Merayakan 300 Tahun Immanuel Kant: Membicarakan Jembatan Rapuh antara Sains dan Metafisika
Pemikiran Immanuel Kant dibedah Bambang Sugiharto dan Karlina Supelli di Bandung. Meskipun dikritik gagal, Kant tetap menjadi salah satu filsuf dunia berpengaruh.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 Mei 2024
BandungBergerak.id – Tahun ini merupakan peringatan ulang tahun ke-300 filsuf Jerman, Immanuel Kant. Di seluruh dunia, perayaan ulang tahun Kant berlangsung, termasuk di Kota Bandung melalui diskusi bertajuk “Landasan Metafisika bagi Sains” yang dibedah dua intelektual, Bambang Sugiharto dan Karlina Supelli.
Kant lahir di Konigsberg, ibu kota Prusia Timur (Jerman) yang sekarang menjadi Kaliningrad, Rusia, pada 22 April 1724. Dia meninggal di kota yang sama pada 12 Februari 1804. Kant menempuh studi filsafat di Universitas Konigsberg.
Menurut Karlina Supelli, di Universitas Konigsberg mulai berkenalan dengan pemikir-pemikir besar seperti filsuf rasionalisme Jerman Cristian Wolff dan Gottfried Leibniz, bapak filsafat modern Rene Descartes, dan pemikiran studi sains fisika Isaac Newton.
“Dia hidup di masa ketika ilmu pengetahuan terutama ilmu alam, berada pada puncak revolusi, puncaknya Newtown menerbitkan prinsip-prinsip matematis untuk filsafat alam dan ini memberi kepastian seakan alam semesta sudah tertentu deterministik,” kata Karlina Supelli, dalam diskusi peringatan Kant yang diadakan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), STF Driyakara, Komunitas Salihara, dan Goethe Institut, Rabu, 8 Mei 2024.
Kant hidup di masa terjadinya perdebatan ilmiah di kalangan intelektual Eropa sebagai buah dari revolusi ilimah. Sementara, teologi menghadapi tantangan ateisme modern yang mendompleng penemuan ilmiah. Salah satu isu yang menjadi puncak perdebatan adalah kontroversi vis viva, secara harfiah berarti kekuatan hidup atau kekekalan. Karlina menjelaskan bahwa perdebatan ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang alam semesta dan fenomena fisika.
Menurut Karlina, kontriversi vis viva menyinta perhatian filsuf dan ahli fisika matematika selama hampir 60 tahun. Perdebatan yang dirangkum dalam pertanyaan: Mengapa benda bergerak?
“Kala dua benda terus bergerak sesudah bertabrakan, apakah ada sesuatu yang kekal dalam peristiwa itu? Apakah ada yang kekal itu merupakan besaran fisika yang dapat diukur, pertanyaannya tentang kekalan adalah metafisika tetapi punya dampak fisika,” jelas Karlina.
Perdebatan ini dipicu oleh kritik Leibniz atas jawaban Descrates yang mengatakan alam semesta ibarat mesin raksasa yang berputar semenjak penciptaan. Rene Descrates menakrifkan kuantitas gerak yang kekal sebagai gaya. Bahwa gaya hanyalah efek samping, konsekuensi dari adanya gerak dan bukan penyebab gerak.
“Demi menjamin kinerja mesin tidak menurun, Descrates menduga mungkin Tuhan melestarikan kuantitas gerak sepanjang sejarah alam. Tabrakan mengakibatkan gerak berpindah dari satu benda ke benda lainnya, tetapi jumlahnya secara keseluruhan tidak berubah,” ujar Karlina.
Sedangkan Leibniz mengatakan kaum Cartesius berusaha menjelaskan seluruh alam dan gaya mati, kecenderungan benda untuk bergerak. “Kritik Leibniz menukik sampai ke aras terdalam realitas untuk mencapai hakikat materi serta menyuguhkan perkiraan yang benar tentang gaya,” terang Karlina.
