• Opini
  • Menjaga Etika Generasi Muda Menuju Indonesia Tidak Cemas 2045

Menjaga Etika Generasi Muda Menuju Indonesia Tidak Cemas 2045

Tugas tersulit generasi muda kini adalah mempertahankan idealismenya dan menjaga diri di tengah lautan pelanggar etik pada ekosistem politik Indonesia yang memburuk.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Ilustrasi politik uang. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

3 Juni 2024


BandungBergerak.id – Kesadaran, kemampuan mengembangkan pikiran, dan mewujudkannya menjadi realitas adalah berkat Tuhan dan evolusi alam pada otak manusia. Jasa korteks serebrum dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi, menjadikan manusia sebagai makhluk paling sukses dalam bertahan hidup dan “menaklukan” dunia. Selain itu, pengembangan emosi turut menjembatani rasionalitas sehingga mampu menciptakan kombinasi makhluk berkesadaran atas kehidupan. Melalui kolaborasi inilah, manusia mampu berperan dengan baik sebagai makhluk individu juga komunal, menghimpun kekuatan dan menciptakan peradaban kompleks.

Kendati begitu, dengan semua kecanggihan yang dikuasai, sisi naluriah manusia dalam bertahan hidup kerap menjadi alasan lahirnya konflik. Bahkan, konflik yang tercipta selalu mendapatkan legitimasi rasional. Fakta tentang hasrat manusia untuk menguasai dan membahagiakan diri adalah tabiat yang ditakdirkan. Bahkan, untuk kepentingan seperti validasi eksistensi manusia, kerap mendorong tindakan di luar nalar hingga melanggar hukum sekalipun, berharap masturbasi pengakuannya terpenuhi melalui atensi publik.

Homo Homini Lupus, seru Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651), menggambarkan manusia sebagai “serigala bagi manusia yang lain”. Jadi, kendati manusia berperadaban, potensi untuk merusak dapat muncul dan guna menanggulanginya maka kehendak bebas dan hasrat tersebut mesti dikendalikan dan dibatasi. Bila tidak, mungkin itu sebab manusia menciptakan kiamat kaumnya. Bayangkan, dengan segala bentuk kerja sama, hukum dan sanksinya yang keras, kerusuhan akibat komplotan monyet di Kota Bandung akibat kelaparan beberapa waktu lalu dan rangka survival of the fittest masih nampak lebih baik daripada menampakan hasrat terburuk manusia ketika Perang Dunia 2. Contoh tersebut hanyalah gambaran mengerikan atas kehendak manusia untuk meraih kekuasaan dan kesejahteraan dengan saling menghancurkan satu sama lain.

Sebagai produk masyarakat beradab, etika menjadi jembatan dalam membentuk kebudayaan dan membatasi kehendak bebas tersebut. Etika sendiri mengandung seperangkat kode-kode semiotik, tata cara (etiket), nilai hingga norma. Ia secara efektif mampu menahan laju ego dan nafsu hormonal. Ia pun merupakan sinyal moral pendamping rasional. Sederhananya, etika memberikan rambu true dan false, baik dan buruk, do and don’t. Sehingga, hasil pergulatan filosofisnya bisa menjadi landasan dalam menciptakan produk-produk kebudayaan seperti hukum, agama, norma, dan lainnya. Ia pun bermanfaat dalam cipta kondisi tatanan masyarakat ideal, berperadaban dan bertanggung jawab. Apalagi, dalam menyangkut hajat hidup orang banyak yang bertautan dengan politik dan manusia sebagai zoon politicon (makhluk berpolitik). Maka, etika politik sebagai rambu-rambu mesti hadir. Kelakuan manusia dapat diatur atau dibatasi dengan tiga cara: melalui perintang-perintang fisik, melalui kondisionisasi psikis, dan secara normatif (Magnis-Suseno, 1987). Atas dasar itulah, penanaman nilai-nilai etis di masyarakat perlu ditanamkan sedari dini sebagai modal hidup dalam pergaulan.

