid’s Tale Karya Margaret Artwood

Bentuk penindasan dan objektifikasi terhadap perempuan yang disuguhkan dalam novel distopia The Handmaid’s Tale merupakan hal yang ingin dihilangkan oleh feminis.

Inry Ayu Fathamawati

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pegiat Gender Research Student Center (GREAT) UPI, dapat dihubungi di Instagram @flutuatif

Tangkapan layar sampul buku novel The Handmaid’s Tale karya Margaret Atwood. (Sumber: Amazon.com)

6 Mei 2024


BandungBergerak.id – Sensitivitas gender kian menjadi objek utama dalam banyak karya sastra tertulis. Ketidaksetaraan perempuan menjadi keniscayaan akan bias ketidakadilan yang tidak merata, pun menjadi topik utama yang selalu menjadi perbincangan. Sensitivitas gender tidak hanya tentang ketimpangan sistemik, tetapi bentuk perlawanan seperti gerakan feminisme termasuk di dalamnya.

Karya sastra menempatkan sensitivitas gender dengan cara dystopian dan utopis. Itulah yang menjadikan karya sastra sebagai medium perlawanan. Penulis Literatur Fictions bernama Haruki Murakami sering kali dinilai sebagai sesosok penulis yang mendukung pelanggengan patriarki dan misoginis, ataupun penulis perempuan Mieko Kawakami  yang merepresentasikan hampir seluruh karyanya sebagai bentuk perlawanan feminisme bagi kaum misoginis dan patriarki. Bahkan, dalam satu waktu Mieko Kawakami pernah mengkritik Haruki Murakami dengan karyanya yang dinilai misoginis.

Namun, Tahukah anda dengan nama Margaret Atwood? Siapakah Margaret Atwood itu? Margaret Atwood adalah penulis asal Kanada yang berhasil mengombinasikan sudut misoginis, patriarki, dan perjuangan feminisme secara utuh dalam novel yang berjudul The Handmaisd’s Tale. Sejak awal penerbitan, novel The Handmaid’s Tale mendapatkan banyak perhatian khusus di masyarakat. Penerbitan pertama dilakukan di tahun 1986, hingga kini telah terjual jutaan cetakan dan telah tersedia dalam 35 bahasa. Popularitasnya kian mencuat akibat Hulu Original Shows (penyedia sinema web) mengadaptasi The Handmaid’s Tale menjadi film bersekuel di tahun 2017-2022.

Apa yang Membuat The Handmaid’s Tale Populer?

Sejak peluncuran pertama di  tahun 1986, The Handmaid’s Tale menjadi perbincangan kritis.  Kala itu kehadiran The Handmaid’s Tale bersinggungan dengan perbincangan feminism  movement. Begitu pula dengan plot cerita yang disuguhkan terasa familier dan relevan menjadi alasan utama kepopuleran The Handmaid’s Tale. The Handmaid’s Tale menceritakan dehumanisasi dan objektifikasi perempuan hanya untuk tujuan reproduksi dalam masyarakat totaliter dan agama yang ekstrem. Dikisahkan negara Amerika Serikat berubah menjadi negara fundamentalis teokrasi Kristen, bernama Republic of Gilead. Sebelum menjadi Republic of Gilead, Amerika Serikat mengalami tingkat radiasi tinggi yang memengaruhi kesuburan dan hanya segelintir perempuan yang tersisa di masyarakat yang dapat hamil. 

Pendirian Republic of Gilead didasari oleh kelompok yang menamakan diri Sons of Jacob, mereka percaya bahwa rendahnya tingkat infertilitas pada saat itu adalah akibat dari kenistaan yang telah dilakukan oleh manusia. Salah satu solusi preventif yang diajukan dengan  menjadikan perempuan makhluk pasif: tak boleh bekerja, tidak boleh membaca, bahkan dijadikan Handmaid—mengandung anak dari pasangan penjabat tertinggi yang mandul. 

Perempuan dibedakan berdasarkan kasta-kasta tertentu dengan aturan pakaian yang berbeda. Secara eksplisit kisah ini menceritakan masyarakat patriarki terus-menerus merendahkan perempuan dan mengeksploitasi demi keuntungan mereka. Sons of Jacob mendasarkan pembentukan Republic of Gilead dari sebuah ayat di perjanjian lama.

