• Narasi
  • Sebuah Catatan Perjumpaan dengan Pujangga A.A. Panji Tisna

Sebuah Catatan Perjumpaan dengan Pujangga A.A. Panji Tisna

Anak Agung Panji Tisna adalah sastrawan angkatan Pujangga Baru. Sebagai tokoh perintis pariwisata, ia mendapat julukan Bapak Pariwisata Bali.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Di Istana A.A. Panji Tisna di Buleleng, Bali. (Foto: Didin Tulus)

5 Juli 2024


BandungBergerak.id – Baru saja pameran buku selesai tanggal 15 Juni 2008 di Semarang, tempatnya di Masjid Agung. Buku sudah saya kepak dalam dus dan saya kirim lewat paket cobra ke Bandung.

Beberapa hari saya pameran di Masjid Agung Semarang ini, penjualan lumayan laris. Saya tidur di masjid besar yang atapnya bisa terbuka seperti di Makkah. Ini masjid yang paling megah di Indonesia. Tidur beralaskan kardus pembungkus buku dan bantal tas berisi uang omzet tentu setelah saya hitung hari ini. Besok pagi saya transfer ke penerbit.

Walau tidur di halaman masjid namun hawa Kota Semarang panas. Banyak kawan saya kalau tidur tak pakai baju saking gerahnya. Tapi saya tetap pakai jaket karena menjaga kesehatan dan sengatan nyamuk. Bangun tak usah di bangunkan karena sebelum azan ada suara mengaji walau hanya dari CD (compact disc). Tentu sangat mengganggu tidur kami. Pas waktunya azan salat Subuh baru kami bangun. Saya tak bisa tidur lagi karena masjid terus didatangi orang.

Sore saya berniat pulang ke Bandung. Tapi mengurungkan niat balik ke Bandung.

Saya teringat sebuah acara bedah buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (MLLD) jilid 2 karya Sigit Susanto. Sebelumnya Sigit pernah bedah buku di toko buku Ultimus Bandung. Pertemuan kedua dengan Sigit, yang pertama dalam acara diskusi tentang taman bacaan. Yang kedua bedah buku MLLD 2. Nah, yang ini di Denpasar tepatnya di Buleleng. Dalam benak saya Semarang dan Bali sudah dekat.

Mumpung di Semarang saya niatkan untuk pergi ke Bali. Lagi pula sejak kecil saya ingin sekali ke Bali. Tahu tentang Bali di kalender yang menggantung di dinding kelas SMP.

Baca Juga: Remy Sylado, Berpulangnya Sastrawan Besar yang Dekat dengan Komunitas Kecil
Siti Rukiah, Sastrawan yang Dipaksa Berhenti Menulis
Membicarakan Polemik Angkatan Sastrawan Indonesia di Klub Buku Laswi

Menuju Bali

Huhf...saya naik bus jurusan Surabaya pukul 18.30. Sampai terminal Surabaya jam 21.00. Langsung saya sambung ke jurusan Jember. Dalam perjalanan saya tidak bisa melihat apa-apa karena sepanjang jalan gelap gulita. Dalam bis saya tidak bisa tidur memikirkan Pulau Dewata yang akan saya kunjungi.

Pukul tujuh pagi saya sampai di terminal (kecil) Jember. Langsung naik Damri jurusan Denpasar-Bali. Ongkos cuma Rp 60 ribu. Oya ongkos Semarang-Surabaya Rp 30 ribu. Ongkos Surabaya-Jember Rp 35 ribu. Sampai juga terminal Badung (kalau tidak salah sebut).