Baca Juga: Alunan Melodi Harmoni Pilar Persatuan
Partisipasi dan Referensi Politik, dari Ketakutan hingga Status Sosial
Pascapemilu 2024, dari Pencitraan Berbasis AI hingga Sengitnya Parlemen

Beretika Sejak Dini

Kematian pembatas vital dari kehendak dan hasrat manusia. Selama hidup, manusia akan terus menginginkan sesuatu. Manusia adalah makhluk yang tahu dan mau, yang di satu pihak memerlukan orientasi, di lain pihak berdasarkan orientasi itu mengambil tindakan (Magnis-Suseno, 1987). Keinginan untuk tahu dan mau, yang didukung oleh orientasi dan hasratnya, bisa berdampak positif maupun negatif, tergantung dari sudut pandang dan pengetahuan apa, atau memang baik secara an sich dan murni. Makanya, manusia adalah makhluk potensial, entah baik maupun buruk.

Namun, sewaktu-waktu tindakan rasional yang kalkulatif pun lahir. Terlepas dari alasan yang melatarbelakanginya, ketika ego membajaknya, barulah kecenderungan untuk korup dan konflik tercipta. Korup itulah yang menjadi tanda adanya anomali dalam kehidupan beradab masyarakat yang sudah tertata dalam ajaran etika dan moral. Seorang raja berburu demi kesenangannya, seseorang melakukan lelucon nakal demi konten dan atensi, rolling dan berlagak sirkus dijalanan, menggunakan pengeras suara terlalu keras, seorang akademisi yang memplagiasi karya orang lain, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) yang melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi, melanggar kode-kode etik penyelenggara negara yang diamanahkan jabatan publik, dll. Contoh tersebut adalah segelintir persoalan etika dan hukum yang muncul karena pengabaian terhadap tanggung jawab, yaitu etika. Itulah mengapa, kelahiran etika sebagai landasan berpijak sikap dan perilaku dimaksudkan untuk menciptakan tatanan dan kewibawaan hidup.

Wajar bila pengenalan etika dilakukan sedari dini guna mengefektifkan proses pembentukan jati diri dan mewujudkan proses memanusiakan manusia. Masa tersebut cenderung lebih efektif dimana anak mulai bermain dan mengembangkan aspek sosialnya dalam bergaul di lingkungan luar dengan pemahaman sudah mulai bisa menerima nasihat dari orang dewasa (Suherwan, 2019).

Etika mampu memperingatkan setiap bentuk pikiran kita “benar”, sebelum pikiran itu eksis dan menjadi kenyataan hingga berdampak signifikan. Internaliasi nilai-nilai etika mesti diwujudkan, khususnya kepada orang-orang yang belum mengenal (amoral), apalagi kepada para pelanggar etik (immoral). Tidak mengherankan jika institusi pendidikan formal memasukan etika sebagai poin penting yang wajib hadir dalam sistem kurikulum nasional. Masih kurang cukup, perkenalan nilai-nilai etika sudah harus diperkenalkan sejak dalam pendidikan keluarga. Baru kemudian, lingkungan mendukung hidupnya etika karena ia sangat berperan dalam membentuk pola dan karakter manusia Indonesia yang beradab Pancasila.

Secara tidak langsung, kita melihat bagaimana nilai-nilai etika ini harus dibangun dan dipertahankan dari berbagai dimensi, mulai dari keluarga, lingkungan, hingga institusional guna mendapatkan hasil yang berkualitas. Hal ini tidak terlepas dari etika sebagai rangkaian proses berkelanjutan, bukan sekadar perdebatan filosofis semata. Indikator kesuksesan penanaman nilai-nilai etika tidak hanya didapat atas sekadar memperkaya ilmu pengetahuan, namun juga diimplementasikan secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan akan berhasil apabila mampu menjangkau ketiga domain, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor (Bloom, Krathwohl and Masia 1971). Oleh karena itu, proses internalisasi ini, khususnya bagi generasi muda, adalah modal awal dalam menjalin interaksi sosial, membangun peradaban, dan memajukan negara.

