• Opini
  • Merenungkan Kembali Kisah Polisi Hoegeng dan Sum Kuning

Merenungkan Kembali Kisah Polisi Hoegeng dan Sum Kuning

Kasus Sum Kuning menghebohkan Yogyakarta tahun 1970-an. Kapolri Hoegeng Imam Santotso kala itu menguak kejanggalan penanganannya oleh polisi setempat. Masih terjadi?

Akbar Adi Benta

Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Sampul novel Halaman Terakhir (2015) karya Yudhi Herbowo . Novel yang menceritakan kisah hidup mantan Kapolri Hoegeng Imam Santotso. (Foto: Akbar Adi Benta)

28 Mei 2024


BandungBergerak.id – Buku bertajuk “Halaman Terakhir” adalah sebuah novel tulisan Yudhi Herbowo yang terbit pada tahun 2015 lalu. Novel itu mengisahkan tentang kisah hidup dari Kapolri yang menjabat pada periode 1968-1971. Kapolri itu bernama Hoegeng Imam Santotso.

Selain dikenal sebagai seorang Polisi yang punya integritas tinggi dan Polisi paling jujur –kata Gus Dur, Hoegeng adalah Polisi paling jujur setelah polisi tidur dan patung polisi. Hoegeng juga adalah Kapolri pertama yang membuat maklumat penggunaan helm bagi pengendara bermotor. Ya, dialah orang pertama yang mengusulkan penggunaan helm di Indonesia pada tahun 1970.

Tapi, novel “Halaman Terakhir” bukan mengisahkan tentang aturan tersebut. Setidak-tidaknya ada dua kasus –kalau saya tidak keliru mengingat– yang diangkat di dalam novel itu.

Pertama kasus tentang masuknya mobil impor secara gelap ke Indonesia tanpa melalui bea cukai, yang dilakukan oleh Soni Cahaya. Kedua, tentang kasus pemerkosaan terhadap seorang wanita penjual telur, yang dilakukan oleh 4 orang di dalam mobil.

Pada tulisan kali ini, saya hanya mencoba menceritakan kasus Sum Kuning. Kasus yang membuat saya terperangah ketika membaca buku novel karya Yudhi Herbowo ini, pada beberapa tahun silam.

Baca Juga: Program Polisi RW Harus Membantu Masyarakat, Bukan Melahirkan Raja-raja Baru
Pengepungan oleh Polisi di Dago Elos Menimbulkan Trauma pada Perempuan dan Anak-anak
Ketika Organisasi Para Pembela HAM dan Demokrasi Didemo Massa dan Dijaga Polisi

Selayang Pandang Terkait Sum Kuning

Kasus yang terakhir dikenal dengan kasus “Sum Kuning”. Kasus Sum Kuning terjadi di kota Yogyakarta pada 21 September 1970 lampau.

Kasus Sum Kuning terjadi pada suatu sore. Sumaryah –begitulah nama korban kasus Sum Kuning ini ditulis dalam novel itu– hendak pulang seusai telur jajakan miliknya sudah habis. Saat itu waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, Sumaryah sedang menunggu bus untuk mengantarnya pulang.

Sumaryah berjalan kecil seraya menunggu bus yang biasa mengantarnya pulang itu. Ia berjalan di tepi jalan yang sepi sore itu. Alih-alih bus yang diharapkan datang, Sumaryah malah digoda oleh sekelompok pria yang menaiki mobil berwarna merah –di masa itu mobil adalah barang yang amat mahal. Satu pria di antara mereka menawarkan tumpangan kepada Sumaryah untuk mengantarnya pulang.

Namun, Sumaryah menolak dengan sopan. Tapi, pria itu tidak begitu saja berhenti menggoda. Pria itu kembali mencoba menawarkan tumpangan kepada Sumaryah. Sumaryah pun menolak lagi tawaran itu dengan cara yang sama.

