PAYUNG HITAM #33: Hak Atas Kebenaran dan Upaya Memperolehnya Tanpa Bantuan Negara
Hak atas kebenaran merupakan prinsip yang muncul dari hukum internasional, berkaitan erat dengan hak atas informasi. Hak dasar bagi korban pelanggaran HAM.
Fayyad
Pegiat Aksi Kamisan Bandung
27 Juni 2024
BandungBergerak.id – Maraknya kejahatan yang terjadi dalam ruang-ruang kegelapan. Terlebih, ketika masyarakat dikontrol oleh tentakel rezim otoriter yang kejam, mengalami serangkaian konflik kekerasan, berujung pelanggaran HAM. Dalam upaya pencarian, penelusuran, hingga pengungkap kebenaran untuk pelanggaran HAM merupakan tugas yang sulit.
Informasi berdasarkan kesaksian korban atau hasil penggalian fakta oleh organisasi masyarakat sipil/tim pencari fakta independen/komisi kebenaran sering kali ditolak, disimpangi, disembunyikan, atau bahkan sengaja dihilangkan? Apakah kita dapat membangun kembali suatu tatanan di masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang disepakati bersama jika kita tidak benar-benar mengetahui apa yang telah menghancurkannya?
Para pelaku pelanggaran HAM yang hingga kini masih duduk di kursi kekuasaan sangat berpotensi besar untuk menghentikan pengungkapan kebenaran agar tidak diketahui oleh publik luas. Akan selalu muncul kekhawatiran bahwa jika ada serangkaian upaya dalam mencapai dasar dari kebenaran, pengungkapan kebenaran tersebut mungkin akan terlalu menyakitkan untuk dipikul masyarakat –terlebih korban dan keluarganya, bahkan dapat memicu kembali trauma korban atas apa-apa yang pernah terjadi. Serta tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan konflik selanjutnya.
Ketika kita berbicara hampir ke seluruh korban, para korban sebenarnya sangat ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sampai mereka benar-benar mengetahui apa yang terjadi, kecil kemungkinan bagi mereka untuk dapat mengatasi kesedihannya, dan akan sangat rumit bagi mereka untuk memulai dan menjalani proses pemulihan. Korban dan keluarganya tentu memiliki banyak kemarahan.
Dalam kasus penghilangan orang secara paksa, pencarian terhadap orang-orang dicintai adalah serangkaian pencarian jangka panjang. Banyak pertanyaan tentang siapa yang membuat anak, orang tua, suami/istri, sanak keluarga/saudara mereka hilang?
“Kami ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan saat ini di mana keberadaan mereka? Kami marah atas ini semua. Kami memang bersembunyi sekian tahun, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena trauma mendalam yang kami rasakan. Di usia kami yang tak lagi muda, kami tetap memiliki harapan bahwa suatu saat negara akan mengakui bahwa sekian tahun tersebut adalah kesalahan fatal yang telah menimpa kami.” Hal semacam ini akan selalu kita dengar dalam setiap Aksi Kamisan ataupun ketika ada sesi wawancara dan cerita dari korban/keluarga korban.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #30: Brutum Amor Fati
PAYUNG HITAM #31: Kota ini Mau Juara?
PAYUNG HITAM #32: Berkenalan dengan Konsep Keadilan Transisi, Dapatkah Menjadi Solusi?
Hak Atas Kebenaran
Secara universal, pengakuan untuk hak atas kebenaran muncul dari tuntutan keluarga orang hilang –bukan dari negara, banyak dari mereka menghabiskan waktu belasan hingga puluhan tahun untuk mencari orang-orang yang mereka cintai. Maka, apa sebenarnya hak atas kebenaran? Hak atas kebenaran merupakan prinsip yang muncul dari hukum internasional, yang berkaitan erat dengan hak atas informasi. Tentunya hal ini memiliki dasar dalam perjanjian internasional dan hukum HAM yang berlaku. Hak atas kebenaran tidak hanya berlaku untuk kasus orang hilang saja, namun bisa meluas pada pelanggaran HAM lainnya.
Hak atas kebenaran merupakan dasar dari hak korban pelanggaran HAM dan bahkan mungkin bagi korban kejahatan lainnya. Didirikannya komisi kebenaran biasanya dilandasi oleh surat keputusan atau hukum yang mengikat untuk mencari kebenaran tentang kejahatan yang terjadi selama konflik atau periode represi berkepanjangan. Komisi kebenaran bertugas untuk melakukan pengambilan pernyataan, menggelar audiensi dan investigasi, melaksanakan dengar kesaksian publik, menghasilkan laporan akhir yang berisikan temuan dan rekomendasi.
