• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Cara Membangun Lingkungan Kerja yang Mendukung Kesehatan Mental?

MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Cara Membangun Lingkungan Kerja yang Mendukung Kesehatan Mental?

Pemberi kerja sebaiknya realistis mengenai beban kerja dan tenggat waktu, mendorong karyawan mengambil istirahat secara teratur, dan menghormati waktu libur mereka.

Tri Sartika Simanjuntak

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

8 Juni 2024


BandungBergerak.id – Di dunia yang serba cepat saat ini, pentingnya kesehatan mental di tempat kerja tidak dapat diabaikan. Ketika karyawan menghadapi beban kerja yang semakin meningkat, tenggat waktu, dan tekanan, menjaga kesehatan mental menjadi sangat penting. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2012 memperkirakan sekitar 20 persen orang dewasa usia kerja memiliki masalah kesehatan mental karena kelelahan dalam bekerja. Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2017, pekerja industri kecil dan menengah yang mengalami depresi dan insomnia masing-masing sebanyak 60,6 dan 57,6 persen.

Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan rasio depresi dan kecemasan bagi PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD sebesar 6,3 persen, pegawai swasta sebesar 10,6 persen, wiraswasta sebesar 12,1 persen, petani sebesar 15,2 persen, nelayan sebesar 17,7 persen, dan buruh/sopir/pembantu sebesar 15,5 persen. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa masalah kesehatan mental di tempat kerja masih cukup diabaikan oleh beberapa perusahaan di Indonesia (Memish dkk., 2017).

Baca Juga: Mencari Konsensus dari Perspektif Prioritas Kesehatan Mental Antargenerasi
Great Talk Membuka Ruang Aman untuk Kesehatan Mental
Pertolongan Pertama Menangani Kedaruratan Kesehatan Mental di Kalangan Mahasiswa

Memahami Kesehatan Mental di Tempat Kerja.

Kesehatan mental di tempat kerja mencakup kesejahteraan psikologis karyawan dalam lingkungan profesional mereka. Ini mencakup faktor-faktor seperti stres, kecemasan, depresi, dan stabilitas emosional secara keseluruhan kesehatan mental yang buruk tidak hanya memengaruhi karyawan secara individu tetapi juga berdampak pada produktivitas dan kesuksesan organisasi (De Oliveira dkk., 2022).

Karyawan menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga kesehatan mental mereka di tempat kerja. Tantangan ini termasuk stres terkait pekerjaan yang berasal dari beban kerja yang berat, tenggat waktu yang ketat, dan tugas yang menuntut. Selain itu, keseimbangan kerja-hidup yang buruk, kurangnya dukungan dari manajer atau rekan kerja, dan stigma yang terkait dengan masalah kesehatan mental menjadi hambatan yang signifikan (Rojas dkk., 2019).

Tekanan untuk memenuhi tenggat waktu dan unggul dalam lingkungan yang kompetitif sering kali menyebabkan tingkat stres yang tinggi di kalangan karyawan. Selain itu, batas yang kabur antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, terutama dengan adanya pekerjaan jarak jauh, berkontribusi pada ketidakmampuan untuk melepaskan diri dan mengisi ulang energi. Keadaan yang terus-menerus “aktif” ini memperburuk stres dan mengurangi kesejahteraan mental. Lebih jauh lagi, kurangnya dukungan dari atasan atau rekan kerja dapat memperburuk perasaan kesepian dan merusak semangat.

Ketika karyawan merasa tidak didukung atau tidak dipahami, mereka cenderung enggan mencari bantuan atau mengungkapkan kesulitan mereka, yang memperparah siklus penderitaan. Selain itu, meskipun kesadaran tentang kesehatan mental telah meningkat, stigma masih ada di banyak tempat kerja. Karyawan mungkin takut dihakimi atau mendapatkan konsekuensi jika mengakui mengalami masalah kesehatan mental. Ketakutan ini sering kali mengarah pada keheningan dan keengganan untuk mencari dukungan yang diperlukan, yang memperburuk masalah tersebut.

Menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental membutuhkan pendekatan multifaset. Strategi-strategi tersebut meliputi mempromosikan keseimbangan kerja-hidup dengan mendorong istirahat dan memprioritaskan aktivitas di luar pekerjaan. Memberikan layanan dukungan seperti program bantuan karyawan (EAP) dan mendorong komunikasi terbuka untuk menghilangkan stigma terhadap diskusi kesehatan mental juga sangat penting. Selain itu, melatih manajer untuk mengenali tanda-tanda masalah kesehatan mental dan menerapkan pengaturan kerja yang fleksibel dapat sangat bermanfaat bagi karyawan (Corrigan dkk., 2014).

Mendorong keseimbangan kerja-hidup sangat penting untuk menjaga kesejahteraan mental. Setiap pemberi kerja dapat mempromosikan keseimbangan ini dengan menetapkan ekspektasi yang realistis mengenai beban kerja dan tenggat waktu, mendorong karyawan untuk mengambil istirahat secara teratur, dan menghormati waktu libur mereka. Selain itu, inisiatif seperti jam kerja fleksibel atau opsi telecommuting dapat memberdayakan karyawan untuk mengelola tanggung jawab pribadi dan profesional mereka dengan lebih baik.