“Makasih, Mas, sebentar lagi bapak saya jemput, kok,” ujar Sumaryah.

Rupanya, penolakan Sumaryah mengantarkannya pada petaka. Pria yang ada di dalam mobil itu seketika saja turun dan menarik paksa Sumaryah untuk masuk ke dalam mobil. Tentunya, Sumaryah mencoba membela diri. Tapi, leher Sumaryah dicekik dan berada dalam ancaman pisau belati.

Sumaryah baru berusia 16 tahun kala itu. Tentunya tidak banyak perlawanan yang bisa dilakukan oleh seorang anak wanita 16 tahun, di bawah cekikan tangan dan todongan belati yang dilakukan oleh pria beringas di dalam mobil yang sedang melaju.

Sumaryah pun hanya bisa pasrah. Ia dirudapaksa. Mobil itu berisi 4 orang pria. Kelak, Sumaryah mengingat tiga di antaranya berambut gondrong, dan semua pria itu melakukan rudapaksa terhadap dirinya secara bergantian di dalam mobil yang sedang melaju.

Setelah itu, ketika 4 orang pria biadab itu selesai melakukan tindakan kejinya, mereka membuang Sumaryah di pinggir jalan begitu saja saat hari sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Kasus ini masuk koran dan menggemparkan seantero Kota Yogyakarta pada masa itu.

Dalam novel, wartawan yang menuliskan kasus pemerkosaan tersebut bernama Djaba Kresna. Djaba bekerja di media cetak Kota Yogyakarta. Kemudian, Djaba mewawancara Sumaryah di rumah sakit, setelah Djaba mendapat kabar dari informannya.

Dalam berita yang ditulis Djaba, ia mengabarkan bagaimana kronologi petaka itu terjadi berdasarkan hasil wawancaranya dengan Sumaryah di rumah sakit.

“Menurut pengakuan S, sebelum matanya ditutup kain hitam, ia sempat melihat 4 laki-laki itu dengan jelas. Tiga di antaranya berambut gondrong, dan satu berambut pendek. Salah satu dari mereka kemudian menutup hidungnya dengan kain beraroma tajam, yang kemudian diyakininya sebagai obat bius. Karena, setelah itu, S tak bisa mengingat jelas apa yang terjadi kemudian,” tulis Djaba dalam beritanya.

Setelah berita Sumaryah yang ditulis Djaba terbit, Sumaryah mencoba melaporkan kasusnya kepada kepolisian. Namun, laporan Sumaryah justru  tidak ditindaklanjuti. Terlebih, Polisi menganggap laporan Sumaryah adalah kebohongan. Meskipun Sumaryah sudah menunjukkan bukti visum pada saat pelaporan.

Bahkan, Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol) Yogyakarta menggelar jumpa pers. Kadapol itu mengumumkan kepada wartawan bahwasanya apa yang menimpa Sumaryah adalah murni laporan palsu. Kadapol itu melanjutkan, bahwa tidak pernah terjadi pemerkosaan di dalam mobil seperti apa yang ditulis dan dikabarkan oleh Djaba Kresna, wartawan dari media cetak Kota Yogkarta itu.

Kasus ini pun semakin gempar. Kasus yang bermula menjadi berita daerah, kemudian meluas menjadi berita nasional. Hingga, berita ini mencuri perhatian Kapolri saat itu yang adalah Hoegeng Imam Santoso. Hoegeng sampai membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus Sumaryah itu.

Tim penyelidikan Hoegeng menemukan bahwasanya terdapat keterlibatan anak pejabat dalam kasus Sumaryah. Sebagai Kapolri, Hoegeng pun melaporkan temuan itu kepada Presiden Soeharto. Alih-alih mendapat dukungan dari presiden untuk mengusut tuntas kasus Sumaryah, Hoegeng malah diminta oleh presiden untuk melepas kasus tersebut dan membiarkan kasus itu ditangani oleh orang lain atau anak buahnya.

