• Indonesia
  • Mengkhawatirkan Meningkatkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Revisi RUU Polri

Mengkhawatirkan Meningkatkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Revisi RUU Polri

Kekerasan yang dilakukan anggota Polri selama ini banyak menjadi sorotan publik. RUU Polri akan meningkatkan kewenangan berlebihan.

Polrestabes Bandung dan Pemkot Bandung meresmikan program Polisi RW di Balai Kota Bandung, Kamis (11/5/2023).

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah24 Juni 2024


BandungBergerak.idKoalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyoroti Rancangan Undang Undang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) sebagai usul inisiatif DPR. RUU ini dinilai akan menjadikan kepolisian memiliki kewenangan ekstra.

“Berdasarkan rancangan (draft) yang kami terima, RUU Polri pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan ugal-ugalan (excessive) kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi “superbody”,” demikian pernyataan resmi Koalisi Masyarakat Sipil, diakses Senin, 24 Juni 2024.

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari AJAR (Asia Justice and Rights), AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen), Amnesty Internasional Indonesia, ELSAM, HRWG (Human Rights Working Group), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), IJRS (Indonesia Judicial Research Society), IM57+ Institute, Imparsial, KontraS, Kurawal Foundation, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), PBHI Nasional, PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), SAFEnet, Themis Indonesia, TII (Transparansi Internasional Indonesia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

Koalisi juga menilai, kepolisian selama ini mengalami kegagalan dalam mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap publik. Dari catatan KontraS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) sepanjang rentang tahun 2020-2024, kepolisian menjadi aktor pemegang kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penyalahgunaan kekuasaan, maladminstasi, hingga praktik-praktik korupsi.

“Sepanjang Juli 2020- Juni 2021 setidaknya terdapat 651 kasus. Juli 2021 - Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 - Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian,” jelasnya.

Pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian di antaranya adalah penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembubara paksa, salah tangkap, hingga penembakan gas air mata. Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan, dalam catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI di tahun 2023, lembaga negara ini menjempati peringkat terbanyak aduan kasus pelanggaran HAM. 

“Kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753. Peringkat ini menunjukkan “konsistensi” Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya,” beber Koalisi.

Dengan menumpuknya data serta deretan temuan itu menjadikan lembaga negara ini memiliki masalah besar. Koalisi menyatakan, RUU Polri seharusnya digagas untuk menyelesaikan permasalahan fundamental di tubuh kepolisian. Akan tetapi, RUU Polri memiliki subtansi yang tak memperkuat agenda HAM dan melannggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum. 

“Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan,” lanjut Koalisi.

Koalisi Masyarakat Sipil menemukan kewenangan tambahan di luar tugas kepolisian yang disisipkan dalam draft RUU Polri seharusnya menjadi alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.

Baca Juga: Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Kaum Marginal di Jawa Barat Belum Prioritas
Pemerintah Belum Serius Memenuhi Hak-hak Perempuan
Ketika Organisasi Para Pembela HAM dan Demokrasi Didemo Massa dan Dijaga Polisi

Penyelewengan Polisi Dalam  Keamanan Ruang Siber

Di antara pasal berpotensi terjadi penyelewengan kekuasaan kepolisian adalah pasal 16 ayat 1 huruf (9) RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan keamanan  terhadap ruang siber.

“Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Sepanjang sejarahnya, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil,” ujar Koalisi.

Koalisi mengatakan campur tangan Polri dalam membatasi ruang siber menggecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik terkhusus pada isu-isu yang mengkritik pemerintah. Hadirnya pegawasannya yang eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).

Melihat subtansi dalam RUU Polri tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian menyatakan sikap, di antaranya sebagai berikut:

  1. Menolak Keras Revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR-RI;
  2. Menuntut DPR maupun Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan tentang Revisi UU Polri pada masa legislasi ini;
  3. Menuntut DPR dan Presiden untuk tidak menyusun UU secara serampangan hanya untuk kepentingan politik kelompok dan mengabaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya sejalan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum. Pembentukan UU baru semestinya memperkuat cita-cita reformasi untuk penguatan sistem demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia dalam rangka melindungi warga negara bukan justru sebaliknya mengancam demokrasi dan hak asasi manusia;
  4. Mendesak DPR untuk memprioritaskan pekerjaan rumah legislasi lain yang lebih mendesak seperti Revisi KUHAP, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat dan lain-lain;
  5. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk melakukan evaluasi yang serius dan audit yang menyeluruh pada institusi Kepolisian dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga HAM negara;

Pembahasan RUU Polri dan RUU TNI Jangan Terburu-buru

Sejumlah RUU yang muncul belakangan memang mendapat perhatian publik. Selain RUU tentang Polri, juga ada RUU Perubahan Atas UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MHH PP Muhammadiyah) Trisno Raharjo, mengatakan kalangan masyarakat sipil mengantongi banyak catatan terhadap dua RUU tersebut. Salah satu ketentuan yang menarik mengenai mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice.

Harusnya, ketentuan itu diatur dalam hukum acara pidana, tapi perkembangan terakhir justru malah bakal diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Trisno Raharjo tak sepakat jika ketentuan keadilan restoratif diatur dalam UU yang sifatnya parsial karena implementasinya nanti malah menjadi tidak sinkron.

Perluasan kewenangan Polri yang disorot publik dalam RUU antara lain tentang penyadapan, kemudian masuk ke ranah siber. Padahal sebelumnya masyarakat terutama di Papua, sempat mengalami kasus pemadaman atau perlambatan akses internet.

“Malah sekarang (polisi,-red) mau diberi kewenangan (memutus internet,-red) sebagaimana diatur di RUU,” kata Trisno dalam diskusi bertema ‘Revisi RUU Polri dan RUU TNI Apakah Ancaman Demokrasi?’, dikutip dari hukumonline.com

Untuk RUU TNI, Trisno mencatat beberapa hal yang menjadi perhatian seperti penempatan aparat TNI, termasuk juga Polri dalam berbagai jabatan sipil. Dalam menjawab pertanyaan kepada awak media, petinggi TNI juga menyebut tak sekedar dwifungsi, tapi malah multifungsi TNI.

Untuk RUU TNI, Trisno mencatat beberapa hal yang menjadi perhatian seperti penempatan aparat TNI, termasuk juga Polri dalam berbagai jabatan sipil. Dalam menjawab pertanyaan kepada awak media, petinggi TNI juga menyebut tak sekedar dwifungsi, tapi malah multifungsi TNI.

“Menurut kami tidak pada tempatnya penyusunan RUU ini dilakukan secara terburu-buru, apalagi dilakukan pada masa transisi jelang akhir masa jabatan (DPR dan Presiden,-red),” ujarnya.

Untuk RUU TNI, Trisno mencatat beberapa hal yang menjadi perhatian seperti penempatan aparat TNI, termasuk juga Polri dalam berbagai jabatan sipil. Dalam menjawab pertanyaan kepada awak media, petinggi TNI juga menyebut tak sekedar dwifungsi, tapi malah multifungsi TNI.

“Menurut kami tidak pada tempatnya penyusunan RUU ini dilakukan secara terburu-buru, apalagi dilakukan pada masa transisi jelang akhir masa jabatan (DPR dan Presiden,-red),” ujarnya.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Hak Asasi Manusia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//