• Indonesia
  • Menuju Dunia Tanpa Pencemaran melalui Perjanjian Plastik

Menuju Dunia Tanpa Pencemaran melalui Perjanjian Plastik

Kesepakatan dunia tentang Perjanjian Plastik menjadi krusial bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mengalami pencemaran plastik.

Temuan sensus sampah plastik di Sungai Cipaganti, Ledeng, Kecamatan Cidadap, Bandung, Sabtu, 27 April 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul7 Mei 2024


BandungBergerak.id - Pertemuan keempat Intergovernmental Negotiating Committee (INC-4) di Ottawa, Kanada, telah berlangsung 23-29 April lalu. INC-4 merupakan perhelatan negosiasi dari delegasi negara-negara ASEAN bersama sekitar 170 negara anggota PBB untuk mengembangkan instrumen hukum insternasional yang mengikat, dikenal sebagai Perjanjian Plastik (Plactic Treaty). Perjanjian internasional itu dibuat untuk mengakhiri pencemaran plastik, termasuk di lingkungan laut.

Perjanjian Plastik menjadi krusial bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Negara-negara di Asia Tenggara sebagian besar merupakan negara kepulauan yang terdampak pencemaran sampah laut, dimulai dari seluruh rantai pasok, yaitu ekstraksi bahan bakar fosil, pembuatan plastik, transportasi, penggunaan, hingga pembuangan.

Juru Kampanye Polusi dan Urban WALHI Nasional Abdul Ghofar menerangkan, negara-negara ASEAN juga menjadi tujuan negara maju membuang sampah dengan label ‘perdagangan sampah’. Di tengah persoalan negara maju yang membuang sampah ke negara berkembang, negara-negara ASEAN juga pasar terbesar bagi perusahaan multinasional yang memproduksi jutaan ton sampah plastik.

“Mereka mendapatkan keuntungan, sementara kita mendapatkan masalah. Perjanjan Plastik Global adalah kesempatan besar bagi negara-negara ASEAN untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita bukan sumber utama pencemaran plastik, tetapi kita adalah sumber solusi untuk mengatasi pencemaran plastik,” kata Ghofar, dikutip dari siaran pers Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), 18 April 2024.

Ghofar berharap para pemimpian ASEAN bisa memberi contoh dengan mendukung upaya mengakhiri kolonialisme sampah, mengurangi produksi sampah, dan mengintegrasikan ekosistem produk guna ulang dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian Plastik didorong untuk mencapai kesepakatan mengatasi pencemaran seluruh siklus hidup plastik, dengan cara memprioritaskan pengurangan produksi plastik global dan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya.

“INC-4 merupakan pengingat penting bagi Negara-negara Anggota (PBB) untuk melindungi hak-hak rakyat mereka yang mata pencaharian, kesejahteraan, keadilan antar-generasi, dan keadilan gender semuanya tergantung pada nasib perjanjian yang prospektif,” dikutip dari siaran pers AZWI.

Pasca-INC-4, perwakilan negara-negara ASEAN dan anggota PBB akan kembali melakukan negosiasi putaran kelima dan terakhir dari negosiasi pada November 2024 di Korea Selatan.

Baca Juga:Data Volume Sampah Plastik Harian di Kota Bandung 2008-2021: Plastik Masih Jadi Kontributor Utama Masalah Sampah
Monolog Protes Sampah Plastik dari Kampoeng Tjibarani
Banjir Sampah Plastik ke Lautan, Salah Siapa?

Produksi Plastik Tahunan Harus Dipangkas 12-17 Persen

Lawrence Berkeley National Laboratories (LBNL) mengungkap sebuah studi dampak besar dari produksi sampah terharap iklim global. Dalam studinya disebutkan, 75 persen emisi gas rumah kaca dari proses produksi plastik primer berlangsung sebelum tahap polimerisasi. Hasil studi ini menjadi krusial sebagai pertimbangan dalam Perjanjian Plastik untuk mengakomodir siklus hidup sampah, sejak ekstraksi hingga pembuangan.

Setidaknya ada tiga poin utama yang perlu menjadi sorotan dari studi LBNL tersebut. Dampak dari plastik terhadap iklim dimulai dari tahap ekstraksi bahan mentah yang berasal dari minyak mentah dan gas alam. Untuk menghitung, mengukur, dan mengevaluasi dampak dari polusi plastik, asesmen yang dilakukan harus menyeluruh dari keseluruhan siklus hidup plastik. Tentu dimulai dari ekstraksi, hingga berujung dibuang, dibakar, mencemari lautan, dan lainnya.

