• Opini
  • Krisis dan Ketidakadilan Sosial

Krisis dan Ketidakadilan Sosial

Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dan bagaimana mempertahankannya secara utuh merupakan wujud dari keadilan sosial hari ini.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Seorang anak membawa lambang negara Garuda Pancasila dalam perayaan hari lahir Pancasila yang diselenggarakan Karang Taruna Liogenteng Bandung (1/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 Juni 2024


BandungBergerak.id – “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah sila kelima dari Pancasila, yaitu falsafah dan pedoman hidup masyarakat yang diimplementasikan oleh segenap bangsa Indonesia. Sila tersebut faktanya tidak berdiri sendiri, namun ditopang oleh sila yang lainnya, di antaranya: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, “Persatuan Indonesia”, dan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Kelima dasar ini adalah jiwa yang mesti hidup dalam sanubari, terwujud dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan kehidupan bernegara di Indonesia. Ia merupakan sumber nilai moral, etika, kebijaksanaan, yang hendak diwujudkan sekaligus tujuan negara Indonesia dibentuk. Moral diamalkan menjadi norma tindakan dan kebijaksanaan, serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, untuk mengatur kehidupan negara, dan menjamin hak-hak dan kedudukan warga negara (Nugroho, 2010).

Semangat dalam mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang disampaikan dalam nilai-nilai Pancasila, pandangan hidup bangsa Indonesia, sejatinya adalah perwujudan dari keinginan semua orang akan kehidupan yang adil dan sejahtera. Kendati Pancasila adalah simbol –Pancasila dikenal sebagai ideologi dan dasar negara– yang dibentuk dan digunakan di Indonesia, secara hakikat nilai-nilainya ditujukan untuk kehidupan umat manusia seluruhnya terlepas dari latar belakang apa pun.

Nilai-nilai Pancasila akan keadilan sosial dan hak asasi manusia juga dapat ditemukan dalam The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) (1948). Dalam dokumen yang diresmikan dan dideklarasikan pada 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-bangsa di Paris tersebut, UDHR menetapkan 30 poin standar umum atas hak paling fundamental manusia yang mesti dilindungi dan dihormati. Secara garis besar, nilai-nilai UDHR tersebut mencakup nilai kehidupan, kesetaraan, kebebasan (merdeka), keamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan lain sebagainya.

Setelah melihat sekilas soal prinsip keadilan sosial versi Pancasila dan UDHR tersebut, muncullah dalam benak pikiran akan perwujudan keadilan sosial dan HAM dalam kehidupan. Sudut pandang modern bahkan melihat bahwa pemenuhan HAM dan bagaimana mempertahankannya secara utuh merupakan wujud dari keadilan sosial hari ini. Protection and enforcement of fundamental human rights are at the core of these twenty-first century calls for social justice (Grant & Gibson, 2013). Akan tetapi, upaya mewujudkan keadilan sosial tersebut tidak serta merta berjalan mulus, sehingga penegakan hak asasi manusia pun mengalami turbulensi dan dinamika yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam skala tertentu, kondisi turbulensi dan dinamika sosial yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia, dapat menjadi pemicu dari lahirnya krisis sosial berkepanjangan. Krisis ini akan menjadi pemicu tersendatnya keadilan sosial di masyarakat dan mendorong terabaikannya HAM.

Baca Juga: Partisipasi dan Referensi Politik, dari Ketakutan hingga Status Sosial
Pascapemilu 2024, dari Pencitraan Berbasis AI hingga Sengitnya Parlemen
Menjaga Etika Generasi Muda Menuju Indonesia Tidak Cemas 2045

