• Kolom
  • PAYUNG HITAM #32: Berkenalan dengan Konsep Keadilan Transisi, Dapatkah Menjadi Solusi?

PAYUNG HITAM #32: Berkenalan dengan Konsep Keadilan Transisi, Dapatkah Menjadi Solusi?

Kerangka keadilan transisi adalah serangkaian mekanisme pemulihan untuk korban di tingkat individu dan lebih luas di tingkat negara pada kasus pelanggaran HAM berat.

Fayyad

Pegiat Aksi Kamisan Bandung

Hak Asasi Manusia bukanlah jargon, demikian pesan yang selalu digaungkan di Aksi Kamisan Bandung, 19 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Juni 2024


BandungBergerak.id – Ribuan bahkan mungkin jutaan kekerasan dan kejahatan telah terjadi dan menimpa manusia yang tertindas secara terstruktur, masif, meluas, dan beberapa masih berlanjut hingga kini. Salah satunya adalah genosida yang terjadi di Palestina. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Siapa yang seharusnya dituntut untuk bertanggung jawab? Apakah dan bagaimana kita dapat menghentikan hal ini agar tidak terjadi lagi? Hal memungkinkan apa yang dapat kita lakukan? Ketika konflik dan kediktatoran berakhir, terdapat banyak prioritas. Tempat berlindung, makanan, pendidikan. 

Memasuki pemaknaan dari keadilan transisi adalah segala upaya yang dilakukan untuk merespons pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) atau kejahatan massal ketika proses peradilan dirasa jauh dari kata cukup. Hal ini berarti juga adanya serangkaian mekanisme pemulihan bagi korban pada tingkat individu dan lebih luasnya di tingkat negara, bahwa negara dan tentunya kita sebagai manusia tidak melupakan dan mengakui luka yang mendalam atas berbagai kekerasan dan kejahatan yang menimpa, baik itu yang menyasar individu maupun komunitas.

Hingga kini, negara (Pemerintah Republik Indonesia) hanya mengakui 12 peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya: (1) Peristiwa 1965-1966; (2) Penembakan Misterius 1982-1985; (3) Peristiwa Talangsari Lampung 1989; (4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998; (5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; (6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; (7) Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999; (8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; (9) Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999; (10) Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; (11) Peristiwa Wamena Papua 2003; dan (12) Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003. Sementara berbagai peristiwa lainnya belum terkategori sebagai pelanggaran berat HAM.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #29: Babak Baru Dago Elos
PAYUNG HITAM #30: Brutum Amor Fati
PAYUNG HITAM #31: Kota ini Mau Juara?

Kerangka Keadilan Transisi

Adapun yang disebut sebagai kerangka keadilan transisi adalah suatu mekanisme atau alat yang membantu kita dalam mengingat beberapa pendekatan yang memungkinkan untuk kita pergunakan dalam mengatasi sejarah kelam pelanggaran berat HAM dan kejahatan massal. Kerangka yang biasanya digunakan terdiri atas empat bagian. Adapun empat bagian tersebut sebagai berikut.

Pertama adalah pengungkapan kebenaran. Sering kali setelah sebuah konflik terjadi, tidak banyak orang yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di seluruh negeri. Maka, kita perlu mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, dan bagaimana kita dapat menemukan kebenaran sesuai dengan fakta yang sebenarnya? Dalam pengungkapan kebenaran terbagi menjadi dua mekanisme yakni secara formal yang diakomodir melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, komisi penyelidikan, penyelidikan yang dilakukan oleh komisi nasional HAM, tim pencari fakta, dan pendirian suatu institusi ataupun inisiatif lainya yang dibentuk oleh pemerintah sebagai pertanggung jawaban pemegang kewajiban atas HAM yang diperuntukkan dalam mencari kebenaran. Serta mekanisme secara tidak resmi yakni serangkaian upaya pencarian kebenaran termasuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil non-pemerintah. Kegiatan lainnya bisa berupa pendokumentasian, wawancara dengan korban atau keluarga korban, termasuk kerja yang dilakukan oleh asosiasi korban, ahli sejarah, hingga media.