Pertumbuhan produk plastik saja akan membawa krisis iklim internasional yang serius. Dari studi yang dilakukan LBNL, bahkan jika setiap sumber emisi gas rumah kaca seperti sektor transportasi, pembangkit listrik, pertanian, kendaraan berat, industri dan lainnya sudah sepenuhnya melakukan dekarbonisasi pada 2024, anggaran global untuk karbon tak akan tercukupi.

“Dengan tingkat pertumbuhan saat ini, produksi plastik primer saja akan menghabiskan seluruh anggaran karbon global pada awal tahun 2060 dan paling lambat tahun 2083,” dikutip dari siaran pers Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) Asia Pasific.

Karena itu, pengurangan produksi plastik yang masif dan segera menjadi satu hal yang diwajibkan melalui Perjanjian Plastik. Tim peneliti dari LBNL yang terdiri dari Direktur Sains dan Kebijakan GAIA, Neil Tangri, peneliti dari Siliman University, Philipina, Joorge Emmanuel dan mantan Direktur Pengendalian dan Pengelolaan Bahan Kimia Centre of the Environmental Protection Agency (EPA), Ghana, Sam Adu-Kumi menegaskan produksi plastik primer harus turun setidaknya 12 persen hingga 17 persen per tahun, mulai tahun 2024.

Terganggu Industri Petrokimia

Salah satu ketegangan utama dalam negosiasi Perjanjian Plastik adalah pencatuman pengurangan produksi plastik yang ambisius dan mengikat dalam perjanjian akhir. Sebagian besar negara-negara yang terlibat negosiasi tetap terbuka untuk memasukkan target pengurangan produksi ke dalam Perjanjian Plastik.

Sayangnya, sebagian kecil negara yang terlibat, yaitu negara penghasil bahan bakar fosil dinilai menyabotase perundingan. Negara penghasil bahan bakar fosil melakukan penghalangan dan menyampaikan argument, bahwa polusi plastik hanya dimulai pada tahap pembuangan sampah, bukan sejak tahap ekstraksi. Kehadiran ‘industri petrokimia’ dalam negosiasi perjanjian plastik dinilai akan mengacaukan target ambisius dari Perjanjian Plastik.

“Sementara para pemimpin global mencoba menegosiasikan solusi terhadap krisis plastik, industri petrokimia menginvestasikan miliaran dolar untuk menciptakan solusi terhadap krisis plastik. Masalah dengan cepat menjadi lebih buruk. Kita memerlukan kesepakatan global untuk menghentikan pertumbuhan kanker ini, menurunkan produksi plastik, dan mewujudkan dunia dengan lebih sedikit plastik dan polusi,” kata Neil Tangri, Direktur Sains dan Kebijakan GAIA.

Hadirnya industri petrokimia bukan hanya diwakili melalui negara penghasil bahan bakar fosil, tetapi juga melalui delegasi negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan analisis cepat dari AZWI, setidaknya ada empat orang anggota Delegari Republik Indonesia (DELRI) yang berasal dari industri plastic, seperti Chandra Asri Petrochemical (CAP) dan Greenhope.

Keterwakilan produsen plastik tersebut didaftarkan sebagai pejabat dan ahli dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menjadi anggota resmi DELRI. Kehadiran dua produsen plastik dalam Delegasi Republik Indonesia dinilai dapat memperlemah posisi Pemerintah Indonesia dalam negosiasi terkait pembatasan produksi plastik. AZWI menilai, seharusnya pemerintah melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementrian Ketenagakerjan, dan perwakilan saintis yang bisa memberi dukungan substantif pada penyusunan perjanjian plastik, alih-alih melibatkan perwakilan industri.

Juru Kampanye Polusi dan Urban WALHI Ghofar menyebutkan, kehadiran DELRI dari industri plastik jelas menunjukkan konflik kepentingan dalam mencapai perjanjian yang kuat dan mengikat. Kehadiran industri plastic dari delegasi Indonesia akan memperlemah posisi pemerintah Indonesia.

“Para negosiator, termasuk pemerintah Indonesia harus belajar dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Pengendalian Tembakau (UNFCTC) yang didukung WHO, berhasil menghalangi kepentingan komersial dan keterlibatan industri tembakau dalam proses negosiasi,” kata Ghofar.

AZWI mengecam Kemenperin yang ‘menyelundupkan’ perwakilan industri plastik dan industri kimia sebagai DELRI dalam perjanjian plastik. Pihaknya mendesak pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan wakil industri tersebut sebagai anggot delegasi resmi Indonesia. AZWI mendesak pemerintah tidak mengakomodasi wakil dari industri plastik dan industri kimia dalam anggota DELRI pada negosiasi perjanjian plastik, konferensi diplomatik, maupun pertemuan formal lainnya.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Sampah Plastik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//