Krisis Sosial

Dunia memasuki era di mana pertumbuhan begitu menyilaukan, namun tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Dunia saat ini sudah ditempati setidaknya oleh 8,3 milyar manusia, dan sebagian dari mereka berjuang untuk hidup, sebagiannya lagi berjuang untuk mempermanis hidup. Namun, pada saat yang gemilang dari peradaban manusia hari ini, krisis sosial tengah mengintai dan siap menerkam siapa pun. Tahun 2024, pasca wabah Covid-19 melanda dan menelan juta nyawa di seluruh dunia, alih-alih manusia bisa rehat sejenak untuk menyaksikan krisis era modern pasca depresi ekonomi besar di tahun 2008, ternyata di tahun 2023 justru krisis geopolitik muncul dan menjadi awal bagi kekhawatiran baru. Krisis Ukraina-Rusia hingga Israel-Palestina, semuanya hanyalah sebagian kecil dari tanda akan kerapuhan manusia dalam menghadapi situasi konflik yang multidimensi ini. Meski begitu, ternyata dampak gejolak di suatu tempat yang jauh di belahan bumi yang lain dapat dirasakan di belahan bumi yang lain, bahkan mungkin tidak ada keterkaitannya sama sekali.

Tentu saja, krisis multidimensional ini akan memiliki efek domino hingga cukup sulit untuk menemukan titik damai. Semakin banyaknya manusia di dunia hari ini, dengan beragam kepentingannya, tentunya akan semakin besar pula konflik kepentingan di dalamnya. Hanya saja, bila kita melihat dari skala negara, dampak dari krisis semacam ini akan punya intensitas dan fatalitas yang berbeda di negara yang cukup mapan dalam memitigasi setiap konflik dan krisis ketimbang negara di fase berkembang apalagi terbelakang. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa berjudul “The Global Social Crisis: Report on the World Social Situation” (2011), disebutkan bahwa the increased levels of poverty, hunger and unemployment due to the global crisis will continue to affect billions of people in many developed and developing countries for years to come.

Dalam beberapa kasus, terkadang keberadaan jaring-jaring pengaman sosial pun kerap kali terkoreksi bahkan diabaikan. Lebih jauh, negara mengabaikan jaringan pengaman sosial sebagai suatu langkah kebijaksanaan negara dalam upaya menggaet setiap kesempatan pertumbuhan. Semua itu jelas akan mendorong sisi gelap manusia dalam rangka “survival of the fittest”.

Tidak usah menyalahkan ketika kemudian orang-orang akan sedikit “liar”, karena itu semua adalah upaya dalam mempertahankan gennya, hidupnya, dari kepunahan atau mati dengan kekonyolan. Bahkan, negara maju sekalipun tidak luput dari persoalan ini. Bagaimana dengan jaring pengaman sosial di negara berkembang? Jawabannya, tentu saja akan butuh lebih banyak usaha untuk menjaga stabilitas negara di tengah-tengah gelombang krisis dengan kondisi jaring pengaman sosial yang lebih lemah dan terbatas. The devastating impact of the crisis on so many people underscores the dynamic and multidimensional nature of poverty and the critical importance of social protection for reducing vulnerability (United Nations, 2011).

Ketika krisis-krisis itu datang menghampiri negara yang kurang cakap dalam manajemen konflik dan lemahnya jaring pengaman sosial yang ada, maka menghela nafas saja tidak akan pernah cukup untuk menghadapi dampak buruk berkelanjutan yang siap membayangi masyarakat dan negara tersebut. Tengok saja, bagaimana Venezuela hari ini sedang berusaha untuk selamat dari krisis yang terjadi.

Keadaan semacam ini tentunya akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi terwujudnya keadilan sosial, apalagi dengan mengharapkan terpenuhinya janji negara dalam memenuhi tuntutan atas pemenuhan hak asasi manusia. Pada momen ini, keadilan bukan lagi sebuah hadiah, namun menjadi perjuangan, bila perlu mengabaikan dan meniadakan kesadaran kita terhadap keberadaan hak asasi orang lain.

Kita mungkin akan kembali kepada setelan pabrik dari gen kita, naluriah untuk bertahan hidup, mengabaikan sisi kemanusiaan kita dan menghapus semua bentuk penghormatan atas perspektif dan sudut pandang apa pun, selama itu bisa dapat melindungi sumber daya dan identitasnya. Justice, then, is not simply the redistribution of material resources but also the recognition and acceptance of diverse perspectives and experiences (Grant & Gibson, 2013). Ketika kita mengabaikan sikap dan kesadaran kita akan keberadaan hak asasi orang lain, demi terpenuhinya hak kita, maka pintu ketidakadilan akan terbuka lebar yang akan membuka semua potensi konflik di dalamnya.

Secara teoritis, banyak sekali variabel yang mendorong ketidakadilan itu terjadi. Misalnya, John Rawls (1971) dengan theory of distributive justice, menyebutkan: “in which injustice is rooted in macro-level, political/economic structures that cause exploitation and material deprivation and prevent self-actualization.” Adapun menurut Nancy Fraser's (2003) melihat masalah ketidakadilan secara dualisme, yaitu: “dualism of the politics of redistribution and the politics of recognition. In this theory, Fraser acknowledges that injustice can stem not just from one's unfair exclusion from the macro-level political and economic order but also from the denial of one's lived experience, identity, and culture.” Akar tunjang dari semua kerawanan sosial ini adalah politik pembangunan yang terlalu menekankan kemajuan fisik dengan mengabaikan kemajuan jiwa (Latif, 2018).

Semua ini mempertegas bahwasanya dimensi manusia sebagai subjek yang menerima ketidakadilan ini perlu diperhatikan secara komprehensif akan kebutuhan yang diperlukan dan segala penunjangnya. Hampir semua konsep tentang akar ketidakadilan ini, terlepas dari mekanisme ekonomi raksasa, sistem politik rumit, atau lainnya, akan bermuara pada manusia yang di mana bentuk eksistensinya tidak dipenuhi, diabaikan, bahkan dihilangkan. Sebagai makhluk hidup yang berkesadaran, upaya alienasi dan dikorbankan untuk sesuatu yang tidak ia kehendaki, disadari sebagai langkah nyata ketidakadilan yang mau tidak mau diterima.

Ketidakadilan yang diterima seseorang akan memicu dirinya untuk mencari alternatif keadilan yang bisa didapatkan. Negara dan pemangku kebijakan mungkin bisa sedikit tenang, bila para pencari keadilan ini dilakukan dengan santai dan damai serta melalui prosedur yang telah ditentukan dalam norma, etika, dan moral. Tetapi, akan menjadi masalah apabila para pengais keadilan dilakukan dengan cara-cara yang berkebalikan dari kaidah-kaidah umum yang “dibenarkan”. Pada saat inilah, krisis akan terjadi dan bila tidak segera tertangani, maka hanya tinggal menunggu waktu ekskalasinya membesar dan meledak menciptakan konflik berkepanjangan. Tengoklah bagaimana konflik Israel-Palestina berekskalasi menjadi konflik multidimensi yang terjadi tidak hanya di lingkup negara berkonflik tersebut, juga masyarakat dunia di tempatnya masing-masing.

Secara teoretis, sebagaimana Latif (2018) kutip dari “teori patologi sosial”, sebab pokok masalah sosial adalah kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas. Adapun “teori disorganisasi sosial” menilai masalah sosial terjadi karena kemacetan sistem peraturan. Menurut teori “penyimpangan perilaku”, masalah sosial terjadi karena kegagalan institusi keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu memilih proses sosialisasi yang menyimpang. Dalam konteks pertentangan kelas, konflik kelas dipicu sistem dominasi sosial yang melanggengkan ketidakadilan. Teori-teori yang disebutkan tersebut menilai bahwa akar krisis dan konflik memiliki banyak variabel, namun kita bisa tarik ke dalam persoalan ketidakadilan sebagai akar dari konflik-konflik tersebut. Sebut saja soal kegagalan institusi keluarga yang mendorong seseorang mencari tokoh teladan lain di luar primary group atau kegagalan sosialisasi norma-rnoma yang mana ini berkaitan dengan pendidikan, hak untuk mendapatkan edukasi yang mumpuni, juga tidak terpenuhi akibat ketidakadilan atas hak mendapatkan pendidikan yang mestinya diterima. Padahal, pendidikan harus menumbuhkan kompetensi warga untuk mengembangkan tugas kewargaan (civic duty), memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukarela (Latif, 2018).

