MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #40: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (2)
Dokter Rumah Sakit Ciumbuleuit menjahit luka kena pisau penodong di dalam angkot Padjadjaran. Aku dapat izin istirahat dua hari menunggu pemeriksaan berikutnya.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
7 Juli 2024
BandungBergerak.id – Seingatku malam itu aku hanya seorang diri di ruang UGD dan aku masih harus menunggu perawatan. Berapa lama belum juga ada yang datang untuk memeriksaku, hingga kemudian datang seorang dokter laki-laki. Sebelum aku di tanya, aku bilang lebih dulu ke dokter bahwa aku habis kena todong di dalam angkot Padjadjaran.
“Saya sudah enggak kuat nih,” kataku pada dokter yang memeriksaku.
“Iya pak perlu dijahit,” katanya sambil melihat lukaku.
“Tolong dok, maaf sudah bikin susah pak dokter,” kataku merasa tak enak.
“Tidak apa, sudah tugas saya. Apakah tadi ada muntah? Nanti saya jahit ya dan diobati. Kalau dua jam tidak ada muntah, berarti boleh pulang,” kata dia.
Dua jam berselang setelah lukaku dijahit aku tidak merasa mual atau apa. Makanya aku diperbolehkan pulang. Seingatku aku tidak membayar ongkos pengobatan di rumah sakit pada malam itu. Hanya dokter bertanya tempatku bekerja, dan aku jawab kalau aku karyawan PT Nurtanio. Tak lama ternyata orang di kos sudah pada tahu kalau aku hampir jadi korban penusukan. Mereka datang berombongan ke rumah sakit. Aku sendiri hanya terduduk dengan kepala masih terikat perban.
“Gimana Li?,” kata kakak mahasiswi menghampiriku.
“Iya gini kak. Kena todong di angkot. Siapa yang ngasih tahu orang kos kak?” tanyaku.
“Itu tadi ada bapak-bapak datang ke rumah. Kasih tahu ke mami kalau ada anak kos yang dirawat di UGD Ciumbuleuit. Ya sudah kami ke sini,” kata kakak mahasiswi.
“Makasih kak sudah pada ke sini. Sudah dijemput malam-malam sampai lima orang segala yang jemputnya,” kataku. Tidak enak. Hati kecil sedih, mau menangis tapi malu. Apalagi semua pada menghiburku.
Aku dijemput menggunakan mobil Suzuki Jeep. Aku merasa haru, di kampung orang diperhatikan banyak oleh banyak orang. Aku selalu mengucap Alhamdulillah, tanda bersyukurku kepada Allah karena hanya itu yang aku bisa dan hingga kini aku selalu berdoa yang tak putus. Selalu dan selalu. Semoga Allah memberikan kebaikan dengan yang lebih baik lagi ke pada orang-orang yang telah berbuat baik kepadaku dan kepada anak-anak keturunanku juga kepada istriku kelak. “Hanya engkau yang maha tahu ya Allah, aku tak bisa membalasnya,” gumamku dalam hati.
“Nanti kalau ada muntah setelah di rumah, kembali lagi ke sini ya,” kata dokter sebelum aku naik mobil untuk pulang.
“Siap pak, akan saya perhatikan,” jawab kakak mahasiswi.
Kami pun pamit sambil kakak mahasiswi mengingatkan barang-barangku dan obat yang perlu dibawa.
“Oh iya, nanti kontrol berikutnya di rumah sakit kantormu saja. Karena Rumah Sakit Ciumbuleuit rekanannya Nurtanio,” kata dokter kembali mengingatkan.
“Oh iya, terima kasih pak dokter. Selamat malam,” kataku. Oh betapa perhatiannya semua orang ini padaku.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #37: Mengisi Hari Libur di Sela Kesibukan Kerja
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #38: Dari Masyarakat Homogen ke Masyarakat Heterogen
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #39: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (1)
Di Tempat Kos
Tak lama di perjalanan, aku sudah sampai di tempat kos. Aku hanya bisa bilang terima kasih kepada semuanya. Jadi merepotkan malam-malam begini. Aku terus memasuki kamarku. Eh tak lama kemudian kakak mahasiswi memberikan aku segelas teh hangat. Ia juga bertanya padaku. “Gimana ada pusingnya enggak?.”
“Enggak kak,” ucapku.
Kalau pusing bilang ya,” kata dia sambil meninggalkan kamarku.
Aku melihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul satu malam. Ya Allah sudah malam geuningan. Setelah itu aku tidur dengan kepala terbungkus perban.
Aku dapat izin istirahat dokter selama dua hari. Setelah itu aku melanjutkan pemeriksaan berikutnya ke poliklinik Nurtanio. Seingatku berikutnya ada tambahan libur Sabtu-Minggu dan libur tahun baru 1983. Aku tak menyangka, yang aku kira Bandung itu aman damai, dengan julukan ABCD pada saat itu yang artinya Anak Bandung Cinta Damai, ternyata enggak juga. Dan aku sendiri yang mengalami. Tapi semoga tidak terjadi lagi, karena yang namanya musibah, bisa saja terjadi kepada siapa saja. Di mana saja dan kapan saja, siapa pun tidak ada yang tahu. Jangankan di jalan, kita diam saja di rumah kemungkinan musibah selalu ada. Karena musibah selalu mengintai kita. Yang penting selalu meminta perlindungan pada Allah.