• Narasi
  • Seberapa Dahsyat Letusan Gunung Tambora?

Seberapa Dahsyat Letusan Gunung Tambora?

Erupsi Gunung Tambora di Sumbawa tanggal 5 April 1815, mengubah matahari menjadi gelap gulita di kota-kota di Jawa. Mempengaruhi iklim dunia.

Jatmika Aji Santika

Lulusan Sejarah dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Gunung Tambora. (Sumber: volcano.si.edu)

9 Juni 2024


BandungBergerak.id – Sebuah kapal penjelajah Inggris, Benares, pergi ke Makassar untuk mengintai setelah mendengar dentuman besar seperti yang dikeluarkan oleh deru meriam berat. Dentuman itu juga terasa di Yogyakarta dan di Cirebon, garnisun dikerahkan untuk peperangan. Dentuman yang dianggap sebagai “gemuruh tembakan meriam” juga terdengar di seluruh Jawa, Ternate, Maluki, Papua Nugini, Kalimantan, Sumatera, Jakarta bahkan hingga Australia.

Tanggal 5 April 1815, Gunung Tambora meletus dengan dahsyat, kolom asap membumbung dari kawah, seluruh gunung seolah-olah tertutup aliran api lalu segera diselimuti oleh awan asap dan abu yang gelap, setiap lima belas menit terjadi ledakan yang puncak intensitasnya baru berakhir pada tanggal 10 April. Ledakan-ledakan ini diiringi dengan gempa yang menggetarkan bumi di Nusantara selama berhari-hari, gempa bumi mengguncang Makassar, Sulawesi, Gresik, Banyuwangi, Sumenep. Gunung tersebut terus mengamuk selama tiga bulan hingga tanggal 15 Juli 1845, selepas itu sedikit demi sedikit intensitas letusannya berkurang tetapi letusan-letusan yang lebih kecil terus terjadi dari waktu ke waktu. Kepulan asap, abu, dan batu apung melesat ke udara.

Gunung yang terakhir kali meletus 50.000 tahun lalu tersebut merobohkan seluruh desa dan hutan, menumbangkan segala sesuatu yang terlibat dengan manusia, rumah tempat tinggalnya, ternak, hingga pohon-pohon yang kokoh. Charles Lyell, seorang saintis dari Inggris mengabarkan bahwa erupsi yang mengerikan ini hanya menyisakan 26 orang yang selamat dari total populasi 12.000 orang di wilayah Tambora. Henrich Zollinger pada tahun 1855 memperkirakan setidaknya 10.000 orang tewas akibat ledakan dahsyat gunung Tambora.

Abu asam dari Tambora menghancurkan sumber makanan dengan meracuni ladang padi dan menyumbat sistem irigasi sawah, tidak hanya wilayah Sumbawa tetapi juga pulau tetangganya  Lombok.  Rusaknya lumbung makanan mengakibatkan kelaparan dan penyakit yang menimpa 38.000 jiwa masyarakat Sumbawa, menurut Zollinger 36.000 masyarakat Sumbawa berhasil selamat dari penyakit dan bermigrasi ke pulau Jawa. Abu asam dari Tambora yang terlempar ke tengah pulau Lombok, juga menghancurkan seluruh ladang dan mengakibatkan kelaparan yang berujung pada kematian 44.000 penduduk pulau itu. Abu asam ini menurut Junghuhn juga meracuni tanah di Banyuwangi, Sumenep, Madura, Gresik.

Tidak hanya menghancurkan kualitas tanah, dahsyatnya letusan Tambora bahkan mengubah matahari menjadi gelap gulita selama berhari-hari “siang yang cerah menjadi malam” di kota-kota di Jawa seperti Solo, Yogyakarta, Cirebon karena matahari diselimuti uap hitam dan cahaya matahari sebagian tertutup.

Sebulan setelah letusan terjadi, seorang tentara Belanda tua bernama Disterdijk yang sudah 30 tahun menetap di Sumbawa mengunjungi tempat Tambora berbaring. Dia melihat pantai penuh dengan mayat, kapal raja dipenuhi abu yang anehnya sama sekali tidak rusak, dia juga mengenali istana Raja yang setengah terbakar, namun ia tidak melihat satu pun mahkluk hidup yang tersisa. Empat tahun kemudian, pada bulan Agustus 1819, Residen Bima mengunjungi lokasi letusan bersama Disterdijk. Pada saat itu kadang-kadang terjadi gempa bumi ringan dan bahkan pada tanggal 15 Agustus 1819 terjadi gempa bumi yang sangat kuat yang berlangsung selama lima menit dengan penampakan api di sana sini di gunung tersebut. Penduduk asli Bima yang mendampingi Residen pada saat kunjungan, masih merasakan ketakutan yang besar terhadap Gunung Tambora. Akses ke gunung itu benar-benar tertutup oleh batang-batang pohon yang hancur luluh lantah ke segala arah, sesuatu yang pernah hidup ini telah punah.