Dengan begitu, ketidakadilan akan mewujud menjadi krisis sosial. Ketika krisis sosial itu muncul dan seluruh perhatian (negara) menjadi terbagi dan tidak terfokus, maka tidak mengherankan bila upaya pemenuhan HAM menjadi tersendat. Bila negara pun abai terhadap hal ini, maka potensi masyarakat untuk melakukan hal serupa pun semakin besar karena para pencari alternatif keadilan ini pun memerlukan poin tersebut dalam rangka melanjutkan hidup. Satu-satunya kunci untuk menghindari krisis dan konflik yang terjadi adalah mewujudkan keadilan sosial.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Ketika berbicara ketidakadilan, hal pertama yang mesti diingat adalah ketika semua orang mendapatkan bagiannya, sumber daya yang mampu diterima secara fair dalam kehidupan manusia sebagai makhluk ekonomi. Itulah mengapa, ganjalan besar bagi persoalan keadilan, salah satunya, ialah soal distribusi. Bahkan, beberapa teori menyebutkan bahwa ketidakadilan dan krisis yang tercipta disebabkan karena distribusi yang tidak sehat, pengucilan dan pengasingan manusia terhadap akses-akses yang semestinya menjadi bagian dari hak asasi yang ia miliki maupun yang ia dapatkan sebagai warga negara. Hal ini pun akan bertautan dengan kemerdekaan seseorang dalam suatu komunitas masyarakat maupun negara. Misalnya, soal pembagian kerja dan manfaat yang akan diterima perlu dikalkulasikan secara rasional dan masuk akal, selain memenuhi hak hidupnya juga mempererat relasi sosial secara koordinatif. Agar pembagian kerja dapat berfungsi sebagai moral dan secara sosial menjadi kekuatan pemersatu dalam masyarakat modern, maka anomi; pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi yang kurang sempurna dari spesialisasi kerja menjadi ditangani sedemikian rupa (Ritzer & Goodman, 2008).

Kemerdekaan dalam menerima dan memanfaatkan segala potensi diri juga sumber daya yang ada adalah cerminan dari adanya keadilan sosial yang dielu-elukan. Pemaknaan akan keadilan sosial semacam ini terus berusaha dipertahankan sebagai utang-piutang dengan negara sebagai pengutang yang dipatenkan secara konstitusional dan masyarakat sebagai kreditur berhak untuk menarik deposito keadilan sosialnya dari negara, bila perlu beserta agunannya seperti yang tercermin dalam berbagai kebijakan dan distribusi sumber daya yang berkeadilan dan merata.

Bagaimana pun, sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah melalui periode kelam ketidakadilan yang dilakukan secara terang-terangan dan sistematis di era kolonial. Gerakan memerdekakan diri dari kolonialisme dan imperialisme itu tentunya bukan sekadar membawa amarah terhadap asing yang bercokol di bumi nusantara atau sekadar menyuarakan aksi-aksi merdeka dan nasionalisme semata, tetapi juga membawa harapan akan kehidupan di mana masyarakat dipandang sebagaimana manusia yang mendapatkan haknya atas hidup dan kehidupan yang ia tanggung. Negara Indonesia menjamin hal itu akan terwujud setelah kemerdekaan ini benar-benar diraih secara utuh. Berselang 79 tahun kemerdekaan hingga seterusnya, keadilan sosial tersebut berhak ditagih dari negara sebagai penjamin. Inilah wujud dari kemajuan dan kecanggihan berpikir manusia setelah mengalami periode pembangunan peradaban Sapiens selama 5000 tahun lamanya. Maka, tugas masyarakat maju adalah menciptakan keadilan. Sedangkan tugas masyarakat yang lebih rendah adalah menciptakan atau mempertahankan semangat hidup bersama sebisa mungkin, di mana individu terserap ke dalamnya, maka cita-cita kita dalam masyarakat modern adalah menciptakan relasi sosial yang seadil-adilnya, dan memastikan kekuatan-kekuatan yang bermanfaat secara sosial dapat berkembang secara bebas (Ritzer & Goodman, 2008).

