Malam Sastra Indonesia di Australia
Sampai saat ini jumlah kritikus sastra Indonesia yang berasal dari luar negeri masih bisa dihitung dengan jari. Buku buku Laut Bercerita dibedah di Australia.
Penulis Iman Herdiana12 Mei 2024
BandungBergerak.id - Sejumlah pegiat dan penikmat sastra menghadiri acara yang digelar Balai Bahasa Indonesia-Australia Capital Territory (BBI-ACT) yang bertajuk Malam Sastra. Mereka menyimak pemaparan penulis buku “Laut Bercerita” Leila S. Chudori. Acara yang digelar menjelang musim dingin di Canberra ini dinilai mampu menghangatkan suasana sambil mendiskusikan karya sastra populer di Indonesia, Jumat, 3 Mei 2024.
Malam Sastra merupakan salah satu kegiatan rutin BBI-ACT dengan mengundang penulis maupun kritikus sastra baik dari Indonesia maupun Australia. Acara ini merupakan bagian dari upaya BBI-ACT dalam mengenalkan sastra Indonesia kepada masyarakat Canberra.
Menurut Presiden BBI-ACT Amrih Widodo, Malam Sastra kali ini untuk menunjukkan bagaimana fiksi memiliki kemampuan unik untuk menantang dan menginterogasi narasi sejarah yang dominan, yang sering kali dibentuk oleh agenda pemerintah dan hegemoni budaya. Tentunya dalam konteks novel “Laut Bercerita”.
“Hal yang istimewa dari Malam Sastra kali ini adalah kita kehadiran penulisnya langsung, sehingga kita bisa menggali lebih jauh bagaimana proses kreatif yang terjadi serta apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis kepada para pembacanya,” ujar Amrih. diakses dari laman Kemendibudristek, Sabtu, 11 Mei 2024.
Presiden BBI-ACT ini juga menceritakan profil Leila S. Chudori yang disebutnya sudah produktif menulis karya sastra sejak remaja hingga melahirkan novel sejarah yang dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran tentang perspektif alternatif dan menampilkan suara-suara yang terpinggirkan.
Dalam diskusi yang berlangsung hampir dua jam, Leila S. Chudori menceritakan bagaimana ide cerita muncul dan proses riset yang dilakukan untuk bisa menulis buku “Laut Bercerita”. Leila juga menceritakan bagaimana ia meciptakan karakter-karakter yang ada dalam novel tersebut.
“Dalam menulis novel ini, saya bertindak sebagai aktor, sutradara, dan direktur sekaligus. Saya harus menyelami kepribadian para aktor, dan pada saat yang sama saya juga harus mengatur jalannya cerita,” terang Leila.
Leila mengaku ingin mengungkapkan sisi lain dari sebuah sejarah dengan cara menampilkan cerita fiksi, bagaimana kiat dalam menulis momen sejarah yang ditandai dengan kekerasan politik atau ketidakadilan sejarah. Menurutnya, terkadang ada suatu masa di mana sejarawan kesulitan menuliskan sejarah, entah karena tekanan penguasa atau memang karena sulitnya memvalidasi rangkaian fakta-fakta.
Sementara dengan novel, tidak diperlukan akurasi nama, tempat dan waktu, namun pembaca bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya melalui alur cerita dan dialog-dialog para aktornya.
Meski saat ini pembaca karya sastra mungkin semakin sedikit karena berkembang kuatnya platform sosial media, Leila mengaku heran dengan tingginya minat masyarakat untuk membaca “Laut Bercerita”. Selama pandemi, jelas Leila, permintaan terhadap Laut Bercerita sangat tinggi. Menurutnya, novel yang pertama kali dicetak pada tahun 2017 ini, ketika pandemi justru mengalami cetak ulang hampir setiap minggu dengan jumlah yang tidak sedikit.
Acara yang dihadiri puluhan orang ini merupakan bukti ketertarikan masyarakat Canberra terhadap karya sastra Indonesia. Upaya untuk terus mempromosikan karya sastra Indonesia mendapat dukungan dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Canberra, Mukhamad Najib.
Menurutnya, Indonesia memiliki khazanah sastra yang layak diketahui dunia. BBI-ACT, tambah Najib, telah mengambil peran yang sangat penting dalam menjelaskan Indonesia kepada masyarakat Australia yang salah satunya melalui karya-karya sastra.
Najib juga menjelaskan jika KBRI Canberra sangat mendukung kehadiran sastrawan, sineas, maupun pelaku budaya lainnya untuk meramaikan Canberra dengan karya-karya Indonesia. Najib pun optimistis dengan acara Malam Sastra ini Indonesia bukan hanya dikenal dari keindahan alam, keramahan manusia, maupun kelezatan kulinernya saja, tapi juga dari karya-karya sastranya yang bernilai tinggi.