Dengan begitu, Hoegeng tidak lagi menangani secara langsung kasus Sumaryah. Terlepas itu, Hoegeng tetap memerintahkan anak buahnya yang sangat dia percayai untuk memantau kasus Sumaryah. Anak buah kepercayaan Hoegeng itu bernama Jati Kusuma yang berpangkat Lentan Dua.

Sesuatu yang unik terjadi ketika kasus Sumaryah sudah sampai ke ruang persidangan. Sebagaimana diketahui masyarakat pada saat itu, bahwa jumlah pelaku adalah 4 orang seperti apa yang dikabarkan media cetak saat itu. Namun, ketika sidang pertama berlangsung jumlah pelaku menjadi 6 orang. Semua pelaku yang digiring ke persidangan tidak ada satu pun yang berambut gondrong atau sesuai dengan ciri seperti yang diceritakan Sumaryah kepada Djaba Kresna ataupun pihak kepolisian di saat awal.

Kemudian, pada sidang selanjutnya tersangka pun bertambah kembali. Kali ini, jumlah tersangka menjadi 11 orang.

“Tadi pagi baru menghadiri persidangannya Pak. Dugaan Bapak (Hoegeng) ternyata benar, kasus ini sepertinya semakin membingungkan. Sebelas terdakwa ternyata sama sekali tak saling mengenal. Diduga ada indikasi intimidasi berlebihan terhadap mereka,” kata Jati Kusuma melapor kepada Hoegeng melalui pesawat telepon.

Setelah diselidiki, ternyata tersangka-tersangka tersebut telah dipaksa dan diintimidasi untuk mengaku sebagai pelaku pemerkosa Sumaryah. Bahkan, salah satu dari terdakwa itu adalah pedagang bakso yang tidak mungkin pada saat itu bisa membeli mobil yang harganya amat mahal sekali pada masa itu.

Merasa Familier

Belakangan ini publik dibuat gempar dengan pengakuan Perong, seorang tersangka pembunuhan Vina Cirebon yang terjadi pada tahun 2016 silam.

Instagram Kompascom mengunggah tayangan jumpa pers yang digelar di Mapolda Jabar pada Minggu 26 Mei 2024. Dalam jumpa pers tersebut dapat terlihat, Pegi alias Perong mengaku bahwa bukan dia pelaku atau bahkan dalang dari pembunuhan Vina Cirebon. Dalam jumpa pers tersebut Pegi berucap ia rela mati untuk mempertanggungjawabkan apa yang dikatakannya tersebut.

"Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu, saya rela mati, saya rela mati," ucap Pegi pada saat jumpa pers, seraya digiring menjauh dari wartawan.

Terlihat, saat Perong hendak meminta izin untuk bicara, seketika tampak gestur dari petugas yang ada di belakang Pegi hendak menutup mulutnya.

Dalam unggahan Instagram Kompascom, tampak warganet memenuhi ruang komentar. Tidak sedikit komentar-komentar yang meragukan bahwa Pegi adalah pelaku dari pembunuhan kasus Vina Cirebon itu.

"Delapan tahun baru ketangkep, ini juga karena viral lagi kasusnya... dan pada percaya kah kalau yang ditangkep pelakunya?? Kalau gue sih kagak wkwkekek," tulis akun bang_ole di ruang komentar Instagram Kompascom.

Entah kenapa ketika saya mendengar, membaca, dan menyaksikan kasus terkait pembunuhan Vina Cirebon seketika saja bayangan di benak saya lari pada kasus Sum Kuning. Seolah terasa familier. Entah mungkin hanya perasaan saya saja.

Jika ada keraguan dari kita sebagai masyarakat yang mempertanyakan: Apakah mungkin Pegi bukan pelaku sebenarnya?

Atau seperti komentar-komentar yang menaruh keraguan pada Pegi.

Mungkin, kisah Sum Kuning yang terjadi pada era Hoegeng itu bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang hukum

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//