• Kolom
  • NGABUBURIT MENYIGI BUMI #7: Mewaspadai Letusan Gunung Salak dan Banjir Guguran Puing

NGABUBURIT MENYIGI BUMI #7: Mewaspadai Letusan Gunung Salak dan Banjir Guguran Puing

Tahun 1699 terjadi banjir lumpur besar yang membawa batang-batang pohon melanda Batavia. Akibat letusan Gunung Salak, atau gempa kuat di Bogor?

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Kawah Gunung Salak terus mengepulkan uap belerang. Gunungapi aktif ini sudah dikelilingi permukiman, pusat kegiatan ekonomi, dan pemerintahan. (Foto: T. Bachtiar)

29 Maret 2023


BandungBergerak.id – Belajar dari sejarah alam Gunung Salak, ada dua hal yang harus diwaspadai dari kemungkinan terjadinya ancaman bahaya. Pertama letusan gunung dan banjir lahar. Kedua, guguran puing dari dinding gunung yang ambruk karena gempa bumi.

Itulah dua hal yang pernah terjadi dalam sejarah alam Gunung Salak. Para penjelajah awal abad ke-19, melihat ada tiga gunung di selatan Batavia yang terlihat sangat jelas pada pagi hari. Gunung-gunung yang terlihat berwarna biru itu kemudian mereka sebut Gunung Biru, karena belum mengetahui ketiga nama gunung itu. Kemudian diketahui, itulah Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango.

Di Kota Bogor, Gunung Salak selalu hadir dari arah manapun. Dan, ke mana pun kita pergi, seolah gunung ini mengikuti. Banyak orang yang terobsesi oleh gunung ini. Satu di antaranya adalah Daendels, yang menginginkan foto resmi dirinya dengan latar Gunung Salak. Begitu pun perancang logo segel Kota Bogor zaman kolonial, menggambarkan Gunung Salak dengan tiga kerucut utamanya. Demikian juga perancang lambang Kota Bogor pasca kemerdekaan, terdapat Gunung Salak yang digambarkan dengan empat kerucut.

Karena Bogor menjadi pusat kerajaan pada masa lalu, dan Gunung Salak begitu jelas terlihat wujudnya, maka dapat diduga, nama geografi salak itu diberikan oleh orang yang tinggal di Bogor. Dari kota inilah rona bumi puncak gunungapi yang tingginya 2.211 m dpl itu nampak jelas seperti empat buah salak yang berjajar. Bentuk puncaknya yang menyerupai empat buah salak itulah yang menginspirasi orang-orang Bogor pada masa lalu untuk menamai gunung itu Gunung Salak.

Ketika terjadi banjir lumpur yang besar yang disertai banyaknya batang-batang pohon, bahkan sampai di Batavia pada tahun 1699, terdapat dua pendapat yang kuat, pertama, ada ahli yang memperkirakan penyebab kejadian itu karena letusan dari Gunung Salak di Bogor. Kedua, disebabkan karena terjadinya gempa bumi yang kuat di Bogor.

Berita tentang gempa bumi dan banjir bebatuan dilaporkan Mr JA Van Der Chijs (1886) dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811, seperti yang dikutip oleh Saleh Danasasmita (1983), “Dataran tinggi antara Batavia dengan Ci Sadane, di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan, yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, tanpa pepohonan sama sekali.

Permukaan tanah tertutup oleh tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras, sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya. Tetapi pada tempat-tempat lain, orang dapat terbenam sedalam satu kaki.

Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan, yang terletak di antara Batavia dan Ci Sadane, belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya”.

Dua ahli yang tidak percaya kejadian itu karena letusan Gunung Salak adalah Verbeek dan Fennema (1896), seperti yang terdapat dalam tulisannya De Salak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh K. Kusumadina (1982), menegaskan bahwa, “Tidak terjadi letusan Gunung Salak tahun 1699, sehingga harus dicoret dari daftar gejala letusan gunungapi”.

Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #6: Cipanas, Air yang Direbus Panas Magma
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #5: Sabuk Hijau Melindungi Kemegahan Pantai dan Warga Pangandaran
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #4: Jalan Baru di Ruas Jalan Lebakjero
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #3: Ciuyah, Mataair Asin Berumur Jutaan Tahun

Penyebab Banjir Lumpur

Keraguan apakah kejadian tahun 1699 itu letusan atau bukan letusan, terjawab oleh hasil penelitian Christopher J Harpel (2015). Harpel berkesimpulan, bahwa endapan vulkaniklastik yang terdapat di sekitar Gunung Salak menyimpan sejarah letusan eksplosif dan aliran guguran puing. Endapan lahar dan piroklastik itu mengonfirmasi bahwa Gunung Salak pernah meletus eksplosif 37.500 tahun yang lalu dan 25.000 tahun yang lalu. Endapan hasil letusannya terdapat di semua sisi gunung.

Pada letusan besar Gunung Salak yang terjadi 37.500 tahun yang lalu, meruntuhkan sebagian dinding tubuhnya, membentuk rona bumi tapal kuda. Di dasarnya terdapat Kawah Ratu dengan bualan-bualan lumpur belerang panas. Magma di dalam perut gunung ini terus memanasi tubuh gunung, bebatuannya dikukus tak mengenal jeda, sehingga bebatuan itu menjadi terubah. Pengukusan tubuh gunung oleh panas magma semakin sempurna dengan melimpahnya air, sehingga tubuh gunung menjadi rapuh, telah menyempurnakan sebab-sebab terjadinya guguran puing, longsoran puing, atau debris avalanche.

Dari laporan kolonial Belanda, pada tahun 1699 terjadi gempa bumi dan longsor besar di dinding Gunung Salak. Kejadian ini menyebabkan banjir besar di Batavia karena telah membendung Ci Liwung, Ci Pinanggading, dan Ci Apus. Dari batang pohon yang terdapat dalam endapan aliran guguran puing di Ci Apus dan di tiga sungai lainnya, penelitian Harpel menghasilkan umur yang sama, bahwa batang-batang pohon itu telah tertimbun sejak tahun 1699.

Harpel menegaskan, ia menolak kemungkinan pernah terjadi letusan Gunung Salak tahun 1699, karena sangat sedikitnya kandungan batu apung atau skoria dalam deposit aliran guguran puing tahun 1699.

Berdasarkan pada sejarah alam Gunung Salak yang pernah meletus dan terjadinya guguran puing yang besar, maka untuk melakukan mitigasi Gunung Salak, selain yang bersumber dari bahaya letusan, juga mitigasi kemungkinan terjadi guguran puing yang dipicu gempa bumi. Dua bahaya itu merupakan bahaya yang harus diwaspadai. Kewaspadaan perlu terus ditingkatkan, seperti bahaya banjir lahar di semua sungai yang hulunya di Gunung Salak, mengingat di sepanjang pinggir sungai itu kini sudah dipadati oleh permukiman.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//