Leibniz juga melakukan serangan pada kaum Newton, menolak gaya dakhil. Leibniz seperti Wolf mengkritik kaum Newton, salah satunya Samuel Clarke yang dianggap melakukan kesalahan besar karena mau membangun metafisika dengan asas-asas fisika.
Perdebatan ini menjadi sengit, kata Karlina, manakala masing-masing kubu menyerang dampak teologis konsepsi. Kontroversi berakhir sebagaimana ditunjukkan oleh d’Alembert bahwa masing-masing kubu mengajukan besaran-besaran dinamis fisika yang dapat diturunkan dari mekanika Newton.
“Besaran Descrates menyatakan fungsi temporal gaya atau selarang waktu penerapannya, sedangkan Leibniz mengungkapan fungsi spasial atau jarak efeketif gaya,”ujar Karlina.
Filsuf dan pengajar STF Driyakara ini mengatakan perdebatan boleh dibilang berakhir seri di bawah bayang-bayang kedigdayaan sains Newton. Tapi di aras fisika vis viva sebagai kualitatif materi tersingkir.
“Di aras metafisika tidak ada simpulan konklusif yang berhasil menyangkal vis viva. Pertanyaan apakah gaya merupakan sifat dakhil materi ataukah besaran fisika yang bekerja dari luar tidak terjawab dengan solusi,” ungkapnya.
Baca Juga: Jalan Filsafat untuk Membaca Kritis
Mencari Hal Baru dalam Filsafat?
Unpar Perkenalkan Pelajar SMA pada Ilmu Bisnis Digital dan Filsafat
Jalan Tengah Diambil oleh Kant
Kant berusaha mencari solusi di antara kedua pandangan yang saling berlawanan itu. Kant mengambil jalan tengah melalui karyanya Thoughts on the True Estimation of Living Forces (1747 terbit 1749) yang kemudian menanggapi kontroversi vis viva.
“Kant mahasiswa tingkat akhir karyanya itu campur aduk, dia mengambil posisi tengah, yang satu kuantitatif, yang satu kualitatif. Ini karya pertama tidak mendapatkan perhatian. Kedua ia mengakui gagal, dia berhenti menulis, sebagian menyelesaikan sains Kant menjelaskan dengan betul, Kant menyadari dia percaya pada Newton,” ujar Karlina.
Dari Living Forces beberapa pengkaji Kant kontemporer seperti Friedman dan Falkenburg mengganggapnya menarik. Pasalnya, benih pandangan Kant bahwa metafisika tidak anti-sains dan metafisika tidak dapat bertentangan dengan penemuan yang telah terbukti secara ilmiah.
Pada tahun 1755-1756 tiga karya Imannuel Kant lahir memperlihatkan upayanya membangun jembatan bagi bidang-bidang dalam sistem metafisika Wolff. Mulai dari A New Elucidation of The First Principles of Metaphysical Cognition, menuntaskan landasan metafisika berdasarkan penyelarasan sains dengan asas metafisika tentang kebebasan. Universal Natural History and Theory of the Heavens, menguraikan kosmologi dalam kesesusaian dengan keterarahan alam sebagai jembatan menuju teologi rasional. Phsysical Monadology menghubungkan kosmologi teori tentang materi yang aktif.
“Banyak pengkaji pemikiran Kant pada masa filsafat pra-kritis menganggumi kejujuran intelektuanya. Ia mengakui kegagalannya yang menyakitkan kemudian dengan seksama mengambil pelajaran dari situ. Schonfeld memberi contoh, ketika menyadari bahwa mekanika Cartesius tidak memadai untuk menghitung gaya, ia beralih ke fisika Newton. Ketika menyeadari bahwa metafisika Leibniz-Wolff bermasalah, dia memutus hubungan dan membangun sendiri metafisikanya,” ungkap Karlina.
Setelah delapan tahun kemudian Kant meragukan asas-asas metafisika dan metode yang ia terapkan. “Tindakan bebas tetap merupakan materi dalam alam yang serba deterministik. Ia gagal menemukan struktur yang sama bagi hubungan sebab-akibat dalam peristiwa alam dan kehendak rasional yang bebas,” tutur Karlina.
