• Kolom
  • BUNGA DI TEMBOK: Mochtar Lubis sebagai Tahanan Orde Baru

BUNGA DI TEMBOK: Mochtar Lubis sebagai Tahanan Orde Baru

Oleh pemerintahan Orde Baru, Mochtar Lubis ditahan selama 1,5 bulan di Nirbaya. Catatan-catatannya pertama kali terbit justru dalam bahasa Belanda.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Buku karya Mochtar Lubis, Kampdagboek (1979), kanan. Sebelahnya edisi bahasa Indonesia buku itu berjudul Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (2006). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

21 Mei 2024


BandungBergerak.id - Dicerabut dari kehangatan keluarganya, Mochtar Lubis menghuni penjara Nirbaya, Jakarta, sejak Selasa, 4 Februari 1975, sore. Tidak ada alasan penahanan keluar dari mulut tiga jaksa yang menjemputnya. Desas-desus menyebut nama sang wartawan dikait-kaitkan dengan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), demonstrasi mahasiswa menolak kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kukei yang berujung rusuh.

Indonesia Raya, koran yang dipimpin Mochtar, sudah jauh-jauh hari dibredel, tepatnya sejak 21 Januari 1974, bersama 10 surat kabar dan satu majalah. Meski para pejabat pemerintah enggan mengakui, Mochtar meyakini dirinya ditangkap akibat kerja jurnalistiknya. Ia dipenjara sebagai seorang wartawan.

“Apa yang bikin orang-orang berkuasa tak senang atau takut pada tulisan-tulisan saya? Saya sungguh heran. Saya tak berjuang dalam organisasi massa, saya tidak membina sesuatu massa. Saya hanya mencurahkan isi hati nurani dan pikiran-pikiran saya untuk kemajuan bangsa, perbaikan keadaan, mengoreksi apa saya rasa perlu dikoreksi, tapi orang-orang berkuasa selalu merasa gelisah menghadapi buah pikiran saya,” begitu Mochtar, kelahiran Padang, 7 Maret 1922, mencatat pada hari keenam di Nirbaya.

Dari dalam penjara yang bersebelahan dengan proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) itu, Mochtar rajin menulis catatan dan surat. Kumpulan tulisannya pertama kali terbit dalam bahasa Belanda, dijuduli Kampdagboek, pada 1979. Edisi bahasa Indonesia-nya baru bisa beredar luas 27 tahun kemudian. Judulnya Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.

Mochtar menulis apa saja yang ia temui selama 1,5 bulan mendekam di penjara. Dari peristiwa yang terkesan remeh seperti menu jatah makan para tahanan dan nyanyian srigunting di kebel listrik hingga yang mengerutkan dahi seperti kisah hidup para tapol dan kasus korupsi Pertamina. Dalam surat-surat untuk Halimah, sang istri yang ia panggil mesra “Hally tersayang”, Mochtar beberapa kali harus meminta maaf karena sudah menuliskan bahasan yang begitu serius. Termasuk kontroversi modal asing yang menjadi isu panas di seputar Peristiwa Malari.

Lewat catatan dan suratnya, kita bisa mengetahui bagaimana Mochtar secara tenang menjalani hari-harinya sebagai tahanan. Ia banyak beraktivitas. Bukan hanya berkebun dan berolah raga rutin secara pribadi, tetapi juga berkumpul dan berdiskusi dengan para tahanan lainnya. Termasuk Hariman Siregar, salah satu sosok sentral dalam Peristiwa Malari.

Meskipun tidak mendalam, Nirbaya juga mengungkap perjumpaan langka Mochtar, yang terkenal antikomunis, dengan para tahanan politik yang dicap sebagai orang komunis karena tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S). Ada Soebandrio, Omar Dani, Oei Tjoe Tat, dan beberapa nama lain. Banyak dari mereka nantinya menuliskan kisah hidup masing-masing dalam buku memoar atau kesaksian. Kisah Oei Tjoe Tat, salah satu menteri Sukarno, disunting oleh Pramoedya Ananta Toer.

Terhadap para tapol itu, Mochtar menunjukkan simpatinya. Ia memprotes bagaimana bisa mereka dipenjara selama bertahun-tahun tanpa pernah diadili. Ketika dibebaskan dari Nirbaya tanpa syarat pada 14 April 1975, Mochtar “merasa sedikit bersalah dibebaskan dari penjara jauh lebih cepat dari mereka”.

