Astaghfirullah Bingung, Film Tugas Akhir Mahasiswa ISBI tentang Pernikahan Dini
Film Astaghfirrullah Bingung memotret persoalan yang dihadapi masyarakat, pernikahan dini di perdesaan. Ada dilema antara agama, kearifan lokal, dan sosial.
Penulis Salma Nur Fauziyah30 Mei 2024
BandungBergerak.id - “Tong ngaraos kahalangan, ibu. Upami urang ngalakonan sagala rupi ka murangkalih, eta teh pasti aya hikmahna". Itulah cuplikan adegan pemeran dalam trailer film Astaghfirrullah Bingung, garapan tugas akhir mahasiswa Prodi Film dan Televisi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Senin, 27 Mei 2024, screening film dilakukan di kafe Third Space, Jalan Ahmad Yani No.258, Kacapiring, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Acara screening terbatas, diperuntukkan bagi tamu undangan dan pengunjung kafe saja.
Sepintas saat menonton trailer Astaghfirrullah Bingung, ada sekelebat ingatan tentang betapa familiar adegan itu. Ibu-ibu dan mobil bak terbuka (dolak), bergosip dan bercengkerama. Seperti bernostalgia dengan sebuah film pendek berjudul Tilik (2018), yang sempat viral beberapa waktu lalu.
Nuansa khas budaya lokal. Percakapan antartokoh dengan bahasa daerah yang begitu kental. Sangat mencerminkan keseharian lokal masyarakat desa di Indonesia.
Tentu dalam segi cerita sangatlah berbeda dengan Tilik. Astaghfirrullah Bingung mengambil latar tempat suatu desa di Jawa Barat. Bahasa Sunda kerap mendominasi percakapan dalam film ini. Kebiasaan pengajian bagi ibu-ibu yang berangkat dengan mobil dolak ini menjadi kearifan lokal yang ditonjolkan.
Astaghfirrullah Bingung berangkat dari seorang ustaz yang memberikan ceramah dalam pengajian yang dihadiri ibu-ibu. Ada salah satu ibu-ibu bertanya soal hamil di luar nikah, ustaz itu pun menjawab dengan bijak dan tegas sesuai dengan syariat Islam. Tanpa diduga, datang sebuah masalah. Sang ustaz pun bingung menyikapinya.
Selain pemutaran film Astaghfirrullah Bingung, ada dua film yang juga turut ditampilkan. Pertama ada A Silent Symphony yang diproduksi di bawah naungan Cineline. Premisnya sederhana, seorang lelaki yang berusaha melangkah kembali setelah kehilangan orang yang disayanginya.
Lalu, ada pemutaran film hasil produksi tugas UAS yang belum pernah ditayangkan sebelumnya. Nyaah, film yang juga sarat dengan kebudayaan lokal di sebuah pedesaan. Dengan latar tahun 90an di sebuah desa, hiduplah sepasang suami-istri yang mendapat tekanan keras dari orang-orang sekitar (salah satunya, orang tua) agar cepat punya momongan.
Baca Juga: Waswas di Bibir Jurang Sungai Cibodas
Jalan Menuju Pangalengan Rusak Parah, Mengganggu Perekonomian Warga dan Akses Pariwisata
PKL Dalem Kaum: Beri Kami Tempat Berdagang yang Layak!
Di Balik Layar Astaghfirrullah Bingung
Chafila Nursyifa Alifia, produser film Astaghfirrullah Bingung, menyampaikan proses pembuatan film ini memakan waktu selama satu semester penuh, mulai dari proses brainstroming hingga praproduksi yang berakhir di bulan Februari.
“Awalnya tidak memilih daerah desa. Tapi setelah riset online, baik dari jurnal, bahwa pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah desa akibat kehamilan di luar nikah,” tulis Chafila, saat diwawancarai via WhatsApp.
Pemilihan cerita tentang seks di luar nikah ini berangkat dari beberapa keresahan banyaknya anak muda yang terjerumus dalam perbuatan itu tanpa tahu konsekuensinya. Lalu, isu ini dikaitkan dengan konteks keagamaan. Bagaimana Islam memandang perilaku tersebut. Dari hasil riset yang didapatkan Yogi Ginanjar, sutradara film Astaghfirrullah Bingung, sulitnya warga mengakses alat kontrasepsi. Hal ini menunjukkan minimnya pendidikan seksulitas di daerah perdesaan.
Sebelumnya, Chafila dan timnya ingin mengangkat isu PSK sebagai cerita utama film yang akan digarapnya. Namun, semua urung dilakukan akibat banyaknya kendala selama riset.
“Cuma, si point of view-nya nggak dari si narasumbernya langsung, tapi dari POV orang tuanya gitu. Gimana ini, kalau misalkan orang tuanya ngedengar anaknya gini. Ya, aku ngambil perspektif dari orang tua,” ujar Yogi Ginanjar, menekankan fokus cerita yang diambil perspektif bukan dari pelaku utama.
Latar tempat yang digunakan di film merupakan salah satu desa di daerah Banjaran. Desa ini dipilih setelah melakukan riset tempat ke beberapa desa yang masih banyak area persawahan, salah satunya Lembang. Namun, Banjaran dipilih karena area pedesaan dan persawahannya masih kental dan minim pembangunan.
Dalam prosesnya, Chafila mengaku kesulitan dalam melakukan proses administrasi perizinan di lokasi desa tersebut. Menurutnya, warga belum terbiasa dan takut jika kegiatan sehari-hari mereka terhambat. Tetapi setelah melakukan pendekatan selama hampir dua bulan, warga pun malah sangat inisiatif membantu selama proses syuting. Hal ini juga termasuk talent yang beberapa diambil langsung dari warga setempat.
“Tujuan aku tuh emang, kita kalau misalkan mau bikin sebuah suatu edukasi, ya ga harus bikin seminar juga. Bisa di perantaranya bisa di film juga. Ya udah, aku tuangin di film aja,” kata Yogi “Edukasi lewat filmlah.”
Tujuan Yogi menjadi harapan Chafila bagi penonton film ini. Lewat film ini, Chafila ingin penonton dapat mendapat pesan moralnya soal kehamilan di luar nikah. Pun, tidak hanya dimanjakan oleh alur cerita saja tapi dari segi visual filmnya juga.
“Berharap semakin banyak film yang produksi dengan mengambil bahasa daerah di Indonesia dan mengenalkan budaya Indonesia sendiri karena budaya kita juga luas dan sangat menarik,” kata Chafila.
Screening Film Astaghfirrullah Bingung memang sudah berakhir. Tetapi, kisah ustaz dan jamaahnya ini direncanakan akan menyambut kembali masyarakat dengan acara screening yang akan dilaksanakan pada 13-15 Juni mendatang.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Film