Beretika Sebelum Etika Itu Dilarang

Pada posisi ini, kita akan mengabaikan pengelompokan istilah semacam generasi milenial, Gen Z, dll. Sebab, bergelar pemuda atau bukan, semuanya memiliki misi etika yang sama dalam tanggung jawabnya sebagai manusia yang berpolitik. Namun, berbicara penerus bangsa ini, tentunya ada penekanan dan harapan besar bagi generasi muda untuk menjalankan hidup secara beretika, dan berpartisipasi dalam membangun peradaban bangsa. Sehingga, identitas sebagai makhluk berpolitik, zoon politicon, makhluk berbudaya sudah cukup mewakili identitas pemuda Indonesia yang jengah dengan ketidakhormatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita meyakini bahwa dalam suatu waktu orang-orang akan mengambil keputusan secara niretik, terlepas apapun kondisinya. Sehingga, tua maupun muda, selama berstatus manusia maka ia akan berpotensi untuk menjadi pelanggar etik. Tentunya, kita hendak membicarakan ini dalam kondisi yang ideal di mana masyarakat berperadaban hendaknya menghormati nilai-nilai etika sebagai konsekuensi dari suatu peradaban yang terus berkembang menjadi lebih baik. Sebab itulah, tanggung jawab besar pemuda sebagai manusia, apalagi penerus bangsa dalam membawa bangsa ini ke arah pintu gerbang peradaban maju, mesti dipupuk hingga terbiasa untuk berpikir dan bertindak secara etis. Meskipun, para pemuda hari ini dipertemukan dengan globalisasi, yang sanggup menggoyahkan tatanan yang ada. Globalisasi bukan hanya mengubah gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture) (Ali, 2010). Namun, dengan adanya pakem nilai (etika), generasi muda dapat mempertahankan diri seraya menghidupkan etika di tengah-tengah pengabaian yang terjadi besar-besaran.

Jika kita sedikit skeptis dan khawatir terhadap penekanan, “generasi muda mesti beretika”, coba kembali renungkan terhadap semua persoalan niretik yang hidup saat ini. Bagaimana semua itu bisa bertahan sampai hari ini? Tinjaulah bagaimana posisi-posisi institusional diisi oleh para pelanggar etik dan pasukan baju oranye KPK, padahal saat itu telah dibuat kode etik dan hukum secara terperinci. Sedangkan, pada saat yang sama anak-anak polos dan belia rentang sekolah SD-SMA sederajat di seluruh Indonesia harus bersusah payah mempelajari etika dan moral dari berbagai mata pelajaran, seperti agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Itu semua ironis dan memuakan. Oleh karenanya, generasi muda harus mulai bahu-membahu menghancurkan pembudayaan yang membabi buta atas sikap dan tindakan niretik itu.

Pemuda, Politik, dan Etika

Generasi muda Indonesia tidak mesti berjibaku dengan ilmu-ilmu filsafat, mencari dan merenungkan etika terbaik seharian, sembari mengunggah idenya di story Instagram. Biarkan itu semua diampu oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan waktu luang. Belum lagi filsafat tidak sepopuler politik dan hukum, dipandang tidak bernilai ekonomis, membuang-buang waktu, bahkan sesat di Indonesia. Filsafat tidak menawarkan segudang pemecahan masalah, melainkan jalan bagi setiap generasi baru untuk sendiri menghadapi masalah-masalahnya (Magnis-Suseno, 1987). Memang, etika tidak selalu menjadi solusi atas setiap masalah kebobrokan adab dan moral. Tetapi, itu tidak menutup peluang bagi generasi muda untuk berpikir dan memahami betapa pentingnya etika bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat yang terhormat dan konsekuen.

Bahkan, tugas generasi saat ini tidak begitu sulit dalam mencari-cari dan memilah nilai-nilai etika secara radikal. Para pemikir sudah melakukan semua itu,  tinggal bagaimana menerapkannya. Sebagai bukti, Pieper dalam karyanya berjudul “The Four Cardinal Virtues”, menemukan beberapa nilai-nilai penting dalam pemikiran politik sepanjang sejarah manusia, meliputi: kebijaksanaan (prudence), keadilan (justice), kebenaran (truth), ketahanan (fortitude), kesabaran (patience), keberanian (bravery) dan moderasi (moderate), kesederhanaan (simplicity), ketenangan (calmness) (Pieper, 1965). Dengan begitu, generasi muda tinggal mempraktikannya dalam kehidupan nyata, bila ada sedikit saja komitmen dan tanggung jawab dalam nuraninya terhadap setiap keputusan yang berdampak luas kepada masyarakat.

Marahnya generasi muda ketika pelanggaran etika terjadi di sekitar kita adalah modal bagi lahirnya kesadaran beretika dalam membangun masyarakat bertanggung jawab. Ini juga tugas bagi generasi muda dalam mempertanyakan kualitas etis, terutama pemangku kebijakan publik. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia (Magnis-Suseno, 1987). Semua ini bukanlah penghujatan dan penghinaan, melainkan upaya memastikan bahwa suara-suara demokratis dan tanggung jawab masyarakat republikan yang dititipkan kepada segelintir orang di institusi negara tidak diabaikan apalagi dikerdilkan.

