• Kolom
  • PAYUNG HITAM #35: Bank Tanah Wujud Redefinisi Hak Menguasai Negara untuk Kepentingan Pemodal

PAYUNG HITAM #35: Bank Tanah Wujud Redefinisi Hak Menguasai Negara untuk Kepentingan Pemodal

Kehadiran Bank Tanah menambah potensi konflik agraria di Indonesia. Implementasi Bank Tanah justru mengancam hak mendasar masyarakat atas kepemilikan tanah.

Awal Nur Afdhal

Mahasiswa STHI Jentera

Ilustrasi anak dan penggusuran. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

11 Juli 2024


BandungBergerak.id – Sejumlah lembaga disertai  payung regulasi dibentuk negara untuk melancarkan program pembangunan dan pertumbuhan. Dalam prosesnya, relasi vertikal antara pemerintah dan masyarakat akan memunculkan konflik. Jawabannya sudah pasti: dimenangkan penguasa dan pengusaha. Begitulah Bank Tanah lahir. Tanah yang dinilai Pemerintah terlantar akan digerus Bank Tanah, lalu menyediakan tanah tersebut untuk ladang investasi. Telah banyak yang meneliti tentang Bank Tanah, tetapi belum banyak yang mengulas, bagaimana Bank Tanah akan mengambil peran vital dalam merampas ruang-ruang penghidupan masyarakat. Sebagian diantaranya akan dijabarkan dalam tulisan ini.

Hairani Mochtar, misalnya, dalam jurnalnya Keberadaan Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, menyoal penerapan Bank Tanah di Indonesia yang dinilai kurang efektif. Misalnya peningkatan populasi dan ketersediaan tanah menyebabkan tanah menjadi mahal. Bagi Hairani, faktor utamanya adalah perubahan pola ekonomi politik dari ekonomi kerakyatan menuju kapitalistis. Sehingga, penerapan Bank Tanah dalam genggaman Pemerintah, dan bukan badan hukum publik.  Penerapan ini menjadikan mekanisme kontrol tidak berjalan optimal. Hal itu diperhatikan berdasar pada tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa hak menguasai negara bukanlah kepemilikan, namun tanggung jawab negara dalam melakukan pendistribusian secara baik dan merata.

Penelitian kedua dari Nila Trisna  dan Ilka Sandela, Eksistensi Bank Tanah Dalam Hukum Agraria di Indonesia mengulas landasan  pembentukan Bank Tanah: filosofis dan yuridis. Keduanya menggunakan kata  “kemakmuran” dalam melihat Bank Tanah sebagai upaya pemerintah memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) untuk kepentingan rakyat. Penelitian tersebut bersifat klarifikatif dengan pernyataan pakar Hukum Agraria yang menilai penerapan Bank Tanah dalam Undang-undang Cipta Kerja (Selanjutnya disebut UUCK) bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Bagi Nila dan Ilka, Bank Tanah dibentuk dengan memperhatikan kuasa negara atas pemenuhan hak secara merata, dan mengambil kepingan dalam Pancasila pada sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selain itu, Hak Menguasai Negara (HMN) dimaknai sebagai kekuasaan negara dalam mengatur dan memanfaatkan tanah. Berangkat dari temuan di atas, penting jadinya menulis dengan mengomparasikan  pemikiran perancang UUPA dan menjadikan Bank Tanah sebagai objek bahasan.

Cukup tipis dalam membatasi bagaimana kuasa negara atas tanah jika melihat dalam HMN. Dalam penjelasan Soetiknjo tentang “Hak menguasai tanah dari negara” yang terdapat dalam buku Proses Terjadinya UUPA, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, ketika negara disamakan dengan kepemilikan perseorangan, hak negara menjadi hak dominium dan bersifat kepemilikan privat. Kedua, negara menguasai tanah sebagai hak publik, artinya kepemilikan negara atas tanah di atas kepemilikan  publik. Ketiga, negara dihidupkan sebagai subyek atas dasar kepemilikan rakyat, atau dalam bahasa Soetiknjo diartikan negara sebagai personifikasi. Apabila penjelasan ketiga digunakan, Soetiknjo membaginya ke dalam dua bagian jenis kepemilikan: Hak Communes, dimana negara adalah kuasa tertinggi atas tanah, dan hak imperium, apabila tanah hanya memegang kuasa atas pemakaiannya saja. Sejauh ini, HMN dipandang sebagai satuan hierarki di atas kepemilikan lain dalam negara.

Selain itu, dalam Undang-undang No.5 tahun 1960, pasal 6 menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, sehingga membuka pintu dalam penggerusan tanah atas kepentingan nasional. Beberapa program pemerintah, pun nomenklatur tentang Bank Tanah dalam UUCK mengatasnamakan fungsi sosial. Misalnya narasi pemerataan ekonomi, kesejahteraan masyarakat melalui dunia usaha. Sehingga dapat dipandang bahwa HMN sebagaimana pemaknaan Pemerintah kemudian mendelegasikan kepada pihak swasta.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #32: Berkenalan dengan Konsep Keadilan Transisi, Dapatkah Menjadi Solusi?
PAYUNG HITAM #33: Hak Atas Kebenaran dan Upaya Memperolehnya Tanpa Bantuan Negara
PAYUNG HITAM #34: Polisi dan Bom Waktu Yang Mereka Ciptakan

Cara Kerja Bank Tanah

Sebagaimana pasal 125 ayat 1 dan 2 UUCK, Bank Tanah dibentuk Negara dan berbentuk sebagai  badan khusus. Kemudian ayat 4, Badan Bank Tanah berfungsi untuk melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan terakhir disematkan  pendistribusian tanah. Proses distribusi termasuk definisi kabur sebab tidak disebutkan lagi lebih lanjut peruntukan pendistribusian. Dalam pengelolaan Bank Tanah, disebutkan bahwa tugas pokok Bank Tanah untuk kehidupan yang adil dengan memenuhi: kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, ekonomi yang merata, konsolidasi lahan hingga menempatkan Reforma Agraria (RA). Mengenai RA, dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 127, bahwa ketersediaan tanah untuk RA dibutuhkan paling sedikit 30% dari “tanah negara”. Paradigma “tanah negara” sebagai wujud hierarki sebenarnya termasuk problem khusus dalam melakukan proses pengelolaan tanah di Indonesia.