Bagian kedua adalah menuntut siapa saja yang bertanggung jawab. Menuntut mereka para aktor-aktor yang paling bertanggung jawab dengan menyeret mereka ke meja pengadilan untuk diadili seadil-adilnya. Cara-cara yang dapat ditempuh dalam upaya penuntutan terhadap pelanggaran berat HAM dan kejahatan massal ini dapat melalui pengadilan internasional, pengadilan nasional, dan pengadilan hybrid atau campuran. Jika secara formal tidak juga bisa ditempuh, maka pengadilan/mahkamah rakyat (peoples tribunal) bisa menjadi upaya tekanan sosial dari masyarakat sipil demi menuntut pertanggung jawaban negara seperti yang pernah dilakukan oleh International People's Tribunal 65, Pengadilan Rakyat Dago Elos, dan Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini.

Bagian ketiga adalah reparasi, mengingat terdapat banyak jumlah korban. Kita harus melakukan apa pun yang bisa dilakukan demi memperbaiki kehidupan para korban dan keluarganya, serta secara bersama-sama agar bisa berdaya dalam menumbuhkan kekuatan positif untuk akuntabilitas dan menuju masa depan yang lebih baik. Hal-hal yang dapat kita lakukan termasuk membantu mendampingi dan mengadvokasi para korban dengan mengakomodir apa yang menjadi keinginan mereka. Kebanyakan dari mereka menginginkan keadilan, pengakuan atas penderitaan mereka, sekolah gratis bagi anak-anak mereka, pembangunan monumen, bantuan keuangan. Sudah sepantasnya pemerintah menyiapkan sejumlah uang untuk program reparasi kepada para korban dan keluarganya yang memberikan manfaat tertentu agar kembali berdaya.

Elemen keempat adalah jaminan ketidakberulangan dan reformasi institusi. Beberapa sektor atau institusi yang perlu direformasi mencakup militer, polisi, pengadilan, media, dan institusi lainnya yang selama ini banyak menjadi mesin penggerak pelanggaran berat HAM dan kejahatan massal. Titik beratnya akan berbeda tergantung pada konteksnya, sifat respons kita akan berbeda, dan urutannya akan berbeda, tetapi harus menyeluruh. Kita mungkin perlu bekerja untuk memperkuat aturan hukum yang jelas keberpihakannya terhadap rakyat –meskipun beberapa lebih sepakat bahwa hukum harus netral, kemudian memperkuat kapasitas pengadilan agar lebih independen, memperkuat sistem dalam berbagai sektor yang lebih setara dan berkeadilan. Sehingga seiring berjalannya waktu mampu menghormati, melindungi, serta memenuhi hak-hak setiap manusia dan tentu sanggup mengadili mereka yang paling bertanggung jawab serta menjamin ketidakberulangan di masa mendatang.

Konsep keadilan transisi seharusnya bisa menjadi langkah kongkret dalam penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di mana pun. Namun pada kenyataannya, penerapan konsep keadilan transisi tidak benar-benar dijalankan oleh negara/pemerintah yang mana seharusnya dia menjadi pemegang tanggung jawab atas hal ini. Yang terjadi adalah sikap culas yang ditunjukkan oleh pemerintah. Justru yang berhasil menerapkan berapa mekanisme dalam keadilan transisi adalah masyarakat itu sendiri.

Secara bersama-sama trauma individu maupun kolektif mulai pulih, meskipun tidak akan pernah lupa atas berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Maka, sangat perlu kiranya membangun persatuan dan kekuatan warga tertindas dalam isu apa pun sehingga kita bisa berdaya dalam menghadapi segala bentuk potensi pelanggaran HAM dan kejahatan massal yang terstruktur, masif, meluas, dan berkelanjutan yang akan menimpa kita.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//