Mengurai Konflik Pengelolaan Hutan Rakyat di Wilayah Kabupaten Bandung
Regulasi menyatakan aset-aset kehutanan menjadi tanggung jawab Perum Perhutani dan Pemegang Persetujuan Perhutanan Sosial yang dikelola dan dijaga bersama-sama.
Penulis Iman Herdiana15 Juni 2024
BandungBergerak.id - Pengelolaan sumber daya hutan rentan menimbulkan konflik antara masyarakat dan pengelola negara atau perusahaan. Masyarkat lokal yang menggantungkan hidup dari hasil hutan kerap kari paling dirugikan dalam konflik ini mengingat sumber daya alam adalah satu-satunya mata pencaharian mereka.
Untuk mengatasi potensi konflik ini Gapoktanhut Gambung, Gapoktanhut Jaleuleu, Gapoktanhut Koleha melakukan audiensi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) dan Perum Perhutani, 12 Juni 2024 lalu.
Dikutip dari siaran pers yang diterima BandungBergerak, pertemuan ini bertujuan untuk mempercepat penyelesaian konflik pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di lapangan. Poin-poin yang mencuat dalam audiensi ini meliputi:
Pertama, dalam hal terdapat aset Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) yang berada di areal persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial menjadi tanggung jawab Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan pemegang Persetujuan Perhutanan Sosial.
Kedua, dalam hal terdapat aset tetap berupa tanaman dimanfaatkan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) sampai dengan akhir masa daur.
Ketiga, pemanfaatan aset tanaman belum masak tebang dilakukan melalui kerja sama sesuai ketentuan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) setelah mendapat persetujuan menteri.
Dalam pertemuan tersebut Direktur PKPS Syafda menjelaskan, terkait aset yang ditanyakan oleh ketiga Gapoktanhut, bahwa aset tersebut sesuai dengan Permen LHK no.4 tahun 2023 pasal 92 dan 93 bahwa ketentuan aset itu menjadi tanggung jawab Perum Perhutani dan Pemegang Persetujuan Perhutanan Sosial yang dikelola dan dijaga bersama-sama sesuai dengan peraturan perhutani.
“Dasar dari dikeluarkannya SK Persetujuan kepada 3 Gapoktanhut itu karena sudah dilakukan validasi oleh petugas BPSKL yang langsung turun ke lapangan dan mengecek kebenaran dari subjek dan objek. Dan dituangkan kedal berita acara hasil validasi pada tahun 2023,” terang Syafda.
Kemudian perwakilan dari Gapoktanhut memaparkan kegiatan pasca-SK serta kegiatan konsolidasi dengan berbagai stakeholder terkait pengelolaan persetujuan Perhutanan Sosial. Dalam pemaparan tersebut mereka menuntut tiga hal, yaitu:
Pertama, penjelasan masak tebang dan masa daur pada Hutan Lindung di SK PPHKm; kedua, meminta surat pernyataan yang ditandatangani oleh saudara Fikri Khalid saat patroli dicabut dan mengembalikan barang-barang yang dirampas; dan ketiga, pertemuan ini harus menghasilkan penegasan dan kesepakatan yang dituangkan dalam Berita Acara/Surat Edaran.
Klarifikasi GAKKUM KLHK
Salah satu yang mencuat dari audiensi ini adalah peristiwa patroli yang terjadi pada tanggal 30 Mei 2024 di Desa Mekarsari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Patroli ini dilaukan GAKKUM KLHK, Perhutani, SPORC KLHK, Polda Jabar berdasarkan surat dari Perhutani KPH Bandung Selatan di wilayah KRPH Ciwidey dan KRPH Pangalengan Bandung Selatan.
Maman, dari GAKKUM KLHK, meberikan klarifikasi bahwa tidak ada penindakan secara pidana dalam patrol ini. Namun pihaknya melakukan pembinaan dan teguran kepada Fikri Khalid sebagai pengurus Gapoktanhut dikarenakan pada saat patoli ia sedang melakukan pengumpulan getah pinus.
Terkait barang yang diambil hasil patrol telah dilimpahkan kembali kepada pihak perhutani dalam hal ini KRPH Ciwidey. Maman juga menegaskan, “Hasil patroli tersebut terkait dengan surat pernyataan yang ditandatangani saudara Fikri Khalid itu tidak dinaikan ke tingkat pidana”.
