• Kolom
  • CERITA GURU: Efek Langit-langit

CERITA GURU: Efek Langit-langit

Sekolah favorit belum tentu memiliki pembelajaran yang baik. Begitu sebaliknya. Pada dasarnya guru dan sekolah adalah sarana memaksimalkan potensi peserta didik.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi guru. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

5 Juni 2024


BandungBergerak.id – Kebijakan zonasi yang dimulai sejak 2017 sepertinya belum mengubah banyak apa yang ada di masyarakat mengenai kriteria sekolah yang baik. Alih-alih mengubah jalan pikir bahwa sekolah di mana saja adalah sama, sebagaimana tujuan sistem zonasi diadakan. Kebijakan ini membuat tambahan masalah, dan hal yang pertama kali perlu disiapkan namun disiapkan secara terlambat adalah kualitas yang sama.

Tentu saja para orang tua masih berlomba memasukkan anaknya ke sekolah yang -  menurut mereka -  bagus. Masih dengan harapan bahwa ketika anaknya berada di sekolah bagus, anaknya menjadi anak yang baik. Salah satu penandanya yaitu anak-anaknya memiliki nilai ujian atau rapor tinggi, fasilitas yang lengkap, dan siswanya berkali-kali menang lomba. Bisa kita katakan bahwa orang tua mengejar hidden curriculum. Hal-hal yang tak hinggap dalam kurikulum secara tertulis.

Dalam sekolah yang berbeda, lokasi yang berbeda, keadaan murid yang berbeda, sebetulnya ada penentu yang menunjukkan sekolah itu bagus atau tidak. Jarang yang berpikir mengenai hal yang satu ini, yaitu gurunya. Tradisi ini sepertinya mungkin sudah tergeser dengan penilaian terhadap hasil, capaian, dan sebagainya. Jarang yang bertanya tentang bagaimana kualitas gurunya.

Baca Juga: CERITA GURU: Memanjangkan Ingatan di Ruang Kelas
CERITA GURU: Digitalisasi dan Ilusi Pemerataan Akses Pendidikan
CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan

Usaha Guru

Satu dekade yang lalu, seorang guru di SMA favorit merasa tidak memiliki tantangan ketika mengajar anak muridnya

“Kalau ngajar anak di SMA tempat saya mengajar itu, gak perlu saya terangin nilai mereka sudah 9 -10 semua. Ya sudah mau belajar apa lagi?”

Selama bertahun-tahun itu pula, saya berpikir tentang guru yang sama-sama mengajar. Di sekolah swasta, biasa saja. Untuk satu kali pertemuan kuis, entah berapa lama guru ini merancang pembelajarannya. Ia selalu menyuguhkan hal-hal baru dan memastikan anak-anak muridnya mengerti semua. Ekspresi lelah karena anak muridnya tak mengerti setelah berulang kali dijelaskan pun, kerap menghiasi wajah sang guru. Pikirnya “harus pakai cara apa lagi?”

Hasilnya paling mentok di antara nilai 7 atau 8. Nilai 9 atau 10 itu bonus saja baginya. Dengan usaha yang keras guru itu hanya membawa anak muridnya tiba di angka 8 paling tinggi. Inilah yang membuat saya tidak lantas mempercayai sebuah kalimat motivasi yang terdengar seperti pelipur lara  “usaha tak kan mengkhianati hasil”. Sebab, pada situasi tertentu, usaha sering dikhianati oleh hasilnya.

