NGABUBURIT MENYIGI BUMI #10: Kemegahan Raksasa, Letusan Gunung Gumuruh yang Menimbun Cianjur
Jejak letusan Gunung Gumuruh dengan guguran puingnya menyisakan Gunung Gede, Perbukitan 777, dan membentuk rona bumi Cianjur.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
1 April 2023
BandungBergerak.id – Alun-alun Suryakancana yang megah dan indah dengan bunga edelweis (Anaphalis javanica) yang tumbuh subur. Rona buminya relatif datar, dibatasi oleh lereng Gunung Gede, dan di sisi lainnya dibatasi dinding tegak melengkung, yang sisa dari Gunung Gumuruh. Alun-alun Suryakancana ini merupakan dasar dari kaldera Gunung Gumuruh atau induk dari Gunung Gede, yang pernah meletus dahsyat 12.860 tahun yang lalu. Di Alun-alun Suryakancana inilah para pendaki beristirahat, berkemah, sebelum atau sesudah mendaki puncak Gunung Gede di ketinggian 2.958 m dpl.
Menurut van Bemmelen (1949), seperti dikutip oleh Akhmad Zaennudin (2011), Gunung Gumuruh itu pernah meletus dahsyat, dan menghancurkan bagian dinding yang menyebabkan terjadinya longsoran gunungapi maha dahsyat. Menurut Verstappen (1963), seperti dikutip MT Zen, Verstappen menjelaskan bahwa bukit-bukit kecil sebanyak 777 bukit di tenggara Ciandjur itu merupakan hasil dari guguran puing prasejarah di lereng Timur Laut Gunungapi Gede.
Setelah terjadinya guguran puing dari Gunung Gumuruh, material gugurannya diendapkan. Hujan sangat berpengaruh pasca kejadian itu. Bagian yang lunak akan dengan mudah tererosi. Material yang halus dan lapuk terkikis, hanyut terbawa ke bagian yang lebih rendah. Yang tersisa, endapan yang relatif kuat, kemudian membentuk bukit-bukit kecil yang jumlahnya mencapai 777 bukit. Dinamai Perbukitan 777 di Cianjur. Pada saat penghitungan, jumlahnya ada 777 bukit. Tentu, karena saat ini penambangan pasir begitu kuat di sana, sudah dapat dipastikan jumlah bukitnya terus berkurang.
Jejak letusan Gunung Gumuruh dengan guguran puingnya, selain menyisakan Perbukitan 777 di Cianjur, campuran material letusan gunungapi yang mengendap di kawasan Cianjur, menjadikan rona bumi Cianjur menjadi relatif datar, sedikit miring ke arah Ci Laku, Ci Kondang, dan Ci Sokan.
Dalam Peta Geologi Lembar Cianjur yang dipetakan oleh Sujatmiko (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, edisi 2003), terlihat dengan jelas bukit-bukit kecil di tenggara gunung sejauh 28 km dari puncak, yang terhampar di kawasan seluas 13 km x 17 km. Di sebelah barat mulai dari Sukamaju, Cibulakan, di selatan dan timur melewati Ci Laku, umumnya berakhir di Ci Kondang, walaupun masih ada yang meloncati Sungai Jati. Di utara tersebar sampai Kota Cianjur dan Munjul.
Letusan maha dahsyat Gunung Gumuruh terjawab dengan baik oleh Marina Belosouf dan Alexandre Belosouf (2009). Hasil penelitiannya, seperti dikutip oleh Akhmad Zaennudin (2011), Gunung Gumuruh pernah meletus dahsyat antara 12.940-12.780 tahun yang lalu.
Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #9: Gunung Lembu dan Gunung Parang, Bertahan Selama Dua Juta Tahun
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #8: Santirah dan Jojogan, Gua Bawah Tanah yang Berubah Menjadi Sungai Terbuka
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #7: Mewaspadai Letusan Gunung Salak dan Banjir Guguran Puing
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #6: Cipanas, Air yang Direbus Panas Magma
Setelah Letusan Gunung Gumuruh
Material dari longsoran gunung apinya meluber ke berbagai arah di kawasan yang sangat luas dengan endapan yang tebal. Material letusannya tersebar bukan hanya menyapu wilayah Cianjur saat ini, namun juga mengalir ke arah Sukabumi. Jumlahnya sangat banyak, sehingga meluas ke berbagai arah dengan ketebalan mencapai 100 meter. Setelah mengalami pelapukan selama puluhan ribu tahun, material halus dari letusan Gunung Gumuruh ini kemudian diolah menjadi sawah yang subur. Kesuburan tanahnya didukung oleh lingkungan yang terjaga, sehingga pasokan airnya tak pernah kering.
Keadaan buminya inilah yang menjadikan Cianjur sebagai kawasan pertanian, khususnya sawah yang sangat subur dengan air yang berlimpah. Keadaan ini telah mengantarkan Cianjur menjadi gudang beras yang sangat terkenal karena rasa dan aromanya yang pulen dan wangi.
Keindahan bumi Cianjur sebagai ibu Kota Priangan sudah tidak diragukan lagi. Bengal Civilian (Charles Walter Kinloch), pada tahun 1852 menyusuri jalan dari Jakarta ke Cianjur ke Bandung berakhir di Semarang. Dari Semarang ia kembali ke Jakarta dengan kapal laut. Catatan perjalanannya dihimpun dalam buku Rambles in Java and The Straits in 1852. Kesan Kinloch setibanya di Cianjur, ia menulis, “Desa yang cantik, memiliki udara yang bersih dan nyaman.”
Bila melihat rona bumi Cianjur, sangat mungkin hunian awal tidak berada di sekitar ibu Kota Cianjur sekarang, melainkan sedikit lebih ke utara, bermukim pada ketinggian antara + 460 m sampai dengan + 600 m, yaitu di ujung-ujung paling depan dari punggungan gunungapi purba Manangel, yang biasa disebut tanjung, bojong, bobojong, atau anjur, dengan arah barat laut – tenggara.
Bila menyimak arti kata anjur dalam nama Cianjur, kemungkinan mempunyai makna sebagai bojong, bobojong, atau tanjung, yaitu daratan yang menjorok ke depan, menonjol ke muka, atau yang menganjur ke air.
Dinamika bumi terus berlanjut. Dari dalam kaldera Gunung Gumuruh itu lahir Gunung Gede yang terus tumbuh meninggi. Gunung Gede pernah meletus beberapa periode letusan, baik letusan yang kecil, letusan yang sedang, maupun letusan yang besar. Akhmad Zaennudin (2011) menulis, bahwa Gunung Gede pernah meletus dahsyat dalam rentang 7.790-850 tahun yang lalu. Letusan-letusan itu dicirikan dengan endapan awan panas yang tersebar ke arah utara, kemudian berbelok ke arah timur laut dan timur. Jalur itu berupa lembah yang lebih rendah dibandingkan dengan sisi barat yang dibatasi oleh Gunung Pangrango, dan sisi timur dibatasi dinding kaldera Gunung Gumuruh. Jejak arah luncuran dan lontaran material letusan Gunung Gede berupa lava, lahar, dan awan panas, menyapu kawasan Cibodas, Cimacan, Cipanas, bahkan sampai ke Kawungluwuk, Sukaresmi, Taman Bunga Nusantara, yang jauhnya mencapai 15 km.
Gunung Gede yang megah itu menjadi ciri bumi yang terlihat dari berbagai arah. Kini, di kaki gunungnya sudah dipadati permukiman, tempat lembaga penelitian, gedung-gedung komersial, dan gedung pemerintahan, bahkan terdapat gedung-gedung yang dibangun di atas endapan awan panas yang meluncur pada periode 7.790-850 tahun yang lalu.
Pada saat Gunung Gede sedang tenang, perlu pemikiran dan tindakan yang menyeluruh, bagaimana cara untuk melindungi, menyelamatkan beragam dokumen dan tumbuhan yang ada di Kebun Raya Cibodas dan Kebun Raya Bogor, bila terjadi hujan abu panas yang lebat saat Gunung Gede meletus.