Dari GAKKUM LHK, Luhur menjelaskan terkait aset yang ditanyakan oleh Gapoktanhut, menurutnya semua harus merujuk pada Permen LHK 4 tahun 2023 pasal 93. Di sana sudah dijelaskan bahwa hutan adalah aset negara yang dikelola oleh Perthutani sesuai ketentuan di pasal 93 Permen LHK No 4 tahun 2023 baik di hutan lindung maupun hutan produksi.
Salah satu poin penting yang menjadi pembahasan pertemuan tersebut mengenai penyadapan pohon pinus yang dilakukan Gapoktanhut dan Perhutani. Gapoktanhut merasa bahwa tanaman pinus yang dianggap aset oleh Perhutani itu adalah aset masyarakat merupakan tanaman yang ditanama tahun 1990-1992, dengan dasar itu mereka mulai penyadapan baru.
Gapoktanhut telah berkirim surat kepada Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, CDK V, Perhutani KPH Bandung Selatan, Balai PSKL Wilayah Jawa, PKPS, Setditjen PSKL, Polsek, Pemdes, Camat, Koramil untuk mengklarifikasi terkait kegiatan yang dilakukan oleh Gapoktanhut dengan harapan ada titik temu kesepakatan yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan bersama. Sejauh ini kesepakatan bersama belum terwujud.
Gapoktanhut akan tetap melakukan penggalian potensi ekonomi melalui HHBK dalam hal ini getah pinus. Dasarnya bahwa pohon-pohon pinus mereka yang tanam. Gapoktanhut berharap asset pinus ini tidak diaku oleh Perhutani dan negara.
Dir Op Perhutani Anis menjelaskan, ada tahapan kenapa perhutani melakukan penyadapan pinus, dikarenakan perhutani punya target yang sudah ditentukan oleh regulator (kementerian BUMN dan KLHK).
“Kami hanya sebagai operator, yang mempunyai tanggung jawab mencapai target. Terkait komunikasi di tingkat tapak kami memohon maaf,” kata Anis.
Ia juga menyampaikan permintaan maaf terkait kejadian di lapangan yang belum tersosialisasikan dengan baik. “Apabila membutuhkan kontak untuk berkomunikasi bisa menghubungi saya langsung. Terkait ketiga Gapoktanhut ini, nanti kami akan komunikasikan dengan AP2SI sebagai pendamping,” paparnya.
Baca Juga: Cara Perhutana Membangun Hutan di Majalengka ala Kavling Properti
Mengurai Kebakaran Hutan di Bromo dan Rekomendasi
DAS Citarum Kritis, Luas Hutan Penyangga Tinggal 10 Persen
Kebijakan Sentralistik
Leti Sundawati dan Dodik Ridho Nurrochmat dari Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB menyatakan peraturan yang ada terkait pemanfaatan hutan pada zona tradisional masih bersifat sentralistik.
“Kebijakan yang bersifat sentralistik menjadikan akses masyarakat terhambat. Keterbatasan masyarakat mengelola HHBK menjadikan konflik tersendiri antara masyarakat dan kawasan,” tulis Leti dan Dodik, diakses dari Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. file:///D:/konflik%20hasil%20hutan%20bukan%20kayu%2020075-Article%20Text-62088-1-10-20180209.pdf
Konflik masyarakat dan kawasan merupakan konflik akses. Akses dalam penjabarannya di PP 28 tahun 2011 pasal 35 tidak saja akses dalam memasuki kawasan namun juga lebih kepada akses masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan yang bersifat substraktif atau bersifat budidaya dan perburuan terbatas. Dalam pemanfaatan yang bersifat substraktif masyarakat harus menggunakan cara tradisional namun hal ini belum diatur lebih lanjut dengan kebijakan.
“Masyarakat juga mempunyai hak dalam akses zona tradisional namun dapat bersifat konflik jika sampai pengaturan pemanfaatan HHBK tidak sesuai dengan masyarakat,” terang kedua penulis.
Menurutnya, peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan perlu diberi ruang untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya.
*Kawan-kawan bisa menyimak lebih lanjut mengenai artikel-artikel tentang hutan dalam tautan berikut ini