Dalam esai Inquiry Concerning the Disctinctness of the Principles of Natural Theology and Morals untuk kompetisi Akademi Prusia, Karlina mengatakan, Kant membuktikan metafisika belum ada. Metafisika masa depan yang membawa kepastian tinggi dapat terwujud asalkan para metafisikawan mau mengadosi langkah metodologis Newton.
“Dalam pengantar Principia Newton menjelaskan bahwa secara bertahap ia menemukan solusi bagi permasalahan yang akan ia pecahkan dengan menjalankan analisis, lalu menggunakan metode sintesis untuk membuktikan apa yang telah ditemukan melalui metode analitik,” ujar Karlina.
Dengan Lugas Kant mengusulkan perubahan metodologisnya: metafisika harus bertolak dari penyelidikan analitik sebelum melanjutkan ke tahap sintetik.
Kant lalu jatuh pada krisis intelektual yang mendalam, para pengkajinya mengatakan Kant menggergaji dahan pohon yang telah ia duduki sejak 1754. Dalam karyanya Dream of a Spirit Seer, Immanuel Kant mengkritik dirinya sendiri.
“Dream tidak akan menarik secara filosofis seandainya para kritikus tidak mengenali bahwa Kant sedang melontarkan kritik dan keraguan terhadap pemikirannya sendiri selama itu. Dream sebagai langkah awal Kant untuk menggulingkan metafisika sebagai penyelidikan mengenai aspek-aspek nirmateri realitas,” beber Karlina.
Karlina seraya meringkas penjelasan pengkaji Kant yakni Schofeld mengatakan ia selalu mengandaikan realitas yang terpadu. Penyelidikan sains dan metafisika berjalan bersama-sama karena alam semesta mengandung aspek empiris-kuantitatif dan aspek rasional-kualitatif—konsekuensi logis dari model realitas terpadu ini menuntut monisme ontologis.
“Realitas empiris dan realitas metafisis merupakan dua aspek dari struktur realitas yang saling terhubung,” sebut Karlina.
Dari proyek Kant wujud materi dan nirmateri atau tubuh dan jiwa tunduk pada hukum yang sama. Di saat yang sama proyek ini mengesampingkan kemungkinan adanya kehidupan setelah kematian. “Kemungkinan bahwa substansi material melepaskan diri dari wujud fisiknya dan berinteraksi satu sama lain,” beber Karlina.
Karya ini bertentangan dengan karya Kant tahun 1755-1763 yang mensintesiskan alam dan Tuhan. Komunitas jiwa-jiwa nirmateri, menurut Karlina, adalah subtansi yang mematuhi hukum dasar yang sama, hunian komunitas jiwa-jiwa nirmateri semestinya memiliki struktur yang sama dengan dunia fisis. Kant menemukan argumen yang sanggahannya menjadi mustahil. Yakni, agenda selama itu melahirkan alam roh.
“Sebuah dunia yang hantu-hantunya bahkan tidak menyadari bahwa dunia fana mereka sudah berlalu karena semua terlihat dan terasa sama,” ujar Karlina.
Kegagalan Kant terletak pada karya pertama yang tak dianggap gagal, dan karya keduanya yang disita dan dilarang beredar. Semua tampak lelucon buruk bagi Kant. Tahun 1770 ia menulis Dissertation on the Form and Principles of the Sensible and the Intelligible Word. Dalam karya untuk melamar posisi profesor di Konigsberg itu ia menceraikan kesatuan dinamis antara sains dan metafisika. Dunia terbelah menjadi dunai metafisika yang dipahami melalui budi murni dan dunia ilmiah dijelaskan melalui langkah empiris.
Sepuluh tahun tahun kemudian terbit magnum opusnya yakni Kritik atas Budi yang membunuh metafisika tradisional. “Metafisika bukan lagi pengetahuan melalui budi murni tentang perihal nirmateri di ranah seberang gejala indrawi, melainkan seperangkat tuntutan budi dalam upayanya menata penyelidikan manusia atas realitas,” jelas Karlina
Immanuel Kant berupaya memadukan sains dengan metafisika melalui pencairan akan syarat-syarat ilmiah. Kant menyebutnya pendasaran metafisis sains.
