• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #33: Pulang ke Jakarta Setelah Jadi Karyawan, Kemalaman di Jalan, Kehabisan Angkutan

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #33: Pulang ke Jakarta Setelah Jadi Karyawan, Kemalaman di Jalan, Kehabisan Angkutan

Pulang ke Jakarta sebulan sekali selepas kerja pada Jumat sore. Kehabisan angkutan kendaraan umum menuju rumah di Terminal Blok M sudah biasa.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Suasana gerbang masuk Jakarta Fair tahun 1986. (Koleksi KITLV D13631, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

19 Mei 2024


BandungBergerak.id – Sedari awal aku punya rencana paling tidak setiap bulanya aku harus pulang ke Jakarta untuk melihat Enyak di sana. Belum enak rasanya kalau tidak ketemu beliau terlalu lama. Jadi ya aku harus bisa membagi waktu dan mengatur uang saku. Jangan sampai kehabisan uang tiap bulannya. Apalagi sebagai perantau, paling tidak harus siap uang saku untuk ongkos pulang kalau-kalau ada berita mendadak dari rumah.

Biasanya aku pulang di hari Jumat setiap akhir bulan. Tentunya aku akan pulang ke Jakarta setelah jam kerja di sore hari. Kebiasaanku ketika hendak pulang, paginya sebelum berangkat pasti aku pamit dulu dengan ibu kos. Setelah bubar kerja aku langsung naik Honda, begitu rasanya dulu angkutan kota disebut di Bandung. Menuju Jalan Padjadjaran lanjut ke Kebon Kalapa dan mengambil bus dari sana. Kadang aku menggunakan bus langgananku seperti Medal Sekarwangi. Kadang dengan yang lain seperti Aladin atau Gagak Rimang.

Sekali waktu aku pernah menggunakan bus yang sangat padat. Tidak ada pilihan tempat duduk membuatku harus berdiri. Tidak jarang juga jalanan di Bandung begitu macet. Pernah sekali waktu misalnya, bus yang aku tumpangi tertahan macetnya Jalan Raya Cimindi. Padahal bus itu aku naiki dari terminal jam 17.30 dan jam 20.00 masih di Cimindi. Kalau sudah begitu hati sudah tidak bisa menikmati perjalanan lagi. Sekalipun sudah ditemani dengan lagu-lagu perjalanan, yang ada di pikiranku jam berapa mau sampai Jakarta kalau macet begini di Bandung. Cianjur pun belum.

Pulang ke Jakarta setelah mulai aktif bekerja seperti ini tentu berbeda kala aku masih bolak balik untuk melamar. Zaman itu di tahun 80-an belum ada akses jalan tol dari Jakarta ke Bandung, sehingga aksesnya hanya via Puncak atau Cikampek, dan aku pasti baru bisa pulang setelah jam pulang kantor. Alhasil kemalaman di jalan seperti ini jadi kebiasaanku yang baru. Sebagai pegawai baru tentu semuanya pun masih terbatas. Aku akan memilih bus yang ongkosnya lebih murah meski harus berdesak-desakan. Saat istirahat makan di Restoran Roda Cipanas misalnya aku tidak akan ikut makan, cukup minum teh manis hangat saja. Mengukur kemampuan kantongku.

“Semoga di Jakarta nanti masih ada bus aja yang menuju rumahku,” begitu gumamku kalau sudah kemalaman di jalan dan masih jauh dari Jakarta.

Keluar dari terminal Bogor bus menuju Jakarta akan putar kanan masuk ke Tol Jagorawi. Karena malam hari, jalan biasanya pun sudah sepi. Hanya mobil-mobil besar yang banyak terlihat. Kalau sudah malam, suasana di dalam bus relatif terasa hening, tanpa suara musik dan hanya beberapa lampu yang dinyalakan pada kabin. Terdengar suara angin menderu menghempas setiap melewati mobil.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #30: Mulai Bekerja sebagai Cakara
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #31: Nasihat Om Kendar
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #32: Untuk Sebuah Perubahan, Harus Berani Merantau!

Kehabisan Angkutan

Nantinya setelah sampai di Terminal Cililitan aku pun langsung mencari bus menuju ke Blok M. Setelah tiba di Terminal Blok M tak jarang kendaraan umum menuju rumahku sudah habis. Pertama kali punya pengalaman ini aku bingung. Tapi aku tak mau habis akal, aku keluar dari terminal dan ternyata masih ramai orang. Banyak orang yang beraktivitas lalu lalang dan di situ banyak mobil omprengan gelap atau mobil pribadi yang dipakai mengangkut penumpang. Jenisnya banyak, malah ada VW Combi segala.

Jujur saja meski lahir dan besar di Jakarta, ini adalah pemandangan baru bagiku. Tengah malam begini ternyata Jakarta masih ramai tapi sedikit menyeramkan. Aku jadi teringat dengan ucapan orang tuaku dulu. Waktu aku kecil Baba bilang, kalau malam buat tidur, buat istirahat, bukan buat keluyuran. Sekarang aku berpikir kapan pada tidurnya orang ini semua. Kok pada masih sibuk. Itu tahun 1981, apa lagi sekarang saat orang-orang makin sibuk.

Kalau naik mobil omprengan aku selalu waspada, berharap semoga yang ada di dalam mobil ini orang baik semua. Pernah aku sekali waktu melihat ada seorang ibu-ibu yang juga menumpang omprengan selarut itu. Kadang aku berpikir campur iba, malam-malam begini di mana anak dan suaminya.

Mobil omprengan ini tidak melintas di depan rumahku. Aku akan berhenti di sekitar Cipulir kemudian sambung jalan kaki. Biasanya sudah sepi sekali, aku pun sudah malas melihat jam. Tapi dari rumah-rumah yang sudah tertutup kadang masih terdengar suara TV yang diputar. Misalnya acara Kamera Ria Safari yang terkenal itu. Jelas aku tahu karena lagu pembukanya yang khas itu terdengar: S A F A R I, Safari!. Intermeso saja, aku masih ingat pemandunya Itje Trisnawati. Orang Tasikmalaya. Ya begitulah tahun 80-an.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//