Salah satu ilustrasi dalam buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (2006). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)
Salah satu ilustrasi dalam buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (2006). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Baca Juga: BUNGA DI TEMBOK: Suparman Amirsyah, Menyerah Tidak Berarti Kalah
BUNGA DI TEMBOK: Agil H. Ali Terseret Gerakan Mahasiswa
BUNGA DI TEMBOK: Sebuah Risalah Jurnalistik dari Ibu Kota Revolusi Yogyakarta

Dari Beredel ke Konglomerasi

Indonesia Raya, dengan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksinya, pertama kali terbit pada 29 Desember 1949. Oplahnya tercatat 5 ribu eksemplar. Surat kabar mengalami masa sulit akibat perselisihan internal antara Mochtar dengan pemimpin umum Hasjim Mahdan. Pada akhir 1958, setelah Mochtar dipenjara oleh pemerintahan Sukarno, Indonesia Raya benar-benar berhenti terbit. Dalam periode pertama ini, Indonesia Raya mengalami enam kali pemberedelan.

Periode kedua Indonesia Raya dimulai lewat penerbitan perdananya pada 30 Oktober 1968. Oplahnya 20 ribu eksemplar. Meskipun di tajuknya tertulis jelas “Harian ini memberikan dukungannya pada pemerintah Suharto…”, pada periode keduanya, Indonesia Raya tidak sekali pun kehilangan ciri khas. Ia tetap tampil sebagai surat kabar yang galak dalam mengungkap pelanggaran dan menyiarkan kritik bagi pemerintah. Dalam keyakinan Mochtar, inilah yang sebaik-baiknya bisa disumbangkan pers sebagai bentuk dukungan bagi pemerintah.

Perintah beredel menyusul Peristiwa Malari membuat beberapa pemimpin surat kabar lain mengubah taktik mereka dengan mengendurkan kritik. Mochtar Lubis menolak berkompromi. Begitulah Indonesia Raya, yang tirasnya ketika itu mencapai puncak di kisaran 41 ribu eksemplar, tamat.

Riwayat Indonesia Raya termuat dalam Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Indonesia Raya karangan Ignatius Haryanto. Buku setebal 276 halaman ini, yang diangkat dari skripsi sang penulis di Fisip Universitas Indonesia, diterbitkan secara indi oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) pada 1995. Pada 2006, buku tersebut diterbitkan ulang oleh LKiS Yogyakarta dengan judul Indonesia Raya Dibredel!.

David T. Hill, pengajar senior di Murdoch University Australia, dalam pengantarnya menyebut salah satu sumbangan penting buku ini adalah kajiannya terhadap hubungan antara pers dan pemerintah. Ia menyodorkan dilema kebebasan pers. Kalaupun mulai lepas dari cengkeraman kontrol pemerintah, pers perlahan terjerumus ke lubang lain: terpusatnya kepemilikan pers.

“Betapa mencemaskan juga kalau yang memiliki konglomerat pers tidak lain daripada pengusaha yang terkenal dekat degan pusat kekuasaan. Apalagi kalau pengusaha pers merasa kepentingan mereka sejalan dengan kepentingan kelompok tertentu dalam pemerintah, sehingga mulai memakai media yang dimilikinya sebagai tangan negara dalam mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat umum masyarakat,” begitu tulis pengarang buku The Press in New Order Indonesia (1994) tersebut.

Analisa Hill pada 1995 itu terbukti masih relevan sampai hari ini. Bredel sudah dikubur, tapi konglomerasi pers dan kedekatan para elitenya dengan penguasa semakin mencemaskan. Beberapa gelaran pemilihan presiden terakhir menjadi penegasnya.

Dalam situasi hari ini, masih relevan pula catatan Mochtar Lubis ketika dijebloskan ke Nirbaya, menyusul pemberedelan surat kabarnya Indonesia Raya. Keteguhannya melakoni peran pers sebagai anjing penjaga (watchdog) kekuasaan justru semakin dibutuhkan di tengah banjir informasi era internet.

Bahkan dari dalam penjara, Mochtar masih memikirkan dunia pers. Ia tidak menyembunyikan kekecewaan melihat media tutup mata atas korupsi dan manipulasi di tubuh Pertamina, yang sudah dibongkar lewat reportase Indonesia Raya empat tahun sebelumnya. Terhadap perilaku para elite organisasi wartawan, Mochtar melontarkan kritik pedas. Yang satu menggunakan berita untuk memeras, yang lain menerima pemberian mobil dan rumah dari pejabat.

“Masyarakat pun dirugikan karena keluh-kesah dan hasrat-hasrat mereka tidak lagi dicerminkan dalam pers,” tulisnya dalam surat untuk sang istri pada 12 April 1975.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang jurnalisme

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//