Baca Juga: Menjelajah dan Menafsir Gunung Papandayan
NGULIK BANDUNG: Sejarah Letusan Gunung Guntur
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #10: Kemegahan Raksasa, Letusan Gunung Gumuruh yang Menimbun Cianjur

Letusan Gunung dalam Tradisi Lisan

Letusan gunung Tambora lebih kuat dibanding letusan gunung Krakatau tahun 1883, letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Indeks (VEI).

Yang menarik, Franz Wilhelm Junghuhn dalam karya monumentalnya Java mencatat penyebab ledakan Gunung Tambora berskala tujuh tersebut berdasarkan legenda/tradisi lisan masyarakat lokal.

“Seorang pedagang Arab yang saleh sedang berkeliling dan melihat anjing di masjid Tambora, ia lalu mengusir anjing itu padahal hewan tersebut milik raja. Raja yang mendengar perbuatan pedagang Arab pun murka dan menyuruh pedagang itu memakan daging anjing, orang Arab itu kemudian dibunuh di gunung Tambora dengan pemukulan yang kejam. Gunung berapi itu kemudian mulai terbakar, raja mencoba kabur namun dikejar hingga akhirnya ditelan bumi. Begitulah legenda masyarakat yang diceritakan”.

Konon katanya ukuran gunung Tambora saat ini hanyalah berupa puing-puing dari beberapa pecahan gunung.

Dampak Letusan Gunung Tambora

Erupsi Gunung Tambora menyebabkan perubahan cuaca yang sangat besar di seluruh dunia. Menurut Jelle Zilinga de Boer & Donald Theodore Sanders dalam bukunya Volcanoes in Human history The Far-Reaching Effects dampak kentara dari Gunung Tambora mengganggu pola angin muson musim panas di India yang membawa hujan yang sangat dibutuhkan di India. Alih-alih membawa curah hujan biasa, yang terjadi pada musim panas tahun 1816 ialah kekeringan. Kemudian di bulan September terjadi hujan besar yang tidak pernah berhenti yang akhirnya menyebabkan kebanjiran di Bangladesh. Akibatnya persediaan gandum menjadi langka dan kelaparan terjadi di India. Gagalnya panen, tidak ada makanan yang menyebabkan kelaparan dimana-mana menyebabkan India dilanda penyakit kolera yang cepat menyebar ke Afghanistan, Nepal, Mekah, Madinah, Mesir, bahkan hingga Moskow. Opini ini mungkin dianggap terlalu lemah karena menganggap erupsi dari Tambora sangat bertanggung jawab terhadap penyakit kolera yang terjadi. Tetapi, jika epidemi pertama ini yang terjadi dari tahun 1817 hingga 1823 disebabkan perubahan cuaca yang kemudian mengakibatkan kelaparan, maka tidak diragukan lagi bahwa Tambora bertanggung jawab atas kehidupan ribuan manusia. 

Di Eropa, musim panas pada tahun 1816 dan 1817 terasa dingin , salju turun di segala penjuru. Kegagalan panen terjadi di mana-mana, Prancis, Swiss, dan Austria yang paling merasakan penderitaan tersebut. Salju datang lebih awal dan pergi lebih lambat sehingga memperpendek musim tanam di tahun 1816-1817. Tambora menyebabkan krisis pangan di Eropa.

Di Amerika, harga makanan sangat tinggi pada tahun 1817 akibat harsh growing season di tahun sebelumnya yang diingat sebagai tahun tanpa musim panas the year without a summer. Tidak satu pun orang paham apa yang menyebabkan cuaca dingin, gagal panen, kelaparan yang menimpa mereka, bahkan banyak yang menyebutkan kalau ini semua terjadi karena dekadensi moral di masyarakat yang ditandai dengan sedikitnya orang mengunjungi gereja.

Gunung Tambora menghancurkan Sumbawa, meracuni tanah dan menyebarkan penyakit, mengubah angin muson dan menyebabkan kelaparan di India, mendatangkan kelangkaan makanan di Eropa,  mengundang “musim tanpa panas” di Amerika Utara. Semua orang tidak tahu bahwa itu semua terjadi karena sebuah letusan gunung yang terletak di sudut dunia bernama Indonesia, Gunung Tambora.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain mengenai sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//