Di Indonesia sebenarnya telah dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atas dugaan pelanggaran HAM di Aceh yang bertujuan mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin untuk semua pelanggaran HAM yang terjadi sejak Desember 1976 sampai Agustus 2005. Setelah Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan pada tahun 2004 oleh MK, masyarakat sipil dan kelompok korban tetap berupaya dan bekerja lebih dari satu dekade untuk menggantikan undang-undang tersebut dan salah satunya menghasilkan yang disebut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pada Desember 2008 telah diserahkannya Qanun tersebut kepada Pemerintahan dan DPR Aceh.
Kemudian, Koalisi Kebenaran dan Keadilan, mengadakan suatu agenda pencarian kebenaran yang disebut sebagai “Tahun Kebenaran” pada 2013. Pada tahun itu, digelar 10 dengar kesaksian di banyak tempat di seluruh Indonesia, mengorganisir dan mengumpulkan database dari berbagai kelompok, dan memproduksi laporan akhir yang berjudul “Menemukan Kembali Indonesia.” Hal ini merupakan cara masyarakat sipil untuk berbicara kepada Negara bahwa kita tidak perlu takut untuk membicarakan fakta dan masa lalu kita.
Namun, pada kasus Pembunuhan Munir Said Thalib, justru dokumen TPF yang seharusnya dapat digunakan untuk menyingkap tabir fakta kasus ini malah hilang. Belum lagi kasus Penghilangan Paksa 97/98, Tragedi Semanggi I dan II, atau yang terkini seperti kasus Kanjuruhan hingga di Bandung-Dago Elos terkait penggunaan kekuatan berlebih dari aparat kepolisian tidak pernah benar-benar ada pengungkapan fakta yang terang bagi publik dan rantai komando tertinggi tak pernah diadili sebagai mana seharusnya.
Sampai saat ini, banyak upaya pengungkapan kebenaran atas kasus pelanggaran HAM yang belum terjadi. Perolehan hak atas kebenaran sangat terhalang ketika tidak ada keinginan politik dari pemerintahan untuk mengakui pelanggaran tersebut –kita sama-sama menyaksikan bagaimana Negara berkelit atas pelanggaran HAM, ketika hal tersebut terjadi, maka dapat dipastikan usaha-usaha pencarian kebenaran akan terhambat dan jalan di tempat. Tentu akan selalu ada pembelaan dari Negara bahwa selama periode ini kita telah berada dalam pemerintahan yang demokratis di mana orang-orang dapat berbicara secara bebas. Namun, sebenarnya terdapat banyak aturan dan berbagai kompleksitas permasalahan yang dapat dikatakan tabu sehingga orang-orang cenderung takut untuk membicarakannya sehingga untuk mendiskusikan kebenaran secara publik, merupakan hambatan dan tantangan tersendiri yang tengah kita hadapi.
Pola-pola yang dibahas sebelumnya selalu terlihat dan mengindikasikan tidak adanya keinginan politik yang nyata dari Negara untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Justru yang terlihat dan banyak dilakukan oleh masyarakat sipil dan korban adalah mereka sendiri yang mulai bisa melakukan usaha-usaha untuk membuka pintu pencarian kebenaran. Bentuk-bentuk Pengadilan/Mahkamah Rakyat (People's Tribunal) seperti International People's Tribunal/IPT 65, Pengadilan Rakyat Dago Elos, serta Mahkamah Rakyat yang telah dan akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini merupakan sikap ketidakpercayaan terhadap mekanisme pengungkapan kebenaran yang seharusnya dipenuhi oleh Negara. Sekaligus upaya menunjukkan kekuatan Rakyat yang sebenarnya.
Dengan adanya pembicaraan mengenai konflik dalam kelompok korban, komunitas, masyarakat sipil/warga, kita dapat mengerti lebih baik mengenai akar konflik persoalannya. Dan hal itu akan memberikan banyak pengetahuan bagi kita semua untuk mengerti dan bahkan membangun sendiri proses rekonsiliasi tanpa bantuan dari Negara. Hak atas kebenaran yang kita gaungkan bersama dapat membawa kesepakatan kolektif dan itu merupakan tugas paling penting untuk dilakukan karena dapat menuju langkah selanjutnya yakni reparasi, upaya penuntutan. Ketika kita sudah mengetahui akar permasalahan konflik tersebut, kita dapat memikirkan cara dan mengambil sikap untuk menentukan masa depan tanpa impunitas kita sendiri.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung