• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #38: Dari Masyarakat Homogen ke Masyarakat Heterogen

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #38: Dari Masyarakat Homogen ke Masyarakat Heterogen

Ketika merantau aku harus mengenal orang lain tidak hanya dari suku dan etnisnya, tetapi juga agama hingga kelas sosial dan bergaul dengan mereka.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

PT Dirgantara Indonesia, dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). (Foto: Ahmad Fikri/BandungBergerak.id)*

23 Juni 2024


BandungBergerak.id – Satu hal lagi yang aku pelajari pada pergi dari kampung halaman adalah memahami banyak karakter dan budaya dari luar. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jakarta memang aku familier dengan ragam penduduk dari wilayah Indonesia lain yang merantau ke sini. Tetapi bisa dibilang lingkup hidup dekatku tetaplah orang Betawi dengan segala ke-khas-an dan tradisinya. Itulah mengapa meski hidup berdampingan dengan masyarakat dari suku lainnya, aku pikir diriku dalam masyarakat Betawi tetaplah menjadi pribadi yang hidup dalam satu nilai masyarakat saja.

Ini tentu berbeda ketika aku merantau. Aku jadi harus mengenal orang lain tidak hanya dari suku dan etnisnya tetapi juga agama hingga kelas sosial dan bergaul dengan mereka.

Pengalamanku ini justru mengingatkanku pada masa belajar di sekolah dulu yang bilang bahwa manusia adalah makhluk sosial. Di agama pun bilang begitu. Allah menciptakan manusia dengan berbagai latar belakang untuk saling kenal mengenal di antara kita dari macam-macam suku, bangsa, dan agama, untuk saling tolong menolong, dan saling menghormati. Rupanya setelah aku melangkah, kini aku baru merasakan semua. Rasanya tanpa aku melangkah ke luar kampungku aku tidak akan sampai pada apa yang aku rasakan sekarang.

Misalnya waktu aku di Bandung dulu, teman dekatku waktu itu berasal dari berbagai kalangan. Zamanku dulu lulusan sarjana itu masih langka, enggak sebanyak sekarang. Selain sarjana banyak juga yang pendidikannya sederajat denganku. Aku bangga banyak teman di perantauan. Terasa diaku hidup ini.

Waktu itu kami tidak begitu peduli dari keluarga seperti apa kami-kami ini. Yang kami tahu ya kami semua cari hidup di Bandung. Karyawan yang nasibnya sama.

Seperti aku bilang berulang kali, banyak pelajaran hidup yang aku ambil sebagai pedoman hidup. Makanya tak heran kalau pengalamanku ini jadi acuanku menentukan sifat karakter seseorang. Seingatku, pada waktu aku remaja dulu aku berteman saling kenal selalu secara kebetulan. Ada yang awalnya saling menyapa, dan ada pula yang tiba-tiba menanyakan tempat asal. Dalam obrolan aku tidak banyak membenarkan dan menyalahkan. Dengarkan saja, dan pada obrolan itulah, kami saling mempelajari.

Dalam bergaul sebisa mungkin aku tidak menyusahkan orang. Belum tentu bisa balas, soalnya. Selalu lah merasa cukup dan jangan banyak mengeluh. Jangan pula mendominasi dalam obrolan. Rasanya ini yang buatku selama di perantauan jadi punya banyak saudara baru. Entah aku pun tak tahu. Hidup terasa bersahaja saja padahal. Apakah karena aku ada di lingkungan terpelajar? Dan kebetulan keluarga ibu kosku orang baik? Jadi sudah saling mengerti dengan sendirinya. Aku pun tak tahu.

Memang seingatku, tidak ada teman yang kukenal yang menyombongkan diri padaku. Baik dari ucapannya, maupun perilakunya, tidak ada rasa untuk berlomba dalam kehidupan sesama teman. Ingin lebih disayang, dikenal, atau lebih diperhatikan dari yang lain, atau ingin dibilang paling pintar, paling alim, paling kaya, paling berada. Rasanya semua itu tidak terlintas di benak kami masing-masing. Tidak ada cari keuntungan dalam pergaulan. Yang ada hanya persahabatan, ada Betawi seperti aku ini, ada orang Sunda, ada orang Jawa, Padang, Medan.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #35: Memikirkan ke-Betawi-an dari Luar Kampung
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #36: Kesibukan Kerja dan Lembur di Tengah Banyak Pesanan Pesawat
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #37: Mengisi Hari Libur di Sela Kesibukan Kerja

Tidak Pernah Dilongok

Kosku sebetulnya tidak pernah sepi. Ada saja perbincangan antara kami. Kalau sedang di kamar masing-masing pun terdengar suara musik sayup-sayup menemani mereka yang sedang belajar di setiap kamar. Cuma tetap saja kalau lagi begini hati suka terasa sepi juga. Terlintas di pikiranku, sepertinya keluargaku tak akan ada yang bisa datang ke Bandung untuk melihatku. Aku punya saudara semua perempuan, yang tak pernah pergi ke mana-mana hingga dewasa, tidak seperti kebanyakan orang. Jadi aku maklum. Lagi pula semua orang nasibnya tidak sama, meski ya aku ada juga mau dilongok oleh keluarga seperti teman kos yang lain.

Tapi ya mau bagaimana, toh sudah banyak teman yang menemaniku. Begitulah cara Allah menghiburku. Semoga saja saudaraku yang ada di Jakarta pada sehat, terutama Enyak. Dan aku pun yang di perantauan juga sehat agar aku bisa tetap bekerja.

Eh tapi siapa sangka. Alhamdulillah, ternyata apa yang menjadi harapanku terjadi. Aku tak menduga di antara saudaraku ada juga yang datang ke Bandung. Ke tempat kosku. Dia adalah abang iparku. Bahkan tanpa memberi tahu terlebih dahulu, tiba-tiba abang iparku datang, di saat aku sedang tidur-tiduran di kamar siang hari. Aku jujur saja merasa terharu bahagia bercampur sedih. Kakak iparku memang sangat perhatian denganku, dari sejak aku masih sekolah dulu. Selagi aku masih duduk di STM Penerbangan dialah yang selalu menggantikan Baba untuk mengurus pendidikanku. Ada saja jalan Allah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//