• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #32: Untuk Sebuah Perubahan, Harus Berani Merantau!

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #32: Untuk Sebuah Perubahan, Harus Berani Merantau!

Hidup di lingkungan yang bukan masyarakat perantau menjadi tantangan. Tak terasa sudah hampir satu bulan aku berada di Bandung.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Bangunan terminal bandara Husein Sastranegara. (Foto: BandungAirport.com)

12 Mei 2024


BandungBergerak.id – Ada satu pelajaran besar yang aku ambil dalam hidupku sebagai perantau. Yakni berani mengambil sikap untuk sebuah perubahan besar. Kalau dipikir, sebetulnya tanpa merantau ke Bandung pun aku tidak ada masalah. Aku menetap di Jakarta juga semua akan baik-baik saja.

Lahir dari keluarga yang cukup terpandang di kampungku sebetulnya tak harus membuatku khawatir dengan kebutuhan pokok hidup karena Baba dan Enyak banyak memberi peninggalan. Yang mereka miliki, sudah aku rasakan dan aku bangga dengan keadaan orang tuaku yang juga diakui oleh sekeliling orang termasuk pendatang baru. Namun, apakah itu semua artinya menjadi milikku?

Banyak hikmah yang kudapat selama di perantauan. Selain memiliki banyak saudara dan teman baru aku juga berpikir ulang tentang apa yang diwariskan oleh orang tua. Itu semua bukan menjadi milikku. Apalagi pada akhirnya semua itu akan berubah.

Di dunia yang akan selalu ada perubahan, semua harus bisa beradaptasi. Perubahan baik yang dibuat oleh kemampuan manusia, maupun yang dibuat oleh Sang Maha Pencipta yang tidak bisa dicegah oleh manusia. Dari situ aku berpikir, tujuanku merantau ingin membuat sebuah perubahan besar dalam hidup.

Tetapi saat merantau dulu aku pun tidak muluk-muluk. Aku tidak ada pikiran untuk mengubah nasib. Aku hanya ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku akan mendapat pengalaman berharga dengan keluar dari kampung di usia muda. Jangan sampai kata pepatah lama: Seperti katak dalam tempurung. Lalu semuanya berlangsung begitu saja.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #29: Pelajaran Hidup di Rantau dari Almarhum Baba
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #30: Mulai Bekerja sebagai Cakara
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #31: Nasihat Om Kendar

Menjadi Perantau

Misalnya, mengapa aku memilih Bandung? Karena latar belakangku dari sekolah penerbangan yang saat itu industrinya baru dikembangkan di Bandung. Tidak di kota lain atau provinsi lain. Selain itu, Bandung juga bukan kota yang jauh dari tempat lahirku dan cocok untuk anak muda sepertiku saat itu. Jaraknya mungkin hanya 180 kilometer dengan empat sampai lima jam perjalanan saja. Itu dulu sebelum ada jalan tol. Sekarang, seiring perubahan, ada pilihan tol dan juga kereta cepat. Hanya 45 menit sudah bisa berangkat dari Bandung ke Jakarta, meski terbatas bagi mereka yang punya cuan lebih.

Lain dari itu, hidup di lingkungan yang bukan masyarakat perantau juga menjadi tantangan lain bagiku. Dari seluruh keluargaku, mungkin hanya aku yang memilih mengadu nasib ke luar kota. Jika kebanyakan pendatang justru singgah ke Jakarta untuk mencari kerja, justru aku sebaliknya. Dan ini menjadi salah satu penasaranku juga, sekaligus menambah keberanian. Aku mau merantau, mengapa orang lain bisa, kok aku tidak bisa. “Di Jakarta tempatku tinggal itu, kebanyakan yang memegang jabatan itu orang perantau,” begitu kata hatiku.

Aku harus menyadari bahwa dalam hidup dan kehidupan ini selalu ada perubahan, dan kita harus siap menerima perubahan. Tentu saja setiap pekerjaan ada aturan, dan aku juga harus bisa mengikuti aturan. Aku juga menyadari setiap kehidupan ini selalu ada timbul masalah, bagiku jangan sampai aku mengundang masalah atau menambah masalah. Inilah yang akan selalu kupegang dalam hidupku, apalagi di kampung orang.

Tak terasa sudah hampir satu bulan aku berada di Bandung. Semua proses aku jalani dari mulai pelatihan hingga resmi jadi karyawan. Pergi pagi pulang sore dari Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu libur aku habiskan di kos saja. Meski demikian dengan semua kesibukan ini semuanya menjadi tak terasa.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//