• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #37: Mengisi Hari Libur di Sela Kesibukan Kerja

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #37: Mengisi Hari Libur di Sela Kesibukan Kerja

Tahun 1982-an kuliner Bandung belum sebanyak sekarang. Salah satu yang membuat penasaran saat itu adalah jajanan colenak.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

16 Juni 2024


BandungBergerak.id – Dengan kesibukanku sebagai karyawan menjadikan aku sedikit lupa dengan urusan pribadiku. Walaupun ya bukan berarti sepenuhnya tidak ingat. Di masa-masa sulit aku pasti ingat rumah juga. Pada Enyak, pada Baba. “Nanti kalau sudah kerja di Bandung cari-cari tanah atau rumah di sana, kalau-kalau Baba datang”. Atau suatu ketika Baba juga bilang “Kalau udah kerja kan elu udah netep di sana,” dan masih banyak lagi kata-kata yang bikin aku sulit lupa.

Namanya pegawai baru, jadwal sudah pasti padat. Pulang ke kos selalu malam, seakan jarang bertemu dengan teman sesama di tempat kos. Ya bagaimana lagi. Aku butuh lembur, uangnya lumayan. Bahkan hampir bisa setara gaji. Cuma bukan berarti tak ada waktuku buat liburan.

Kalau kebetulan hari Sabtu dan tidak ada lembur dan bukan jadwalku ke Jakarta, aku akan membersihkan kamarku. Tidak banyak memang yang dibereskan karena aku tidak punya apa-apa juga di kamar kos yang tidak besar ini. Hanya ada tempat tidur, meja belajar, dan lemari kecil yang sudah tersedia. Tidak jarang juga aku akan ikut nongkrong sesama teman kos.

Ya singkatnya aku belajar mandiri di Bandung ini. Belajar bersih-bersih, belajar bergaul karena aku ini anaknya pemalu.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #34: Tentang Merantau dan Menjadi Dewasa
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #35: Memikirkan ke-Betawi-an dari Luar Kampung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #36: Kesibukan Kerja dan Lembur di Tengah Banyak Pesanan Pesawat

Jalan-jalan di Bandung

Sekali waktu aku diajak keluar berjalan kaki ke tempat keramaian yang tidak jauh dari tempat tinggal kosku. Tinggal di sekitar Pasir Kaliki membuatku tidak mesti jauh-jauh untuk datang ke keramaian kota. Biasanya aku bersama-sama dengan teman kos dan anak ibu kos yang keduanya mahasiswi semester akhir akan pergi jajan.

Sepanjang jalan kami melihat-lihat jajanan yang dijual para pedagang. Di tahun 1982-an, kuliner Bandung tidak sehebat sekarang yang sudah banyak macam ragam dan rasa menyesuaikan selera kekinian. Begitu juga rumah makan tidak sebanyak dan segampang sekarang. Cuma sebagai anak Betawi yang baru keluar kandang tetap saja banyak hal baru buatku.

Misalnya asa jajanan yang aneh pada waktu itu menurutku; yang belum kukenal seperti kebanyakan jajanan. Namanya colenak. Yah katanya sih ini singkatan “kalau dicocol enak”. Dibuatnya dari tape yang makannya diberi saus gula merah.

Kalau sudah jalan-jalan sore, pasti banyak jajan. Dua kakak anak ibu kos yang sering ikut main bersama kami menawarkan apa pun yang ada. Seolah kami anak kos jadi adiknya saja. Ada roti bakar, roti kukus, rebus jagung, bakar jagung, ulen bakar, kue putu, dan lain-lain. Aku sih penasaran dengan si colenak tadi.

Cekap tilu?,” tanya satu kakak anak ibu kos padaku yang sepertinya dia tahu sudah “kabita” dengan si colenak tadi.

Cekap lah, mun kirang mah kadieu deui we caket ieu,” kata kakak yang satunya. Aku diam saja, aku belum begitu ngerti bahasa Sunda.

Biasanya aku tidak diperbolehkan membayar oleh kakak-kakak ini. Tapi aku suka paksa. Mungkin mereka kasihan padaku, padahal aku punya uang juga. Kan aku bekerja. Alhamdulillah juga sih aku ketemu orang baik di perantauan ini.

Setelah membayar kami bawa jajanan ke rumah dan makan bersama di ruang kumpul. Sudah seperti keluarga besar saja rasanya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//