• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #34: Tentang Merantau dan Menjadi Dewasa

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #34: Tentang Merantau dan Menjadi Dewasa

Aku menyadari bahwa proses merantau ini adalah juga proses menjadi dewasa. Tidak mudah, tetapi harus kujalani.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

26 Mei 2024


BandungBergerak.id – Pulang ke Jakarta setelah tinggal di Bandung sebagai pekerja memang tidak lagi seperti biasa. Sering aku sampai di rumah ketika malam sudah hendak berganti hari. Aku sampai di teras rumah yang tanpa pagar halaman dan terlihat dari luar kalau sinar lampu masih menyala.

Rumahku terasa sepi dibanding dulu saat aku masih tinggal di sini dan Baba masih ada. Demikian aku membatin. Jangan tanya aku sedih atau tidak, tentu saja sedih itu ada. Kehilangan orang tua adalah lubang menganga yang tidak bisa diisi kembali walaupun hidup sudah berjalan biasa-biasa saja.

Biasanya sesampainya aku di rumah aku menghabiskan waktu dengan Enyak. Di rumah, Enyak tinggal bersama adikku, seorang perempuan yang sudah menikah dan saat itu baru dikaruniai satu anak perempuan berusia satu tahun. Total ada empat orang yang tinggal di rumah saat itu setelah Baba meninggal dan aku merantau ke Bandung. Enyak, adik perempuanku, suaminya, dan anaknya.

"Bandung jauh kagak? Kalau Enyak ke sono kuat kagak?" kata Enyak suatu hari.

"Nanti aja ke sananya kalau Aya (pengganti saya dalam Bahasa Betawi), udah diangkat jadi karyawan tetap baru dah Enyak ke sana," kataku.

"Iya Enyak juga pengen tau, di mana-mananya, supaya enak di sininya kalau udah tau mah," Enyak menambahkan.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #31: Nasihat Om Kendar
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #32: Untuk Sebuah Perubahan, Harus Berani Merantau!
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #33: Pulang ke Jakarta Setelah Jadi Karyawan, Kemalaman di Jalan, Kehabisan Angkutan

Tidak Mudah

Memang banyak hal berubah ketika aku sudah tidak di rumah dan Baba sudah meninggal dunia. Toko kelontong orang tuaku masih ada, tetapi barangnya sudah banyak berkurang. Aku maklum karena mungkin tidak ada yang menggantikan Baba belanja, apalagi Enyak juga sudah tidak lagi muda. Tidak hanya toko, pohon-pohon yang dulu ditanam dan dirawat Baba seperti cengkeh, rambutan, duren, kecapi, pisang, dan lain macamnya juga tampak layu, tak terurus.

Pertimbangan inilah yang akhirnya membuatku memilih untuk sering bolak-balik Bandung-Jakarta. Maklum aku anak laki-laki tertua dari delapan bersaudara dan aku menyadari bahwa proses merantau ini adalah juga proses menjadi dewasa. Tidak mudah, tetapi harus kujalani. Toh aku juga bukan lagi anak-anak. Dari sini aku mulai berpikir, cepat atau lambat aku akan mempunyai istri, meski entah orang mana. Aku pun tak tahu jodohku. Semoga saja aku mendapatkan istri yang sudah dewasa pemikirannya, yang baik.

Biasanya aku akan kembali ke Bandung pada Minggu sore. Ini kulakukan agar aku sampai Bandung tidak terlalu malam karena pintu gerbang kosku biasanya sudah ditutup pada pukul 11 malam. Antara jam 2 siang aku biasanya berangkat dari rumah dan tiba di kos antara jam 7 atau jam 8 malam. Selambat-lambatnya kurang dari jam 10 aku sudah sampai.

Kalau tiba gilirannya aku pulang ke Bandung, Enyak selalu membekaliku banyak hal. Betapa sayangnya dia padaku. Mulai dari susu kental manis dan masakan tempe teri kentang yang digoreng kering. Belum lagi minuman ringan dan roti. Ya kalau ditanya, sebetulnya kalau sudah di rumah hati ini berat untuk kembali ke Bandung. Tapi apa boleh buat, ini sudah jalan hidup yang digariskan oleh Tuhan untukku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//