Bank Tanah dalam pengelolaannya melabeli kelembagaan sebagai lembaga non-profit. Strategi dalam kelangsungan lembaga secara finansial sebagaimana pasal 128 UUCK huruf (a) sampai (d). Sumber pendapatan pada poin (a) dan (d) memungkinkan pengalokasian lahan yang telah dimiliki Bank Tanah mengarah kepada kelompok pemodal. Selain itu, Bank Tanah turut serta dalam memberi kemudahan investasi, sebagaimana pasal 129 huruf (a) sampai (d). Kepemilikan tanah oleh Badan Bank Tanah beralaskan Hak Pengelolaan atau (HPL), dan dapat  memberikan lewat pola kemitraan melalui pemberian  Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. Dalam hal ini, dapat ditelaah bahwa ketersediaan tanah yang diinventarisir memunculkan dua kepentingan yang timpang. Sebab, berbagai aturan dalam UUCK–Yang dijelaskan di atas–maupun Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksana, memberi dua tujuan kepada subyek dengan power yang timpang: masyarakat dan pengusaha.

Bank Tanah menguasai tanah berjuta hektare yang tersebar di berbagai daerah. Pada 2022, Bank Tanah memegang seluas 1.096.049 Ha yang berada di Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah. Pada 2022, Sulawesi Tengah  menempati persentase tertinggi dengan total 664.735 Ha dan disusul Kalimantan Timur dengan luasan 41.619 Ha. Kemudian pada 2023, Bank Tanah menguasai seluas 751.801 Ha dengan wilayah terluas di Kalimantan Barat berjumlah 10.733 Ha dan Jawa Barat seluas 96.498 Ha. Update-an terakhir pada 2024, Bank Tanah menguasai tanah di dua daerah, Sigi Sulawesi Tengah 1.602 Ha dan Sumatera Selatan seluas 12.024 Ha. Dari luasan tanah di atas, sebagaimana dalam laman resminya, beberapa tanah dialokasikan dalam upaya mendukung mega proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.), Bank Tanah mensupport Very Very Important (VVIP) seluas 274 Ha yang mulanya 347 Ha menjadi 621 Ha.

Implementasi Bank Tanah justru mengancam hak mendasar masyarakat. Desa Pombawe Sulawesi Tengah berada dalam cengkeraman Bank Tanah. Objek tanah di desa Pombewe, Sigi, adalah tanah yang sebelumnya dikuasai PT Hasfarm, dan diharapkan sejak masa HGU berakhir masyarakat dapat mendapat akses legal dalam menggarap, sebagaimana laporan Wahana Lingkungan Hidup Walhi pada 2023 lalu. 

Bagi masyarakat Pombewe, berakhirnya HGU adalah peluang untuk mendapatkan tanah sebagai kebutuhan masyarakat Pombewe yang paling mendasar. Masyarakat Pombewe, pada 2013 hingga 2017, mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah, ditandai dengan permohonan Bupati Sigi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang melalui Badan Pertanahan (BPN). Lahan tersebut ingin dijadikan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria agar memberi ruang bagi masyarakat untuk mengelola.

Kemunculan Bank Tanah yang menyerobot lahan di Desa Pombewe, dianggap tidak sejalan dengan tujuan yang disematkan Bank Tanah, baik yang tertuang dalam PP 64.Tahun 2021, atau bahkan yang termuat dalam UUCK. Hal serupa dialami masyarakat transmigrasi di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tanah yang telah lama diidamkan  oleh buruh tani, diserobot perusahaan atas nama legitimasi dari Bank Tanah. KPA dan 9 organisasi akhirnya melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung terkait peraturan pemerintah dan peraturan presiden terkait kebijakan Bank Tanah. Namun, MA menganggap bahwa Peraturan Pemerintah tersebut tidaklah bertentangan dengan undang-undang.

Berkaca pada dua kasus di atas, maka tujuan distribusi tanah dalam UUPA telah melenceng jauh dengan pendefinisian pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan, adil untuk kemakmuran. Kembali mengutip Soetiknjo, bahwa landreform adalah syarat mutlak dalam UUPA. Seharusnya, pengaturan tentang keagrariaan tertuang dalam undang-undang yang pokok, sehingga dapat menjadi acuan utama dalam pembentukan undang-undang yang menyangkut tentang agraria. Namun, hal tersebut berubah seiring pergantian rezim menuju Orde Baru. Faktor politik begitu berpengaruh dalam cita-cita landreform. Sebagaimana Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masanya mengambil suara-suara petani tak bertanah dalam memperoleh suara. Sehingga penerapan UUPA dari tahun 1961 berhenti lima tahun berikutnya, beriringan dengan pemberangusan PKI dan organisasi sayapnya. Paradigma tersebutlah kemudian berlanjut hingga sekarang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan Badan Bank Tanah dengan memasukkan Reforma Agraria adalah cita-cita utopis dan hanya akan menambah konflik agraria di Indonesia.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//