Socrates mati sebagai akibat ketidakdigdayaan generasi mudanya dalam mengevaluasi etika demokratis waktu itu. Oleh karena itu, cukup unik melihat generasi muda bangsa Indonesia kini gandrung dengan ragam suguhan perilaku koruptif niretik para pelanggar yang dipertontonkan media massa dengan glamor dan dilakukan dengan sumringah. Ada pula yang berkemeja oranye KPK sambil memberikan salam saranghae ala-ala korea. Para pelaku terang-terangan melanggar etik, tanpa adanya pertanggungjawaban dan efek jera sanksi yang menanti, pada saat yang sama kita marah dan terhinakan karena merasa sia-sia belajar etika dan moral di PKn dan pendidikan agama dulu. Lelah dan jengah menyaksikan kerusakan moral semacam ini hampir di segala lini dan lapisan. Warga net pun seperti sudah memiliki simbol baru untuk menggambarkan masyarakat kita dengan sebutan “SDM rendah”. Berharap orang-orang kompeten dan beretikan memenuhi segala lini dalam negara. Sebab, identitas antara manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat apabila negara sendiri baik (Aristoteles 1995).

Etika politik memberikan makna moral kepada aparatur negara ketika menduduki jabatan publik dan harus diubah ke arah pola pikir dan tindakan yang lebih baik (Sulismadi and Sofwani, 2017). Dengan kata lain, etika politik menghubungkan relasi antara masyarakat dan negara, juga memiliki tujuan pengawasan atas setiap keputusan yang dihasilkan para aparatur negara untuk kemudian dipertanggungjawabkan secara konsekuen kepada masyarakat sebagai pengawas tertinggi, dalam perspektif republik dan demokrasi.

Tugas tersulit generasi muda kini adalah mempertahankan idealismenya sembari menjaga diri agar tidak tenggelam ke dalam lautan biru pelanggar etik. Sebagaimana kita ketahui, daging-daging yang mewakili simbol ekosistem politik di Indonesia cenderung tidak sehat. Rocky Gerung menyebutnya “pembusukan politik”. Pembusukan-pembusukan itu jelas akan menjadi ancaman kesehatan bagi ekosistem politik di Indonesia, bahkan kekhawatiran nyata terkait kondisi politik di masa depan adalah munculnya para oligarki yang seiring waktu terus mengumpulkan kekuatan untuk mematenkan kekuasaan, menghambat para politisi-negarawan idealis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Moralitas dan etika sebagai kategori sosial sangat penting untuk menghasilkan budaya politik yang sehat di masyarakat mana pun (Ristovski. 2017).

Itulah mengapa, tiket bagi generasi muda dalam mengambil peran politik penting untuk mencegah masa depan ekosistem politik Indonesia yang memburuk. Namun, setelah para pemuda ini berkomitmen dengan etika politik, tentunya ia mesti membagikan semua itu dalam rangka mewujudkan keadaan politik Indonesia yang lebih sehat.

Penutup

Pada akhirnya, negara mesti diisi oleh orang-orang berintegritas yang memiliki komitmen lebih dalam mengimplementasikan etika dalam berpolitik. Hal ini diperlukan mengingat politik akan selalu berhimpunan dengan dampak pada kehidupan masyarakat, di mana setiap keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak adalah keputusan politis yang memerlukan rambu-rambu agar setiap produk yang dihasilkan memiliki nilai dan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka, secara tidak langsung, menghendaki negara yang diisi oleh orang-orang beretika, apalagi generasi muda partisipan yang menjunjung tinggi etika, adalah impian ideal. Menyusun negara yang adil, baik, dan membahagiakan adalah usaha yang sangat bijaksana, karena meningkatkan kualitas kehidupan semua anggota masyarakat (Magnis-Suseno, 1987).

Senada dengan Pancasila sebagai landasan moral dan etika bagi jalannya pemerintahan dan berdirinya negara Republik Indonesia merupakan landasan ideal yang dipersiapkan dalam praktik ketatanegaraan. Maka dari itu, generasi muda mesti memulai untuk memulihkan pikiran dan menatanya menjadi lebih bijaksana, dipandu oleh nilai-nilai etis, dan kemudian dipraktikkan secara konsisten dalam kehidupan, terutama politik. Jika generasi muda dapat mewujudkan Indonesia beretika, maka kita jangan takut Indonesia cemas 2045.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Sidik Permana, atau tulisan-tulisan lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//