Singkat cerita besoknya saya sampai di Buleleng bersama rombongan Sigit, Puthut Ea, dan kawan dari Bali pakai motor. Sebelumnya kami mampir-mampir dulu ke Pura Besakih, dan bukit Kintamani. Sepanjang perjalanan jiwa saya bernyanyi. Saking takjubnya akan keindahan bukit-bukit yang saya lalui. Sampai Pantai Buleleng saya minum kopi di cafe yang menjorok ke lautan. Matahari terbenam mengingatkanku masa-masa aku kecil di Pangandaran. Saya tidak terlalu asing dengan keindahan terbenamnya matahari. Di Pangandaran hampir tiap hari saya kalau waktu senja selalu main di pantai.

Malamnya saya diskusi bersama Sigit dan Wayan Sunarta serta Pak Agung Brawida. Belakangan baru tahu bahwa Pak Agung adalah salah satu cucu seorang sastrawan besar asli Bali A.A Panji Tisna.

Panji Tisna

Anak Agung Panji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978. Dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya, di atas sebuah bukit di Desa Seraya, Kaliasem, di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.

Oleh masyarakat luas, Anak Agung Panji Tisna lebih dikenal sebagai pengarang novel. Roman-romannya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang semuanya mengambil tempat di Bali, terutama di daerah Singaraja, tempat kelahirannya. Cerita-cerita pendeknya banyak dimuat dalam majalah "Terang Boelan" yang terbit di Surabaya. Ia juga sempat menulis sejumlah puisi, di antaranya "Ni Poetri", yang diterbitkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam majalah "Poedjangga Baroe" di Jakarta.

Panji Tisna juga terkenal karena ia merupakan tokoh perintis pariwisata Bali, khususnya di daerah pantai utara. Pada tahun 1953 Pandji Tisna memilih lokasi Desa Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem) sebagai tempat peristirahatannya. Di situ ia menulis dan menerima tamu-tamunya dari dalam maupun luar negeri. Tempat peristirahatannya itu dinamainya "Lovina", yaitu singkatan dari kata "Love Indonesia". Setelah itu, Panji Tisna mendirikan tempat-tempat penginapan di pantai barat Buleleng tersebut, dan seluruh daerah itu kemudian dikenal sebagai pantai Lovina. Karena itu Panji Tisna juga diakui sebagai "Bapak Pariwisata Bali". Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Bali menganugerahi kepadanya secara anumerta penghargaan "Karya Karana" sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam pengembangan pariwisata Bali.

Pada waktu saya jalan-jalan melihat museumnya. Terus terang saya tidak kenal Panji Tisna. Karya-karyanya belum pernah saya baca.

Pada suatu hari saya pameran buku di Jakarta, jualan buku antik. Ketika sedang membereskan, menata, display buku ke rak –saya menemukan buku usang warna kuning berjudul "I Swasta Setahun Di Bedahulu" Karya A.A. Panji Tisna. Hati saya langsung terpesona dan berteriak dalam hati.

Astaga!, Ini buku yang kucari-cari. Langsung saya sisihkan tentu saya beli dengan uang honor jaga stan. Beberapa tahun kemudian kalau tidak salah saya dapat lagi sebuah buku yang cetakan 3 terbitan Pustaka Jaya. Cetakan pertama tahun 1935 judulnya "Ni Rawit Ceti Penjual Orang" saya sangat gembira ini buku yang sangat antik. Pernah di terjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi judul "Panglayar Jadi Culik".

Dan yang paling menakjubkan ketika saya ngobrol dengan Ajip Rosidi, saya dengar bahwa Ajip pernah saling kirim surat dengan A.A. Panji Tisna. Yang kemudian hari saya temukan tulisan itu di buku "Mengenang Hidup Orang Lain". Sebuah surat yang ditujukan kepada A.A. Panji Tisna.

Kini tak disadari saya sudah berkenalan dengan A.A. Panji Tisna. Terlebih cucunya A.A. Panji Tisna menawarkan naskah kumpulan seminar tentang A.A. Panji Tisna untuk di terbitkan di Tulus Pustaka. Tentu dengan bahagianya saya. Ketika saya ceritakan ke Ajip Rosidi mengenai hal ini Ajip tersenyum lebar.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lainnya tentang sastra

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//