• Kolom
  • NGABUBURIT MENYIGI BUMI #8: Santirah dan Jojogan, Gua Bawah Tanah yang Berubah Menjadi Sungai Terbuka

NGABUBURIT MENYIGI BUMI #8: Santirah dan Jojogan, Gua Bawah Tanah yang Berubah Menjadi Sungai Terbuka

Di Santirah dan lembah Jojogan di Pangandaran, sungai-sungai yang memiliki lereng curam di tepinya. Dulunya gua bawah tanah dan telah berubah menjadi sungai terbuka.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Wisatawan sedang berenang di Lembah Jojogan yang berada di Dusun Gunungtiga, Desa Cintaratu, Kecamatan Parigi. Sedangkan Lembah Santirah, berada di Desa Selasari, Kecamatan Parigi. Keduanya berada di Kabupaten Pangandaran. (Foto: T. Bachtiar)

30 Maret 2023


BandungBergerak.id – Kendaraan melaju di jalanan yang membentang timur – barat antara Pangandaran – Pananjung. Wilayah yang datar selebar empat kilometer itu merupakan endapan permukaan yang berupa lumpur, pasir, dan kerikil. Wilayah inilah yang oleh warga ditanami kelapa, dijadikan kebun, sawah, dan perkampungan.

Di utara yang berbukit, terdapat ruas-ruas sungai yang dijadikan daya tarik wisata oleh masyarakat setempat. Itulah yang menjadi kecenderungan, setelah menikmati wisata pantai di Pangandaran, pengunjung melanjutkan berwisata di aliran sungai yang dikembangkan atas inisiatif masyarakat setempat, seperti di Lembah Jojogan dan di Santirah. Rentetan panjang dampak ekonomi dari kegiatan wisata itu secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakatnya.

Berkembangnya wisata bumi yang berbasis masyarakat, harus terus didorong oleh semua pihak agar mampu mengelola wisata alam secara mandiri dengan baik. Mengembangkan dan mengelola sumber daya alam menjadi daya tarik wisata, merupakan salah satu cara untuk melestarikan keragaman bumi dengan segala isinya, tapi masyarakat setempat yang mengelolanya mendapatkan nilai ekonomi dari kegiatan itu. Dengan berkembangnya wisata alam, dapat menghela dengan cepat ekonomi desa, sehingga manfaat ekonomi dari kegiatan wisata di desanya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Itulah yang hal yang harus terus diupayakan, agar masyarakat yang mengelola mendapatkan hal baru yang memperkuat pengelolaan wisata alam melalui pelatihan-pelatihan yang praktis dan dapat diterapkan.

Pengelola wisata alam harus menyadari penuh, kegiatan wisata yang dapat mendatangkan nilai ekonomi itu karena keadaan alamnya masih terjaga dengan baik. Kehormatan bagi semua kalangan yang terkait untuk menjaga lingkungan agar tetap terjaga, karena itulah yang akan membuat pengunjung merasa nyaman, teduh, di lokasi wisata yang bersuhu terik.

Pepohonan yang rindang akan memberikan naungan. Bila pepohonan yang semula lebat kemudian ditebangi agar lahannya dapat dipakai untuk berwisata, cara inilah yang akan berdampak buruk, karena wisatawan hanya sekali saja datang ke tempat itu, dan tidak akan memberikan anjuran kepada yang lain untuk datang ke sana. Menghilangnya pepohonan itu, akan mengubah sistem tata air dalam tanah yang akan berpengaruh pada sistem tata air di dalam gua dan di sungai. Sesungguhnya itulah yang menjadi daya tarik utama wisata sungai di sana. Semuanya akan terganggu. Air sungai bawah tanah atau air di lubuk yang semula berwarna biru kehijauan, akan berubah menjadi cokelat berlumpur. Siapa yang tertarik untuk berenang di sungai berlumpur cokelat?

Menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan destinasi wisata adalah keniscayaan, dan harus menjadi program yang terintegrasi dan berkelanjutan. Destinasi wisata sungai di Santirah dan Jojogan adalah contoh, bagaimana daya tarik wisata alam itu dikelola dengan berbasis masyarakat.

Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #7: Mewaspadai Letusan Gunung Salak dan Banjir Guguran Puing
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #6: Cipanas, Air yang Direbus Panas Magma
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #5: Sabuk Hijau Melindungi Kemegahan Pantai dan Warga Pangandaran
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #4: Jalan Baru di Ruas Jalan Lebakjero

Asalnya dari Sungai Bawah Tanah

Kembali ke 17-10 juta tahun yang lalu, kawasan wisata ini terangkat dari dasar laut dangkal secara evolutif dan muncul ke permukaan. Bukit dan lembah destinasi ini batuannya di antaranya berupa batu gamping. Sejak terangkat itulah kawasan ini menerima pengaruh angin, panas matahari, dan air hujan. Proses pengangkatan dan proses pelarutan batu kapur terus berlangsung berjalan berbarengan, menoreh tajam bagian yang lemah membentuk lembah, melarutkan batu kapur membentuk celah, rongga, yang terus membesar membentuk gua-gua kapur yang vertikal di kedalaman.

Berselang waktu jutaan tahun, di kedalaman tertentu, aliran air di dalam gua kapur itu berubah menjadi mendatar dengan kemiringan  ke arah selatan, membentuk gua-gua mendatar, kemudian saling tersambung menjadi sungai bawah tanah bila jumlah airnya melimpah. Bila atap gua atau sungai bawah tanahnya ambruk, maka rona buminya berubah menjadi sungai yang terbuka, dengan lereng yang curam di tepinya. Rona bumi itulah yang kini dikelola menjadi daya tarik wisata sungai oleh masyarakat setempat, seperti di Santirah dan Jojogan.

Jauh sebelum Santirah dan Jojogan menjadi tujuan wisata alam, sudah terlebih dahulu berkembang wisata air Situmang dan Cukangtaneuh di aliran Ci Julang. Para wisatawan dapat menyusuri sungai ini sampai jembatan alami, dengan lingkungan dan air sungainya biru kehijauan bila tidak sedang banjir.

Cukangtaneuh pun pada mulanya merupakan sungai bawah tanah yang menerobos perbukitan batu kapur yang terbentuk 23 juta tahun yang lalu. Gua atau sungai bawah tanah sepanjang 10 kilometer, kemudian langit-langit guanya tidak kuat lagi menahan beban hingga kemudian atap gua yang panjang itu ambruk, menjadi aliran sungai yang terbuka. Atap guanya tidak semuanya ambruk, menyisakan atap gua kapur yang sempit setebal 4-5 meter, yang kemudian dijadikan jembatan kecil (cukang), tempat warga kampung melintas dari satu kampung ke kampung lainnya yang dipisahkan aliran sungai. Atap gua yang tersisa inilah yang oleh masyarakat diberi nama Cukangtaneuh, jembatan tanah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//