• Berita
  • Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan Berpeluang Memicu Konflik Horizontal

Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan Berpeluang Memicu Konflik Horizontal

Nahdlatul Ulama (NU) menjadi ormas keagamaan yang menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang. Mendapat penolakan dari akar rumput.

Truk tambang batu kapur di jalur tambang Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu, 14 Oktober 2023. Padalarang marak dengan pertambangan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah12 Juni 2024


BandungBergerak.id – Terbitnya Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang memberikan izin pada ormas keagamaan untuk mengelola pertambangan, membahayakan demokrasi di Indonesia. Partisipasi bermakna dari rakyat sebagai subjek pengelolaan sumber daya alam diabaikan. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Heri Pramono mengatakan, PP Nomor 25 tahun 2024 juga sebagai jebakan dan pembungkaman yang dilakukan negara. “Pembungkaman dilakukan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan dengan menimbang unsur-unsur yang menguntungkan bagi kedua belah pihak,” ujar Heri, dihubungi BandungBergerak, Selasa, 11 Juni 2024.

PP Nomor 25 tahun 2024 menurut Heri sebagai modus praktik represif negara melalui kebijakannya untuk menyusutkan ruang sipil atas kritik pembangunan dengan cara adu domba warga.

“Ini adalah bentuk politisasi keagamaan. Ormas keagamaan akan berhadapan vis a vis dengan masyarakat, dan ormas jadi instrumen negara untuk melakukan represi terhadap rakyat,”tutur Heri.

Heri menambahkan, hampir wilayah pertambangan selalu berusan dengan konflik, perusakan lingkungan, dan perampasan ruang masyarakat. Praktik pertambangan selama ini tak pernah berpihak pada rakyat dan lingkungan.

Walaupun kebijakan ini hanya dikhususkan untuk batu bara dan mineral, Heri menyebut hal ini bisa menjadi legitimasi awal pengelolaan tambang atau industri ekstraktif oleh ormas keagamaan yang tak hanya merusak lingkungan tetapi juga memicu konflik horizontal.

Hal senada dikatakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di mana konsensi tambang untuk ormas keagamaan tak sekedar mencaplok ruang hidup. “Tetapi juga akan menggeser arena konfliknya menjadi antarwarga, atau antara komunitas warga dan agama,” tulis Jatam, dikutip dari keterangan resmi.

Menurut Jatam industri ekstraktif tambang bisa mendorong kesejahteraan ormas keagamaan merupakan omong kosong. Sebab, pertambangan merupakan industri padat modal dan teknologi. Ditambah lagi merusak tanah dan rakus air, secara ekonomi sangat rapuh.

“Saat ini saja, jumlah izin tambang di Indonesia mencapai hampir delapan ribu izin, dengan luas konsesi mencapai lebih dari sepuluh juta hektare. Dalam operasionalnya, tambang tak hanya melenyapkan ruang pangan dan air, serta berdampak pada terganggunya kesehatan, tetapi juga telah memicu kematian,” ungkap Jatam.

Jatam mencatat, lebih dari 80.000 titik lubang tambang dibarkan menganga tanpa rehabilitasi di Indonesia. Lubang-lubang tambang itu menjadi mesin pembunuh massal. Di Kalimantan Timur, misalnya, telah menelan korban tewas 49 orang, mayoritas anak-anak.

“Kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum. Kompleksitas masalah ini memang tak akan pernah diselesaikan oleh rezim Jokowi, justru akan menjadi tumpukan warisan utang sosial-ekologis bagi kekuasaan politik berikutnya,” beber Jatam.

Jatam medesak agar ormas keagamaan bisa tegas menolak konsensi tambang dan mesti berdiri bersama warga di depan garis krisis. Jatam menuntut pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan pemulihan dampak sosial-ekologis, sekaligus penegakan hukum yang tegas atas rentetan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan oleh negara dan korporasi tambang.

