• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #39: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (1)

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #39: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (1)

Pengalaman nahas menimpaku. Nyawaku hampir melayang di dalam angkot. Hampir menjadi korban copet di rumah sakit.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

30 Juni 2024


BandungBergerak.id – Tak terasa waktu yang panjang telah aku lalui sudah lebih dari satu setengah tahun di Bandung ini. Bolak balik ke Jakarta hampir setiap bulan rasanya Bandung adalah kota yang aman buatku. Tetapi tak sepenuhnya anggapanku benar, karena pernah suatu kali aku jadi korban penikaman.

Itu terjadi di penghujung tahun 1982. Saat itu aku pulang lembur dari kantor sekitar pukul 20.00 WIB. Dari gerbang gedung kantorku, aku mesti berjalan kaki melewati Jalan Supadio terus sampai ke Jalan Garuda untuk menyetop angkot yang menuju kosku di Jalan Padjadjaran. Malam itu Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Gerimis pula.

Satu dua mobil aku coba setop, namun tidak satu pun ada yang berhenti. Namun tak lama satu di antaranya berhenti juga di depanku. Di dalam sudah ada penumpang empat orang. Semuanya laki-laki dewasa. Dua orang duduk di sebelah pintu masuk dan dua lainnya di belakang sopir. Di bangku depan ada juga ada seorang penumpang lain yang duduk di sebelah sopir. Begitu aku menaiki angkot tersebut, dua penumpang yang duduk di belakang sopir geser ke kiri dan kanan sehingga aku duduk di antara mereka.

Nahas ternyata itu jebakan. Sebelum aku duduk, tangan kananku terlebih dahulu menyentuh jok mobil. Tepat ketika aku duduk dan menghadap ke pintu masuk, secara tiba-tiba, laki-laki yang di depanku, yang berada di sebelah pintu masuk, menusukkan pisau belati ke arah perutku. Dengan refleksnya pula aku menangkap tangannya. Aku genggam dengan keras dan aku coba tekuk tangannya. Namun penumpang yang duduk di kanan kiri sigap menangkap tangan dan kakiku. Aku hanya bisa teriak minta tolong.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #36: Kesibukan Kerja dan Lembur di Tengah Banyak Pesanan Pesawat
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #37: Mengisi Hari Libur di Sela Kesibukan Kerja
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #38: Dari Masyarakat Homogen ke Masyarakat Heterogen

Ditikam di Angkot

Dengan sinar lampu di dalam mobil yang tidak begitu terang, aku berjibaku sendirian. Tangan kananku mencekal genggaman belati erat-erat meski kedua pria yang lain memegangiku. Entah mengapa aku pada saat itu di beri kekuatan berontak hingga mereka yang berusaha memegangiku terpental. Kecuali laki-laki yang mencoba menikamku. Lalu aku memutar badan sambil bangun dari duduk meski tanganku masih menggenggam belati. Dalam keadaan mobil masih berjalan, aku pun lompat keluar dengan posisi badan menghadap ke belakang. Aku tidak memperhitungkan di mana aku lompat, karena jalan raya dalam keadaan gelap. Begitu aku jatuh ke jalan, entah apa yang membentur kepalaku.

Namun dengan kesadaran yang tidak 100 persen aku melihat mobil itu terus melaju tanpa menghiraukanku. Aku rasa mereka komplotan, karena tidak mungkin si sopir tidak tahu kejadian yang menimpaku.

Tak lama ada motor yang melintas dan aku mencoba meminta tolong. Beruntung ia berhenti.

“Tolong saya pak, saya kena todong di angkot. Saya tidak kuat pak, badan saya menggigil. Saya tidak kuat, saya dingin,” ucapku terus menerus.

Pria bermotor ini dengan sigap mengiyakan. Ia mengaku intel. Aku diboncengnya ke dokter entah di jalan apa, aku tidak tahu.

Setelah aku sampai ke tempat praktik dokter aku dan pria itu masuk. Namun dokter bilang tak sanggup menanganiku. Aku panik dan bingung. Tidak pernah terpikirkan aku akan menghadapi hal ini di rantau.

“Harus ke rumah sakit,” kata dokter praktik itu.

“Duh saya sendiri dok. Saya sudah tidak kuat lagi,” kata saya.

“Sudah sama saya dek ke rumah sakitnya,” kata pria bermotor yang tadi mengantarku ke dokter.

“Bapak masih mau tolong saya? Terima kasih banyak pak,” kataku entah bagaimana membalasnya. Kami pun lantas pergi berdua menuju Rumah Sakit TNI AU di Ciumbuleuit. Sepanjang perjalanan tak hentinya aku menggigil. Bandung saat itu masih dingin sekali, belum lagi hujan gerimis yang masih mengguyur.

Sesampainya di UGD aku langsung mendapat perawatan. Pria bermotor yang membantuku menanyakan alamatku. “Nanti saya kasih tahu ke orang rumah,” kata dia, baik sekali. Setelah aku memberi alamat, dia pun pergi meninggalkanku sendiri di UGD.

Hampir Dicopet

Kemudian aku dibawa ke tempat tidur oleh seorang perawat. Pada saat itu aku tidak tahu sudah jam berapa. Aku mesti tengkurap karena kepalaku belakangku terbentur. Musibah belum usai karena ternyata ada orang yang meraba saku belakang celanaku. Dikiranya aku mungkin tidur dan sepertinya dia hendak mencopetku.

Aku langsung balik badan dengan marah. Aku tendang orang itu sambil memaki. “Elu mau ngambil dompet gua ya? Elu yang nodong gua tadi ya?” Orang itu kaget dan lari entah ke mana.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//