• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #35: Memikirkan ke-Betawi-an dari Luar Kampung

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #35: Memikirkan ke-Betawi-an dari Luar Kampung

Kebanyakan orang Betawi lebih menekankan aspek pendidikan pada sisi spiritual ketimbang pendidikan yang sifatnya material.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Kawasan Pasar Baru Jakarta sekitar tahun 1986. (Karya Fridus Steijlen, Koleksi KITLV D13619, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

2 Juni 2024


BandungBergerak.id – Pembaca mungkin familier dengan tayangan Si Doel Anak Sekolahan, seri panjang yang sempat populer di televisi. Di satu serinya, ada adegan Doel (dibintangi oleh Rano Karno) yang dimarahi Babeh (Benyamin S.) karena hendak merantau kerja ke Pulau Natuna. Di kalangan masyarakat Betawi, setahuku memang tidak banyak orang yang memilih merantau untuk mencari pekerjaan. Kebanyakan hidup berkumpul di satu kampung sehingga tak heran banyak dari warganya masih memiliki pertalian saudara. Apalagi di zamanku dulu.

Aku menyadari hal itu lewat keseharian hidupku ini dan sangat terasa apalagi ketika sudah di rantau. Aku terlahir dari latar belakang anak pedagang biasa, yang seperti pada umumnya orang-orang Betawi pada masaku dulu. Kebanyakan mereka pergi yang untuk alasan berdagang pula, tapi itu pun tidak lama. Paling hanya dua tiga hari. Seingatku berdagang itu termasuk hal yang biasa dan tidak ada tingkat yang lebih tinggi dari itu.

Zaman orang merokok masih menggunakan daun jagung yang dilinting dengan bako, orang Betawi punya tanah yang luas. Dari tanah inilah mereka biasa hidup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau tanahnya banyak punya pohon buah, nanti buahnya dipanen dan bisa dijual. Kalau tidak ya enggak ada yang bisa diharap. Toh tidak mesti punya tanah berarti banyak duit.

Dulu orang Betawi belum jadi juragan kontrakan meski tanahnya banyak karena pendatangnya pun belum sebanyak sekarang. Belakangan ketika migrasi manusia makin banyak ke Jakarta, perluasan hunian pun terjadi dan membuat banyak orang Betawi menyulap tanahnya menjadi bangunan untuk disewakan. Uangnya membangunnya dapat dari jual tanah. Kalau enggak ngejual dari mana bisa ngebangun.

Di masa sekarang ini, saat aku menulis cerita-cerita ini, orang Betawi yang seangkatan orang tuaku sudah tidak ada. Yang masih ada hanya sebayaku. Yang usianya enam sampai tujuh tahun di atasku pun sudah jarang sekali. Menariknya puluhan tahun yang lalu di masa aku belum merantau, Betawi sudah sangat jauh berbeda. Banyak dari orang Betawi yang bergeser ke perbatasan Jakarta karena kebutuhan hunian tadi. Dipikir-pikir tampaknya tidak banyak orang Betawi di usiaku yang juga memilih jalan hidup sepertiku. Pergi dari kampung.

Sementara di kalangan Betawi yang aku tahu, pilihan untuk tidak merantau bisa jadi masuk akal karena mereka mengelola warisan tanah dari orang tuanya. Entah bagaimana caranya. Karena aku pribadi khawatir jika aku terjebak dalam hal tersebut akan membuatku jadi malas. Lagi pula aku pikir tidak ada orang yang akan senang jika hidup bukan dari usahanya sendiri. Mengandalkan peninggalan orang tua bisa jadi membuat hidup tertekan dan ketakutan. Kita harus mandiri, jelas profesinya, jelas usahanya, sehingga bisa merasa cukup dan puas.

Dengan hidup di dalam budaya seperti ini, tentu tidak mudah juga meninggalkan kampung untuk merantau. Tidak ada keluarga yang bisa ditanya tip untuk merantau atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaanku sekarang di industri pesawat terbang. Karena memang tidak ada lingkungan keluarga yang punya pengalaman serupa. Kebanyakan orang Betawi lebih menekankan aspek pendidikan pada sisi spiritual ketimbang pendidikan yang sifatnya material. Jadi saat aku memilih jalan ini aku pun meraba-raba saja. Beruntung Babaku bukan orang yang kolot.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #32: Untuk Sebuah Perubahan, Harus Berani Merantau!
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #33: Pulang ke Jakarta Setelah Jadi Karyawan, Kemalaman di Jalan, Kehabisan Angkutan
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #34: Tentang Merantau dan Menjadi Dewasa

Kerja Lapangan

Setelah menjalani pendidikan praktik kerja di diklat selama tiga bulan, aku mulai turun ke lapangan untuk kerja langsung ke pesawat bergabung dengan karyawan yang ditempatkan di biro PPC atau Production Planing Control untuk tiga bulan lamanya. Di situ aku mulai kerja membaca gambar struktur pesawat NC 212, naik turun ke hanggar pesawat, untuk kemudian lanjut ke bagian pekerjaan dan pengendalian mengisi kekosongan pekerja yang saat itu banyak sedang berdinas ke Spanyol.

Setelah berjalan kerja lapangan tiga bulan dari 2 November 1981 sampai dengan 2 Februari 1982 di Hanggar Divisi Fixed Wing, kami angkatan ke X dari 127 orang siswa kembali ke Pusdiklat untuk mengikuti ujian akhir. Di antara materi-materi yang diuji praktik dan teori kejuruan termasuk light metal, measuring, dan membaca gambar. Selain itu ada juga teori kejuruan mencakup A/C basic science, A/C system, A/ C Material, Power Plant, dan Instrumen. Lebih dari 10 mata pelajaran yang diuji untuk menentukan kelulusan dan penempatan,

Aku merasa bangga anak betawi seperti aku ada di lingkaran ini. Karena memang dari 127 orang siswa tidak ada lagi anak Betawi selain aku.

Aku banyak belajar dari kehidupan, pendidikan formal non formal hanya untuk melangkah. Dari pengalamanku yang sederhana ini akan kujadikan pelajaran buat masa depan, terutama anak-anak keturunanku. Untukku pribadi merantau adalah mengubah kebiasaan gaya hidup.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//