  1. Rahel belum juga mendapat anak. Sebab itu dia menjadi cemburu kepada kakaknya, lalu berkata kepada Yakub, “Berikanlah anak kepada saya, kalau tidak, saya akan mati.” 2) Yakub marah kepada Rahel dan berkata, “Saya ini bukan Allah. Dialah yang membuat engkau tidak mendapatkan anak.” 3) Lalu kata Rahel, “Ini hamba saya Bilha; tidurlah dengan dia supaya ia melahirkan. Dengan demikian saya bisa menjadi Ibu melalui dia.” 4) Lalu diberikannya Bilha kepada suaminya, dab Yakub bersetubuh dengan hamba itu. [Kejadian 30:1-4 from bible]Tetapi 

Muncul juga konsep hierarki masyarakat di Republic of Gilead  yang sangat jelas menempatkan laki-laki di atas perempuan dengan Komandan sebagai peringkat paling tinggi, diikuti oleh Guardians, Eyes and Angels muasal role. Peluncuran The Handmaid’s Tale bertepatan dengan puncak pergerakan second waves feminism. Selanjutnya, kita akan membahas lebih lanjut The Handmaid’s Tale dalam sudut feminism wave.

Baca Juga: SUARA SETARA: Sistem Patriarki yang Membuat Upah Pekerja Perempuan Jauh Lebih Rendah
SUARA SETARA: Pria Berkain, Berani Tampil Feminin atau Suatu Bentuk Crossdressing?
SUARA SETARA: Lansia, dari Batasan Berkarya hingga Ketimpangan Kesejahteraan

Representasi Second-Wave Feminism

The Handmaid’s Tale bentuk retrospektif feminisme di era gelombang kedua. Bentuk penindasan dan objektifikasi terhadap perempuan yang disuguhkan dalam The Handmaid’s Tale merupakan hal yang ingin dihilangkan oleh feminis. Novel ini kontras dengan pergerakan feminisme gelombang kedua. 

Gelombang kedua diawali melalui karya sastra dari seorang penulis feminis Betty Frieden, yang berjudul The Feminine Mystique. Dalam buku tersebut, Frieden bercerita tentang peran laki-laki dan perempuan yang tidak setara. Kekecewaan itu membuat Frieden menjadi aktivis feminis gelombang kedua yang mendirikan organisasi  NOW (National Organization for Women). Fokus gelombang kedua memusat lebih luas, mulai dari peran perempuan dalam keluarga, perempuan dan agama, perempuan dan media, hingga perempuan dan kemiskinan. Perempuan dan agama menjadikan The Handmaid’s Tale  seakan nyata. Lindsey (2002) menegaskan bahwa ideologi feminis bahkan sejak 1960an memandang sistem keluarga patriarki sebagai hal yang berbahaya bagi egalitarianisme bagi perempuan untuk mencapai apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki. Di Gilead, patriarki ekstrem, penindasan agama, dan totalitarianisme telah merekayasa masyarakat sedemikian rupa sehingga perempuan berada di bawah kaki laki-laki (seperti dalam kasus istri dari The Commander). 

Dehumanisasi perempuan menjadi fokus selanjutnya. Perempuan subur dan mampu hamil memiliki peran sebagai Handmaid  (pembantu) dan diberi nama Offred (milik Fred). Deluzian (1996) identitas menjadi penjamin penerimaan dan pengakuan seseorang di masyarakat. Dengan memberikan nama Offred, perempuan Gilead direndahkan, dan identitasnya secara paksa diambil darinya. Kemudian penggunaan baju merah panjang, tidak sedikit pun kulit boleh terlihat dan topi lebar sebagai bentuk ungkapan perempuan Gilead tidak boleh melihat dunia sekitar mereka, sebebas sebelumnya.

Aliran feminis marxisme-sosialis dan radikal turut menyertai kisah The Handmaid’s Tale, Kedua aliran yang berkembang di era Second Wave Feminism. Aliran marxisme dilihat dari dinamika kekuasaan dan kesenjangan yang jelas antara laki-laki dan perempuan ini dilihat dari bentuk penyekapan yang dilakukan oleh The Commander di Republic of Gilead, terpusat pada ajaran agama.

Mengapa The Handmaid’s Tale Menjadi Relevan di Masa Kini?

