• Narasi
  • PELETAK DASAR KONSERVASI SATWA LIAR DI HINDIA BELANDA #2: Venatoria dan Sekelumit Cerita di Cikepuh

PELETAK DASAR KONSERVASI SATWA LIAR DI HINDIA BELANDA #2: Venatoria dan Sekelumit Cerita di Cikepuh

Venatoria mengelola kawasan Cikepuh Sukabumi sebagai kawasan perburuan khusus sekaligus konservasi. Sempat menjadi tertuduh penyebab populasi banteng yang menyusut.

Muhammad Firyal Dzikri

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad)

Banteng liar di Hindia Belanda. Foto sekitar tahun 1928. (Koleksi KITLV 159087, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

13 Juni 2024


BandungBergerak.id – Dalam tulisan sebelumnya, cerita berfokus pada rintisan awal berdirinya Venatoria oleh E. J. Kerkhoven dan Adriaan Kerkhoven. Di masa awal pendiriannya, Adriaan Kerkhoven, melalui Venatoria, menjadikan Cikepuh sebagai kawasan perburuan khusus sekaligus konservasi. Hingga batas tertentu, kawasan Cikepuh berkontribusi terhadap peningkatan populasi banteng hingga tahun 1906. Sayangnya, memasuki akhir tahun 1914, muncul sebuah berita yang mengabarkan bahwa populasi banteng di Cikepuh mengalami penurunan.

Lalu mengapa populasi banteng di sana menyusut dan bagaimana Adriaan Kerkhoven menanggapinya mengingat Cikepuh merupakan kawasan konservasi di bawah Venatoria?

Populasi Banteng Menyusut, Venatoria Tertuduh

Pada 8 Desember 1914, muncul sebuah tulisan di De Preangerbode berjudul “Jachtterreinen en Vermindering van Diersoorten(Tempat Berburu dan Berkurangnya Spesies Satwa)”. Berita tersebut dibuka dengan informasi mengenai penerapan undang-undang perburuan yang dinilai belum efektif dalam mengatasi perburuan satwa di Jawa.  Akibatnya banyak satwa yang perlahan mulai punah, contohnya gendjon (tupai terbang) di pantai utara Jawa.

Selain gendjon, satwa lain yang terancam populasinya yaitu badak di Oedjoeng-koelon (Ujung Kulon) dan banteng di Cikepuh. Keterangan yang menyebutkan penurunan banteng di Cikepuh cukup menarik. Hal ini dikarenakan Cikepuh merupakan kawasan perburuan khusus dan konservasi yang dikelola oleh Venatoria.

Dalam surat kabar tersebut, keterangan mengenai penurunan populasi banteng di Cikepuh bersumber dari seorang ahli kehutanan ternama, yaitu Dr. Koorders. Menurut Dr. Koorders, setidaknya terdapat dua penyebab mengapa banteng di Cikepuh sampai menurun. Pertama karena perburuan banteng yang masif. Kedua karena perambahan hutan yang banyak terjadi di Sukabumi.

Secara tersirat, keterangan dalam berita tersebut seolah ada tendensi menuduh Venatoria sebagai dalang utama penurunan populasi banteng. Padahal Venatoria telah mengatur bagaimana mekanisme perburuan banteng di Cikepuh guna menjaga populasinya.

Adriaan Kerkhoven Bersuara

Munculnya pemberitaan di atas, membuat Adriaan Kerkhoven angkat bicara untuk mengklarifikasi sejumlah keterangan dalam berita tersebut. Melalui surat kabar De Preangerbode pada 29 Desember 1914, Adriaan Kerkhoven menulis artikel berjudul “Jagers en Wild (Pemburu dan Keliaran)” sebagai respons dan klarifikasi.