Kejadian tersebut bergulir begitu saja, seiring waktu semakin bertambah. Perlahan, kejadian ini pula yang menyebabkan kualitas pengajaran tidak diterima secara maksimal oleh anak-anak yang belajar di sekolah. Sekolah hanya tempat memeroleh gengsi, lulus, bekerja, dalam beberapa kasus bahkan menimbulkan trauma, tapi tidak pernah benar-benar belajar. Saya pun tak pernah benar-benar mendalami apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Oktober tahun 2023, saya meminjam disertasi guru saya, Prof. Said Hamid Hasan. Pada disertasi yang ia buat tahun 1980-an, ada bahasan mengenai kualitas sekolah. Di dalamnya terdapat data bahwa sekolah X (yang merupakan sekolah terkenal sekaligus favorit) secara kualitas lebih rendah daripada sekolah Y (yang merupakan sekolah biasa saja). Tentu saja, masalah itu merupakan masalah lama yang belum kunjung selesai sampai hari ini.

Batas Atas

Tanpa panjang lebar, pakar evaluasi kurikulum itu, menjelaskan permasalahan mendasar penilaian yang bernama ceiling effect. Ceiling effect, berasal dari kata ceil yaitu atap  /plafon/ langit-langit. Dalam istilah statistika, hal ini bermakna tinggi atau batas atas. Kebalikannya, ada yang bernama floor effect. Berasal dari kata floor yaitu lantai yang bermakna bawah atau batas bawah. Tentu saja, dalam setiap penilaian selalu ada batas bawah dan batas atas.

Pertanyaannya adalah “Kapan para siswa itu mencapai batas atasnya?” Jangan-jangan batas maksimalnya itu bukan 10, tapi 15. Karena instrumennya hanya menargetkan sampai 10, dianggap sudah maksimal. Mungkin, apabila digali lagi lebih dalam, dan menarikkan lagi rentang dan kualitasnya, kemampuannya masih bisa ditingkatkan lagi.

Lalu, mengapa ceiling effect itu menjadi masalah? Di antaranya sebab alat pengukuran kurang sensitivitas, deteksi pertumbuhan dan peningkatannya yang terbatas, kesimpulan yang tidak akurat, motivasi berkurang, tindakan yang menyesatkan, sumber daya yang terbuang.

Hal ini bisa diperlihatkan dengan banyaknya siswa yang mendapat nilai maksimal dalam suatu tes. Tes tersebut mempunyai efek tertinggi. Lalu, Ia tidak akan mampu membedakan siswa-siswa yang berprestasi. Dalam posisi ini, tentu tidak mudah bagi guru. Sebelum mencetak murid yang cerdas, diperlukan guru dengan daya jangkau yang luas baik dari menilai kemampuan murid atau dari pengembangan materi.

Beberapa Guru, mungkin akan menyiasati dengan adanya uji coba percontohan, ekspansi skala, tambahkan hal-hal yang menantang, pertanyaan terbuka, menggunakan beberapa tes yang beragam, menyesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik, dan tambahkan masukan dari peserta didik. Sesungguhnya, masukan dari para peserta didik amatlah berarti. Karena hal ini juga yang ingin ditantang oleh para peserta didik sendiri bukan hanya oleh gurunya.

Idealnya, para guru memang perlu memberikan evaluasi dan pemaksimalan kepada proses pembelajaran masing-masing peserta didiknya. Guru tetap menganalisis dan mengembangkan kemampuan siswa, meskipun memang sudah memperoleh hasil yang baik, maksimal, dan mencapai batas atasnya.  Namun, kesadaran guru untuk selalu mengenali peserta didik, perlu didukung oleh sistem sekolah. Tergantung sekolahnya memiliki fokus ke arah mana.

Kembali kepada polemik sekolah. Bahwa sekolah favorit belum tentu memiliki pembelajaran yang baik. Begitu pun sebaliknya, di sekolah yang baik belum tentu memiliki siswa yang cerdas cemerlang sesuai dengan indikator yang diinginkan oleh masyarakat. Pada dasarnya, guru dan sekolah adalah sarana untuk memaksimalkan potensi peserta didik. Posisi perubahan dari mana ke mana dan bagaimana prosesnya itulah yang seharusnya menjadi fokus. Kecuali kalau sudah benar-benar mentok di batas atas.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//