Baca Juga: Izin Pertambangan untuk Ormas Keagamaan akan Memicu Konflik Kepentingan
Pemerintah KBB dan Jawa Barat Mendukung Pertambangan Cagar Alam Hawu dan Pabeasan yang Terlarang Ditambang
Jawa Barat Berpangku pada Investasi dan Pertambangan, Ada Indikasi Mengorbankan Lingkungan

Sikap Nahdlatul Ulama dan Penolakan dari Akar Rumput

Nahdlatul Ulama (NU) menjadi ormas keagamaan yang  menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang. Meski begitu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menolak tegas konsensi tambang yang berlokasi di dekat permukiman warga dan lahan hak ulayat (tanah adat). Ia mendukung sepenuhnya gerakan-gerakan yang dipelopori aktivis lingkungan dan meminta agar mereka tidak dikriminalisasi.

"Jika NU diberi konsesi di tengah pemukiman tentu saja kami tidak akan mau, atau dikasih konsesi yang di situ ada klaim hak ulayat, tentu tidak bisa, tentu kita tidak mau. Kita harus melihat dulu di mana tempatnya, konsesinya di mana," kata kyai yang akrab disapa Gus Yahya di Jakarta, Kamis, 7 Juni 2024, dilansir dari NUOnline.

Arief Agus dari Lembaga Penanunggalangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) menuturkan, izin tambang jangan sampai merusak lingkungan. Ia berdalih, ormas keagamaan mewakili masyarakat, artinya masyarakat berhak punya tambang.

Suara berbeda datang dari Front Nadhliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). FNKSDA mengatakan, sikap elite PBNU tidak lagi mencerminkan kondisi masyarakat Nadliyin yang menjadi korban tambang.

“Mereka tidak layak merepresentasikan kalangan cendekiawan dan aktivis Nahdliyin yang selama ini menolak pertambangan demi kehidupan yang lebih bersih dan berkeadilan bagi rakyat akar rumput,” tulis FNKSDA dalam keterangan resmi.

Sikap PBNU dinilai telah melupakan sejarah. Padahal dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015 dikatakan letak keharaman pertambangan bukan pada izin dan legalitas, tetapi berdampak pada lingkungan hidup.

“Warga Nahdliyin mesti tetap menjadikan produk hukum hasil bahtsul masail pro kelestarian lingkungan sebagai kompas moral kita. Sikap elite PBNU dalam soal pertambangan sudah tidak perlu ditaati kembali apa pun alasan di baliknya karena hanya menimbulkan kemaksiatan berupa keterlibatan mereka dalam industri tambang yang mempercepat kerusakan lingkungan,” beber FNKSDA.

Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam merupakan organisasi akar rumput yang hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap menguatnya kapitalisme di semua ranah kehidupan. Kelahiran FNKSDA diawali dengan diskusi tematik bertajuk “NU dan Konflik Tata Kelola SDA” yang diadakan di Pendopo LKiS, Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 2013 dengan pembahasan kasus di berbagai daerah di Indonesia.

Diskusi ini sepakat untuk membentuk aliansi dengan tujuan menyiapkan media jaringan agar kelancaran sirkulasi informasi dan kemudahan pengorganisasian serta mengarusutamakan tata kelola SDA di kalangan NU dapat terwujud. Pada 8 Desember 2013, FNKSDA dideklarasikan dan ditetapkan pada 3 April 2015 dalam Musyawarah Nasional I FNKSDA bertempat di Kuningan.

FNKSDA mempunyai visi: Mewujudkan cita-cita pembebasan kaum mustadl’afin; memperkuat dan mendukung perjuangan demokrasi dan anti-kapitalisme di Indonesia; mewujudkan kedaulatan rakyat dengan semangat keadilan sosial-ekologis; membangun kesadaran dan kepekaan masyarakat terhadap setiap bentuk penjajahan dan penindasan.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Pertambangan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//