Menurut Adriaan Kerkhoven, terdapat banyak penyebab mengapa populasi banteng di Cikepuh menurun dan bukan semata-mata akibat kegiatan Venatoria. Ia mengemukakan bahwa sebagian besar anggota Venatoria relatif jarang datang berburu ke Cikepuh, bahkan untuk berburu pun ada aturan khusus. Kalaupun ada aktivitas berburu, jumlah banteng yang diburu tidak banyak karena ada regulasinya, salah satunya dilarang memburu banteng betina dan terdapat kuota buruan per orangnya.

Meski begitu, Adriaan Kerkhoven tak menampik jika perburuan liar banteng sering kali terjadi di Cikepuh. Namun, perburuan liar tersebut terjadi di luar kawasan berburu khusus Cikepuh dan banyak dilakukan oleh orang-orang pribumi. Mengapa para pemburu liar tersebut tidak ditangkap? Persoalannya, menurut Adriaan Kerkhoven, dikarenakan tidak ada ketentuan hukum yang secara khusus melarangnya.

Selain ketiadaan aturan hukum, faktor alam secara tidak langsung menjadi katalisator masifnya perburuan liar di luar kawasan berburu khusus Cikepuh. Hal ini dikarenakan selama musim kemarau, banteng biasanya keluar dari kawasan berburu khusus Cikepuh untuk mencari air. Di sinilah banteng-banteng tersebut diburu oleh orang-orang pribumi.

Terkait aturan hukum perburuan, menurut Budi Gustaman dalam Sisi Lain Kehidupan Preangerplanters: Dari Perburuan hingga Gagasan Konservasi Satwa Liar (2019), sejak tahun 1909 sebetulnya sudah ada regulasinya. Aturan tersebut yaitu Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-undang Perlindungan Mamalia dan Burung Liar). Dalam aturan tersebut, banteng merupakan salah satu satwa yang dilindungi.

Meski begitu, dalam praktiknya, Adriaan Kerkhoven memandang bahwa aturan tersebut tidak berjalan efektif. Ia mengkritik bagaimana ketidakmampuan para pegawai kolonial dan para polisi dalam mengawasi penerapan aturan perburuan di Hindia Belanda.

Jadi, persoalan menurunnya populasi banteng di Cikepuh bukanlah semata-mata diakibatkan oleh aktivitas Venatoria. Masih ada faktor lain yang menjadi sebab mengapa populasi banteng sampai berkurang, sebagaimana yang diuraikan oleh Adriaan Kerkhoven dalam tulisannya.

Terlepas dari tuduhan tersebut, pada kenyataannya kawasan Cikepuh memang telah populer sebagai habitat banteng. Popularitas Cikepuh kemudian menarik perhatian kalangan pemburu Eropa.

Baca Juga: Jejak Raja Teh Priangan di Pangalengan
Membicarakan Andreas De Wilde dan Kolonialisme di Priangan
PELETAK DASAR KONSERVASI SATWA LIAR DI HINDIA BELANDA #1: Dari Pemburu Menjadi Aktivis Konservasi Satwa Liar

Sekelumit Cerita di Cikepuh

Ketertarikan kalangan Eropa terhadap kawasan Cikepuh, yang dikelola oleh Venatoria, bukanlah tanpa alasan. H. M. van Weede dalam bukunya berjudul Indische Reisherinneringen (1908), mencatat sejumlah alasannya saat ia melakukan aktivitas berburu di Cikepuh selama dua minggu.

Ketertarikan itu, menurut van Weede, tidak lepas dari kesan eksotis banteng di mata orang-orang Belanda. Eksotisme tersebut dikarenakan banteng banyak ditemui di Jawa, ketimbang di Belanda. Selain dianggap eksotis, tanduk banteng yang berhasil diburu menjadi suatu kebanggaan karena diibaratkan seperti piala karena memiliki bentuk yang indah.

Faktor lain yang mendorong ketertarikan berburu banteng di Cikepuh yaitu pesona lanskap alamnya. Lanskap alam, menurut van Weede, turut berkontribusi menjadikan aktivitas berburu sebagai sebuah pengalaman indah yang ditawarkan di Hindia Belanda.