Melihat Program Kritik Immanuel Kant
Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Unpar, menyebutkan Kant merupakan filsuf awal yang mendobrak metafisika sambil memberi dasar kepastian pada sains. “Kant itu menganggap, puncak metafisika bukti-bukti adanya tuhan, buat dia bukti pengetahuan secara tidak valid, itu di wilayah moral. Artiannya di situ, ia menyingkirkan metafisika. Pada akhirnya, menarik kembali sains ke metafisika,” ujar Bambang.
Di dalam karya terakhirnya Metaphysical Foundation of Natural Science, Kant menarik kembali sains ke metafisika. Menurut Bambang, karya ini penting karena Kant menetapkan kepastian pada sains di akhir karyanya, ia kembali merelatifkan sains sambil memperlihatkan unsur-unsur metafisik yang tetap melekat pada sains.
Dari karya ini Kant melemparkan trilogi kritiknya di antaranya adalah kritik der praktischen vernunft yang di dalamnya ada 3 unsur penting. “Pancaindera, akal, dan rasio. Pemahaman kita atas realitas merupakan sintesis dari ketiga unsur itu, atau perpaduan dari luar dan dari dalam diri,” beber Bambang.
Kritik akal budi Kant dipicu oleh filsuf Jerman lain seperti Descrates dan Leibniz. Descrates berpendapat bahwa pengetahuan yang benar bisa didapat kalau kita bisa menata pikiran kita secara rasional dan teratur secara nalar. Hal ini nantinya tinggal dilengkapi oleh kaum empirik dari John Locke bahwa pengetahuan dari pengalaman bukan hanya penalaran.
“Masalahnya, di kalangan empiris ada David Hume dan Berkeley yang menarik lebih jauh dan radikal yang kita ketahui, gejala-gejala itu, misalnya sebab-akibat yang kita tahu hubungan kronologisnya ketimbang sungguh-sungguh logisnya,” lanjutnya.
Di sinilah reaksi Kant, di mana kemampuan menangkap objek mengandaikan adanya ruang dan waktu. “Tapi apa itu ruang dan waktu, sekedar konsep atau sesuatu yang nyata? Seandainya ruang dan waktu adalah sesuatu yang nyata obyektif di luar sana, maka kita akan menghadapi berbagai antinomi kedua-duanya dapat dibuktikan itu berarti rasio bertentangan dengan dirinya sendiri, seperti dalam skala semesta ruang dan waktu jadinya terbatas sekaligus tak terbatas?” kata Bambang.
Maka, Kant mengatasi antinomi ini dengan idealisme transdental. Realitas yang tampak berbeda dari realitas sesungguhnya, noumena, yang bisa diketahui dengan pasti hanyalah yang dialami atau fenomena. Ruang dan waktu juga sebab akibat yang merupakan konsep apriori syarat subyektif yang memungkinkan pengalaman, pengetahuan, dan obyek-obyek pengalaman tergantung pada akal.
Bambang mengatakan ada tiga jenis pengetahuan menurut Kant, yang pertama adalah pengetahuan analitis dari sekedar analisis atas subyek didapatkan predikat atau pengetahuan; pengetahuan sintensis aposteriori atau predikat pengetahuan tentang subyek didapatkan dari pengalaman; dan pengetahuan sintensis apriori predikat pengetahuan didapat dari sintensis antara data-data yang geometris.
Sintensis aposteriori adalah pengetahuan yang menganduan kepastian yakni sains. Sementara metafisika dalam rangka ini bukan pengetahuan yang valid. Karena ketiga konsep pengatahuan Kant adalah alat untuk memahami pengalaman, alat digunakan untuk memahami alat, mata untuk menganalis mata.
“Secara rasional terasa logis belum tentu otomatis eksis, metafisika seperti itu lebih wilayah moral dan iman,” terang Bambang.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Filsafat