Kemajuan masyarakat kita pun mencerminkan bahwa demokrasi berjalan dengan baik dan itu bagus untuk meningkatkan persentase terwujudnya keadilan sosial. Ketika sila kelima Pancasila ini disahkan sebagai dasar negara yang didudukkan secara terhormat dalam konstitusi negara bagian pembukaan, satu hal yang perlu dipastikan adalah bagaimana ia bisa hidup untuk tetap tegas menekan negara dalam menjamin keberadaannya.

Kita melihat banyak hal di negara ini, langsung maupun tidak langsung, melalui pengalaman hidup maupun media massa, tentang banyaknya masalah yang kemudian memaksa kita mengulik dan menggali lebih dalam siapa pelaku dan korban di setiap momen kriminalitas dan kejahatan di negeri ini. Rasanya, warga net selalu saja memiliki waktu untuk menjadi seorang intel demi memuaskan hasratnya menghardik dan menggembosi segala bentuk ketidakadilan yang banyak diterima banyak orang –kebetulan terekspos di media sosial maya. Semua ini mengilustrasikan bahwa telah lama masyarakat rentan, baik secara sosial maupun ekonomi, menerima segala bentuk ketidakadilan, memaksa mereka untuk mencari keadilannya sendiri dengan segala keterbatasannya dan membuatnya bisa bernapas sebagai seorang pahlawan. Hal yang ditakutkan adalah justru inilah tanda ketidakadilan benar-benar hidup di masyarakat Indonesia, terasingkan dari apa yang seharusnya diterima, namun tidak mampu berbuat banyak. Penumpukan emosi atas ketidakadilan ini akan mewujud menjadi kekerasan, bahkan membentuk ketidakadilan lain yang akan menjadi siklus tidak berujung.

Pertobatan pemerintah dan sesegera mungkin untuk menyelesaikan distribusi keadilan sosial harus diwujudkan. Kecenderungan masyarakat hari ini yang dinilai cukup pasif, begitu juga mahasiswa, hanya menunggu kapan kemarahan ini akan benar-benar terekpresikan dengan leluasa. Mungkin, 2024 bukanlah waktunya, namun bisa saja lebih cepat atau lambat. Namun, keinginan untuk memperbaiki hidup dan menyelamatkan kehidupan yang ditanggung manusia-manusia Indonesia bisa mempercepat kemungkinan terburuk dari adanya ketidakadilan sosial. Saat ini, media sosial menjadi tempat keluh kesah efektif bagi kemarahan publik segala ketidakadilan dan kebijakan yang pernah memuaskan warga negara Indonesia, seperti perilaku pejabat atau anggota keluarga pejabat yang tidak bermoral, kasus Bea Cukai, politisasi hukum, oknum-oknum di instansi negara, penegakan hukum yang tidak berintegritas, pembatasan ekspresi HAM yang sejatinya dijamin negara, dan lainnya. Penghujung rezim saat ini, justru malah meningkatkan tensi itu dan mewariskan beban kemarahan masyarakat kepada suksesinya, presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. Dengan demikian, keadilan sosial harus ditegakkan, dan berharap “Indonesia Emas 2045” tidak menjadi “cemas” atau “lemas”.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Sidik Permana, atau tulisan-tulisan lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//