Layanan dukungan memainkan peran penting dalam menangani tantangan kesehatan mental di tempat kerja. Program bantuan karyawan (EAP) menyediakan konseling rahasia dan layanan rujukan untuk karyawan yang menghadapi masalah pribadi atau terkait pekerjaan. Dengan menawarkan dukungan yang mudah diakses dan bebas stigma, organisasi menunjukkan komitmen mereka untuk memprioritaskan kesejahteraan karyawan.

Strategi Meningkatkan Kesehatan Mental di Tempat Kerja.

Komunikasi terbuka sangat mendasar untuk menciptakan budaya kesadaran dan dukungan kesehatan mental. Pemberi kerja dapat menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa nyaman membicarakan kekhawatiran kesehatan mental mereka tanpa takut dihakimi atau mendapatkan konsekuensi. Menyediakan sumber daya seperti lokakarya kesehatan mental atau akses ke profesional kesehatan mental dapat lebih memberdayakan karyawan untuk mencari bantuan saat dibutuhkan.

Melatih manajer untuk mengenali tanda-tanda masalah kesehatan mental dan merespons dengan empati dan dukungan sangat lah penting. Manajer memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan dapat melakukan intervensi lebih awal untuk mencegah eskalasi masalah kesehatan mental. Dengan membekali manajer dengan keterampilan dan sumber daya yang diperlukan, organisasi dapat secara efektif mendukung kesejahteraan mental karyawan mereka. Menerapkan pengaturan kerja yang fleksibel, seperti opsi kerja jarak jauh atau minggu kerja yang dipadatkan, dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan keseimbangan kerja-hidup. Pengaturan ini memberdayakan karyawan untuk menyesuaikan jadwal kerja mereka agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan preferensi individu mereka, yang menghasilkan kepuasan dan produktivitas yang lebih besar.

Investasi dalam promosi kesehatan mental di tempat kerja menghasilkan berbagai manfaat yang melampaui kesejahteraan individu untuk secara positif mempengaruhi seluruh organisasi. Salah satu keuntungan signifikan adalah peningkatan moral dan kepuasan kerja di kalangan karyawan. Ketika karyawan merasa didukung dan dihargai oleh organisasi mereka, mereka cenderung mengalami tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi, yang mengarah pada peningkatan motivasi dan keterlibatan dalam pekerjaan mereka. Hal ini, pada gilirannya, mendorong budaya kerja yang positif di mana karyawan merasa terlibat

dalam peran mereka dan lebih mungkin untuk berkontribusi secara bermakna terhadap tujuan organisasi.

Selain itu, mempromosikan kesehatan mental di tempat kerja telah dikaitkan dengan peningkatan produktivitas. Ketika karyawan sehat secara mental, mereka lebih mampu berkonsentrasi, membuat keputusan yang efektif, dan lebih tangguh menghadapi tantangan, memungkinkan mereka untuk beradaptasi lebih mudah dengan keadaan yang berubah dan mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi (Corrigan dkk., 2014). Dengan memprioritaskan kesehatan mental, organisasi dapat memanfaatkan potensi penuh tenaga kerja mereka dan mencapai produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Selain itu, menangani masalah kesehatan mental di tempat kerja dapat mengurangi tingkat ketidakhadiran dan pergantian karyawan. Karyawan yang mengalami tantangan kesehatan mental mungkin lebih cenderung mengambil cuti sakit atau meninggalkan pekerjaan mereka jika kebutuhan mereka tidak ditangani dengan baik. Dengan menyediakan layanan dukungan dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, organisasi dapat membantu karyawan mengelola kesehatan mental mereka dengan lebih efektif, mengurangi frekuensi dan durasi ketidakhadiran serta menurunkan tingkat pergantian karyawan. Hal ini tidak hanya menghemat biaya yang terkait dengan perekrutan dan pelatihan staf baru, tetapi juga mendorong kontinuitas dan stabilitas dalam organisasi.

Lebih jauh lagi, mempromosikan kesehatan mental dapat meningkatkan reputasi organisasi. Perusahaan yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan dipandang lebih positif oleh karyawan saat ini maupun calon karyawan, serta pelanggan dan klien. Reputasi sebagai pemberi kerja yang mendukung dan peduli dapat menarik bakat terbaik, meningkatkan loyalitas karyawan, dan memperkuat hubungan dengan klien dan pelanggan. Di pasar yang kompetitif saat ini, di mana tanggung jawab sosial perusahaan semakin dihargai, investasi dalam promosi kesehatan mental dapat membedakan organisasi sebagai pemberi kerja yang etis dan sadar sosial, sehingga meningkatkan citra merek dan posisi pasar mereka.

Sebagai kesimpulan, kesehatan mental di tempat kerja membutuhkan perhatian dan tindakan dari pemberi kerja dan organisasi. Dengan menerapkan strategi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, pemberi kerja dapat meningkatkan kehidupan karyawan mereka sambil memperoleh manfaat bagi organisasi mereka. Bersama-sama, kita dapat berupaya menuju tempat kerja yang memprioritaskan kesehatan mental dan membudayakan kepedulian dan kasih sayang.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//