Peserta Malam Sastra sangat beragam, dari mulai mahasiswa, guru, dosen, maupun para pengamat dan penggiat sastra di Canberra. Sebelum mulai acara utama bedah novel Laut Bercerita, para peserta dimanjakan dengan hidangan khas yang serupa dengan makanan yang diceritakan dalam Laut Bercerita, seperti Tengkleng, yang membuat suasana makin hangat.
Baca Juga: Gelar Sastra: Aku Ini Binatang Jalang, Pertunjukan Teater Bel dengan Banyak Unsur Kesenian
Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
Membaca Agenda dan Kerja Manipulatif Denny J.A. Plus Agennya di Arena Sastra
Melihat Peta Sastra Indonesia di Australia
Tradisi sastra Indonesia masih jauh lebih muda jika dibandingkan dengan sastra barat atau kesusastraan lain di dunia. Tidak banyak kritikus sastra Indonesia dari luar negeri yang mengkritik sastra Indonesia. Nurhadi BW dalam artikel “Kritik Sastra Indonesia dari Australia” menggambaran bagaimana posisi sastra Indonesia khususnya di Australia.
Nurhadi BW menyebut jumlah kritikus sastra Indonesia dari luar negeri bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan kritikus yang jumlahnya sedikit itu adalah para pengamat Indonesia atau Indonesianis yang memfokuskan kajiannya tidak hanya pada sastra tetapi juga terhadap budaya, sosial, ekonomi, juga politik Indonesia sebagai studi kawasan.
“Kesusastraan Indonesia sendiri bukanlah kesusastraan yang telah berumur tua, kesusastraan ini lahir pada awal abad ke-20 atau akhir abad ke-19. Berbeda
dengan kesusastraan Jawa yang jauh lebih tua dan banyak menjadi kajian kritikus asing, khususnya Belanda,” tulis Nurhadi BW.
Ia memaparkan, dalam sejumlah ensiklopedi mengenai kesusastraan dunia, kesusastraan Indonesia sering kali tidak dimasukkan atau dijadikan entri. Selain tradisi sastra barat, sastra lain yang sering dijadikan entri misalnya seperti sastra Cina, Jepang, India, Arab, dan Israel, bahkan terkadang malah Filipina.
Nurhadi BW memaparkan, dari sedikit kritikus negara lain yang mengkaji kesusastraan Indonesia yang paling terkenal tentu saja A Teeuw dari Belanda. Kemudian Claudine Salmon dari Perancis yang banyak mengkaji sastra Indonesia Tionghoa, atau Harry Aveling dan Keith Foulcher dari Australia. Selain itu, dapat disebut tokoh-tokoh lain semacam Henri Chambert-Loir, V.I. Braginsky, E. Ulrich Kratz, Doris Jedamsky dan Pamela Allen.
Nurhadi BW khusus mengungkap pandangan Pamela Allen, seorang dosen dan peneliti studi Indonesia, khususnya bidang bahasa dan sastra dari University of Tasmania, Australia. Allen juga seorang penerjemah sastra baik Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia yang telah diterbitkan di sejumlah media massa seperti di The Jakarta Post.
Menurut Nurhadi BW, Allen menganalisa bahwa iklim sastra Indonesia pada periode 1980-1995 ditandai oleh perputaran perdebatan sastra, di antaranya yang paling umum adalah masalah seni berpihak dan kemungkinan universalisme dalam sastra, atau yang lebih dikenal dengan Polemik Sastra Kontekstual.
“Keterlibatan politik dalam sastra sering diutamakan dalam diskusi-diskusi sastra, baik dari sudut pandang pengaruh rezim politik kala itu terhadap tindakan penulisan kreatif itu sendiri, dan sampai di mana karya-karya individual seharusnya dibaca sebagai pernyataan politik. Yang berbaring di belakang perdebatan tersebut adalah tumbuhnya suatu sastra anti-realis, yang menuntut tempatnya di samping realisme yang menjadi basis dari novel Indonesia periode modern,” ungkap Nurhadi BW, saat menyampaikan analisa Allen.
Ia menyatakan, periode tersebut juga ditandai oleh minat yang direvitalisasi dalam tradisi regional. Ini digabungkan ke dalam pertunjukan teatrikal dan karya-karya sastra dalam cara-cara yang terkadang melayani kebutuhan pemerintah Orde Baru untuk keselarasan dan stabilitas yang justru merupakan tantangan pada kebijakan-kebijakan itu sendiri.
*Kawan-kawan bisa menyimak tulisan tentang Sastra Indonesia dalam tautan berikut ini