Faktanya kisah Distopia fiksi The Handmaid’s Tele yang ditulis 30 tahun lalu relevan dengan keadaan dunia saat ini, termasuk Indonesia. Percayakah?  Indonesia sempat akan menjadi Gilead

Mulai dari revolusi Iran –Agama sebagai Tameng. Iran yang hari ini kita kenal dengan negara teokrasi Islam mengalami perjalanan panjang. Tepat pada tahun 1949 Iran pernah menjadi negara yang menerapkan sistem Eropa barat. Segala kehidupan direpresentasikan dengan bebas. Hingga pada awal tahun 1990-an ketika perpindahan kekuasaan Iran berubah menjadi negara sekuler, mengadopsi penuh ajaran agama. Perempuan dibatasi pergerakannya dan patriarki dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Begitu pula dengan Afganistan masa kini, terlihat mirip kan dengan The Republic of Gilead?

Amerika Serikat dan Kebijakannya

Novel The Handmaid’s Tale mengisahkan seorang istri Bernama June beserta suaminya dan anaknya: Luke dan Hannah melarikan diri dari kejaran The Eyes of God. Sebelum melewati perbatasan Luke ditambah dan June dipisahkan secara paksa dari Hannah. Hannah dibawa ke Rachel and Leah Center untuk dilatih menjadi handmaid

Kisah ini juga terjadi di Amerika Serikat. Melalui kebijakan Zero Tolerance. Kebijakan “zero tolerance” dalam kasus imigrasi di perbatasan Amerika Serikat. Hukum di AS memerintahkan orang dewasa yang melintasi perbatasan secara ilegal untuk ditahan. Sementara itu, melarang penahanan anak-anak, sehingga mereka harus dititipkan di tempat lain. Kebijakan ini menyalahi Konvensi pengungsi 1981 Artikel 31 yang menyatakan bahwa para pencari suaka tak boleh diperlakukan sebagai kriminal. Cukup relevan dengan kisah Hannah, June, dan Luke.

Indonesia Perlahan Menuju Gilead

Relevansi The Handmaid’s Tale tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Konteks dari kisahnya berlaku cukup universal, bahkan menemukan refleksinya di Indonesia. Ingatkah dengan kejadian tiga tahun lalu? Tagar #TolakOmnibusLaw #RUUKetahananKeluarga menghiasi jagat sosial media Indonesia, menyebabkan mahasiswa dan masyarakat beramai-ramai melakukan demonstrasi untuk menggugat keadilan. Tahukah kabar dari Omnibus Law hari ini? Ya, RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan menjadi UU Cipta kerja pada 21 Maret 2023. Sedangkan RUU Ketahanan keluarga tidak memiliki kejelasan. Ia terus menerus ditunda dan tidak progresif, mungkin di kemudian hari RUU ini dapat disahkan. Miris sekali ya, seakan-akan suara rakyat dan demokrasi di negara ini hanya bersifat semu. 

Lalu, apa yang membuat omnibus law dan RUU Ketahanan Keluarga sangat relevan dengan kisah The Handmaid’s Tale? Baru-baru ini penulis menemukan relevansi dengan beberapa poin yang tercantum di RUU Ketahanan keluarga dan omnibus law.

 Pasal 25 ayat 2 dan 3:

Istri bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, Istri harus menjaga “kesatuan” keluarga (perceraian bukanlah suatu pilihan ataupun jalan dari toxic relationship), Suami adalah pencari nafkah bagi keluarganya (single moms can’t relate).

 Pasal 25 ayat 2 poin C:

Istri harus memenuhi hak suami dan anak-anak berdasarkan norma-norma agama, etika, dan hukum. Para penyusun RUU ini terlihat menentang dengan RUU anti-kekerasa seksual (bahkan berargumen bahwa tidak ada pemerkosaan dalam perkawinan), jelas terjadi kekeliruan dalam menafsirkan hal ini.

Kebijakan pada Omnibus Law tidak memihak perempuan. Perempuan tidak memiliki cuti menstruasi, keguguran, dan melahirkan. Memang sudah ada kebijakan akan hal ini di UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, cuti haid, melahirkan disebutkan secara spesifik dalam pasal 93 huruf a dan huruf b. Dalam Omnibus Law, rujukan spesifik mengenai cuti tersebut dan beberapa cuti lainnya (menikah, keluarga meninggal) dihilangkan. Bahkan, keberlakuan cuti menstruasi seolah ada dan tidak ada.

Benih-benih Gilead sedang tumbuh di sekitar kita dan kita menutup mata. Kisah The Handmaid’s Tale seolah-olah menjadi Guideline kehidupan masa sekarang. Apakah ini yang dinamakan distopia menjadi nyata?

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//