CERITA ORANG BANDUNG #73: Murid Sekolah di Mata Bu Puji
Dua puluh empat tahun Puji Astuti menekuni pendidikan. Berusaha menyelami kehidupan anak didiknya selain memberikan ilmu.
Penulis Mochammad Arya Rizaldi17 Juni 2024
BandungBergerak.id - Bekas air mata masih tampak di wajah Puji Astuti, guru biologi di Sekolah Menengah Atas (SMA) 2 Pasundan, Cihampelas, Kota Bandung. Di ruang kelas yang lengang, perempuan yang sudah 24 tahun mengabdi ini baru selesai melaksankan perpisahan dengan murid-muridnya yang telah lulus.
Pekan tersebut sekolah tempat mengajar Puji memang sedang sibuk menggelar agenda perpisahan murid kelas 12 (kelas 3). Agenda ini berbarengan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024-2024.
Semua guru yang menjadi pembina murid, termasuk Puji, mendapatkan ucapan terima kasih dari murid-muridnya dalam acara perpisahan itu. Puji akan merindukan tegur sapa dari murid-muridnya yang kini akan membuka lembar kehidupan baru, entah kuliah atau kerja.
“Hal yang membanggakan buat saya, dan itu gak berani kan kalau kita ketemu guru, dan menyapa begitu,” ucap Puji, ramah, ketika ditemui BandungBergerak.id, Rabu pagi, 12 Juni 2024.
Puji Astuti mengabdi sebagai guru sejak 1997. Ia menekuni jalur pendidikan sebagai honorer dengan niat mencerdaskan siswa-siswi yang diajarnya. Saat ini ia mengajar Biologi untuk kelas 10 serta 11. Total ada 9 kelas yang dia ajar dari Senin hingga Jumat dalam seminggu.
Sebelum mengajar di sekolah swasta kini, Puji telah melewati perjalanan mengajar yang cukup berliku. Beberapa sekolah telah ia jejaki. Pelajaran yang ia ampu tidak hanya biologi. Selain itu, ia selalu berusaha menggunakan pendekatan yang berbeda di saat memberikan pelajaran.
Antara tahun 2000 hingga 2016, ia menjadi guru honorer di sebuah SMP di Pasteur. Untuk meningkatkan kapasitasnya, ia kemudian melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, waktu dan tenaga harus ia kerahkan dua kali lipat. Karena di samping menuntut ilmu, ia pun harus tetap mengajar pada murid-muridnya.
“Kuliah saya di Jatinangor, gitu. Sampai di sini harus ngajar. Tapi memang karena iya guru honor begitu ya sudah gitu saya terima aja dengan lapang dada gitu. Itu perjuangan di awal,” cerita Puji.
Antara Honor dan Perjuangan
Selama di bangku kuliah dulu, Puji mesti mengajar di dua sekolah. Ia harus menjaga semangat walau berstatus guru honorer yang penghasilannya tentu sangat jauh jika dibandingkan guru PNS atau tetap.
Pada masa itu, ia biasa mengajar di hari dan pergi kuliah pada sore harinya. Honnorium yang didapatkan olehnya hanya sebesar 25 ribu rupiah per 20 jam. Dalam sebulan, ia bisa mendapat honor 500 ribu rupiah. Bahkan sebelumnya, ia pernah mendapatkan honor jauh lebih kecil lagi.
“Gaji saya pertama kali jadi guru itu waktu yang di SMP itu 40 ribu (rupiah),” ucapnya.
Dengan gaji yang tak seberapa, tanggung jawab seorang guru jauh lebih besar. Puji paham bahwa profesi guru adalah pekerjaan yang penuh pengorbanan. Ia pernah menelisik siswa yang bolos sekolah. Siswa tersebut ia dapati mengamen di jalan.
“Mereka ngamen terus saya pulang sekolah ke sana pas saya kesana dia lari anak itu the,” tuturnya.
Puji sempat bertanya alasan siswa tersebut mengamen. Siswa itu menjawab bahwa ia lagi butuh uang untuk membeli susu buat adiknya yang masih bayi.