Sebelum pergi ke Cikepuh, van Weede mempersiapkan segala halnya secara cermat dengan dibantu oleh seseorang yang paham betul perburuan di Hindia Belanda bernama Baroeel. Usai persiapan dirasa aman, ia beserta rombongannya pergi dari Cisalak menuju Cikepuh. Sepanjang perjalanan menuju Cikepuh, tak hentinya van Weede mengagumi pemandangan indah alam Priangan yang dihiasi jajaran pegunungan.

Usai perjalanan yang melelahkan, rombongan van Weede akhirnya sampai di Cikepuh. Rombongannya lantas harus berjalan lagi menuju pondok berburu selama satu setengah jam. Di perjalanan, rombongannya melihat seekor banteng dan banyaknya jejak banteng.

Beberapa hari berikutnya, rombongan van Weede melakukan aktivitas berburu di Cikepuh –tentu dengan mengantongi izin dari Venatoria.

Terdapat cerita konyol tatkala van Weede, yang selama berhari-hari di Cikepuh, belum mendapatkan seekor banteng. Saat itu rombongannya tengah menikmati makan sebelum diberitahu oleh seorang anak laki-laki bahwa ada banteng di dekat pondok mereka. Tanpa pikir panjang, van Weede mengambil senapannya. Saking semangatnya, ia sampai lupa tak mengenakan sandal. Ia mengejar banteng itu hingga menembus alang-alang dan menghiraukan duri yang menancap ke kakinya. Tujuannya satu: menembak banteng. Pengejaran tersebut berakhir gagal dan selama pengejaran itu, van Weede tak menyadari bahwa sarung yang ia kenakan terlepas. Alhasil, saat pulang, ia menjadi bahan tertawaan.

Selama dua minggu di Cikepuh, van Weede beserta rombongannya relatif sering melakukan perburuan dan seringkali dibantu oleh seorang pribumi, salah satunya bernama Pa Sdi.

Pengalaman van Weede yang ia utarakan, menunjukkan bahwa kawasan Cikepuh menjadi lokasi yang tepat untuk melakukan perburuan banteng. Di samping adanya gagasan konservasi, juga didukung oleh lanskap alamnya yang indah namun memberikan tantangan. Pengalaman van Weede barangkali dapat menjadi bukti bahwa kawasan Cikepuh sudah cukup populer berkat peranan Venatoria.

Selain cerita van Weede, ada kabar menarik lain ihwal kawasan Cikepuh. Dalam surat kabar De Preangerbode 16 Desember 1909, muncul berita mengenai kunjungan seorang bangsawan bernama adipati Johann Albrecht dari Mecklenburg, bupati dari Brunswick. Dalam rencana kunjungannya, adipati Johann berkeliling mengunjungi beberapa tempat yang ada di Hindia Belanda.

Menariknya, dalam surat kabar itu, adipati Johaan direncanakan akan menjadi tamu Venatoria pada bulan Mei 1910. Venatoria ingin mengajak mengajak adipati Johann untuk berburu satwa buruan yang ada Cikepuh, sekaligus, mungkin saja, mempromosikan Cikepuh sebagai kawasan berburu khusus dan konservasi.

Bagi saya berita itu cukup menarik. Sayangnya saya belum menemukan sumber terkait kelanjutan cerita kunjungan adipati Johan di Cikepuh. Meski begitu, laporan dalam surat kabar tersebut memperlihatkan bahwa Venatoria dan Cikepuh sudah memiliki nama yang beken lewat kegiatan konservasi dan kontribusi yang ditorehkannya.

Besarnya kontribusi yang ditorehkan oleh Venatoria di Cikepuh, sebagaimana tercatat dalam buku 3 Jaren Indisch Natuur Leven (1939), sampai-sampai menginspirasi munculnya rencana membentuk suaka margasatwa. Inspirasi ini merupakan buah perjuangan Adriaan Kerkhoven, beserta rekannya, melalui Venatoria dalam memberdayakan kawasan Cikepuh.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lain mengenai sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//