“Jadi pada saat itulah kemudian saya pikir seorang guru itu enggak bisa diukur dari banyaknya materi yang dikasih dari sekolah atau dari negara. Tapi pada saat kita muncul hal-hal yang menurut kita guru itu cuman ngajar gitu, ya tapi ada hal yang pada saat kita tersentuh hatinya,” kata Puji.
Di samping mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengajar, Puji juga berusaha menggali kesulitan-kesulitan yang dihadapi muridnya dan mencari cara pemecahan masalahnya. Salah satu pemecahan masalah itu dengan mendatangi rumah siswa.
“Siswa yang kira-kira dia butuh sentuhan, saya datang ke rumah rumah terus coaching-lah. Saya ngobrol gimana kabar, dibantu,” tuturnya.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #72: Irama Peluit Aji
CERITA ORANG BANDUNG #71 : Kisah Penjual Urap Jagung dari Cililin
CERITA ORANG BANDUNG #70: Sisi Lain Juru Parkir dari Sosok Dudi Lesmana
Realitas Guru Honorer Zaman Now
Ahmad Masruri, mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menulis kajian ilmiah berjudul Realitas Guru Honorer Zaman Now yang menyoroti permasalahan yang dihadapi para guru honorer. Tenaga pendidik honorer atau yang lebih sering disebut guru honorer adalah guru yang diangkat secara resmi oleh pejabat yang berwenang untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, namun belum berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Guru honorer di sekolah negeri yang memiliki permasalahan cukup kompleks. Honor yang didapat guru honorer di Sekolah Dasar Negeri rata-rata di bawah 5000,00 per jam per bulan. Selain itu, guru honorer juga inferior di antara orang dan juga guru yang sudah berstatus PNS. Pemberhentian tanpa pesangon juga dapat terjadi karena nasib guru honorer tergantung pada kebijaksanaan kepala sekolah.
Ahmad mencatat, di Indonesia masih ada sekitar 500.000 guru SD honorer di Indonesia yang sudah memiliki masa kerja lebih dari sepuluh tahun di sekolah negeri namun belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Tahun 2015, guru SD berstatus PNS ada 1,4 juta, sedangkan guru honorernya sekitar 500.000 orang.
“Selain pengangkatan guru honorer menjadi PNS, permasalahan ekonomi guru honorer juga belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah karena penghasilan guru honorer hingga kini belum sesuai dengan beban kerja guru di sekolah,” tulis Ahmad.
Kewajiban guru honorer tidak berbeda dengan guru PNS, akan tetapi penghasilan yang didapat sangat jauh berbeda. Persatuan Guru Republik Indonesia mencatat, rata-rata gaji guru honorer hanya berada di kisaran 200 ribu rupiah per bulan.
“Pemberian honorarium yang rendah itu tentunya berimbas pada kualitas pengajaran yang diberikan kepada siswa di sekolah. Sebab, di luar jam mengajar, tak sedikit guru honorer bekerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup,” tulis Ahmad.
Profesionalitas kinerja guru yang mandek itu pada akhirnya mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal itu bisa terlihat berdasarkan laporan peringkat pendidikan dunia yang diterbitkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Organisasi yang mengukur kualitas pendidikan negara-negara di dunia itu menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 76 negara yang disurvei.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Singapura yang menempati peringkat paling atas. Kemudian yang paling mengejutkan Indonesia tersalip oleh Vietnam yang berada di urutan 12. Lalu disusul Thailand di posisi 47. Terakhir oleh Malayasia di peringkat 52.
“Walau begitu, kualitas pendidikan nasional yang masih rendah bukan semata karena masalah honor yang diterima tenaga pendidik. Faktor lainnya yang juga mempengaruhi kualitas pendidikan kita juga ada pada kompetensi guru itu sendiri,” kata Ahmad.
*Kawan-kawan yang baik bisa menyimak tulisan-tulisan dari Mochammad Arya Rizaldi, atau mengenai Cerita Orang Bandung