• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #41: Ajak Enyak ke Bandung, Pindah ke Flat di Sarijadi

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #41: Ajak Enyak ke Bandung, Pindah ke Flat di Sarijadi

Sekali waktu pernah aku ajak Enyak ke Bandung menggunakan mobil yang baru saja aku beli mobil dari tetanggaku di Jakarta.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

PT Dirgantara Indonesia, dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). (Foto: Ahmad Fikri/BandungBergerak.id)*

14 Juli 2024


BandungBergerak.id – Musibah yang menimpaku di akhir tahun lalu membuatku urung pulang ke Jakarta di tahun baru 1983. Aku baru bisa pulang beberapa pekan setelahnya setelah sembuh dari luka-luka. Bingung juga soalnya kalau nanti malah merepotkan dan jadi bahan pikiran Enyak, ibuku. Tapi akhirnya aku cerita juga sesampainya di Jakarta. Meski tidak mendetail. Hanya garis besarnya saja. Khawatir Enyak malah berpikir yang enggak-enggak soal Bandung.

Sekali waktu pernah aku ajak Enyak ke Bandung. Rasanya beberapa pekan setelah kejadian penodongan itu. Kala itu aku baru saja beli mobil dari Tante Wita, tetanggaku di Jakarta. Mobil Corona II lansiran tahun 1972 yang masih cukup kuat untuk bolak balik Bandung-Jakarta.

Tentang mobil ini ceritanya cukup menarik juga. Waktu itu Tante Wita kebetulan mau ke Bandung untuk berlibur bersama keluarganya. Kebetulan mobil yang ia kendarai sedang ditawarkan untuk dijual. Karena aku merantau ke Bandung, Tante Wita menawarkan mobil itu kepadaku. Dan sebagai test drive-nya, aku boleh coba mobil tersebut dari Jakarta ke Bandung, sembari mengantar Tante Wita sekeluarga berlibur. Karena harganya juga tidak begitu mahal, aku beranikan untuk membayar mobil itu.

Kembali ke cerita saat aku ajak Enyak ke Bandung, waktu itu aku ajak serta adik perempuanku beserta suaminya, juga dua keponakan (anak adikku) yang masih balita. Seingatku ada libur tiga hari waktu itu. Sabtu, Minggu, dan Senin. Ya sudah kami berangkat ke Bandung dari Jakarta. Biar Enyak tahu tempatku merantau. Begitu niatku dalam hati.

Sesampainya di tempat kos, Enyak dan ibu kosku saling mengenal. Ibu kos memanggil Enyak dengan panggilan “mamah”. Khas orang Sunda. Ibu kos dan keluarga sudah terbiasa kedatangan tamu orang baru, dari mana saja, dan siapa saja, jadi pembawaannya selalu ramah dan menyenangkan. Tapi memang kunjungan Enyak tidak lama. Yang penting beliau tahu bagaimana aku di Bandung. Minggu siang kami sudah kembali lagi ke Jakarta dan Senin malamnya aku sudah kembali ke Bandung untuk bekerja di hari Selasa.

Pada bulan yang sama di tahun 1983 lokasi kerjaku pindah. Yang semula aku kerja di KP I untuk pesawat CASA 212 kini aku di pindahkan ke KP II untuk pesawat CN 235, pengembangan dari pesawat CASA 212. KP II ini letaknya agak jauh dari mana-mana. Untung kini sudah ada kendaraan pribadi.

Tapi aku tidak selalu pergi kerja membawa mobil terkecuali kalau malamnya aku kerja lembur. Karena akan sulit jika harus mengejar angkutan umum yang kala itu belum semudah sekarang. Begitu juga kalau aku ke Jakarta tidak selalu pakai mobil sendiri. Masih lebih sering pakai bus. Karena bagaimana pun aku juga harus berhemat dalam mengatur uang gaji. Aku hanya karyawan biasa yang hanya dapat tambahan dari uang lembur. Tetapi selama di Nurtanio, Alhamdulillah-nya selalu ada lembur karena pesawat CN 235 ini banjir pesanan dari dalam dan luar negeri.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #38: Dari Masyarakat Homogen ke Masyarakat Heterogen
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #39: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (1)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #40: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (2)

Pindah ke Flat di Sarijadi

Bersamaan dengan pindahnya aku ke KP I, kantor menawariku satu unit flat di Sarijadi. Zaman itu, Sarijadi baru dibuka sebagai wilayah pengembangan perumahan bagi karyawan beberapa kantor.

Aku iyakan tawaran itu dan aku mengambil satu flat di Blok M dengan ukuran tipe 36 yang bisa diisi untuk dua orang. Menurutku penawaran itu cukup layak. Parkirnya luas, fasilitas air PDAM, dekat dengan terminal dan banyak angkot ke tujuan strategis seperti Ciroyom.

Namun aku pribadi sebetulnya cukup berat pindah ke flat karena sudah kerasan tinggal di kos yang sekarang. Semuanya baik-baik. Maka sekalipun aku tinggal di flat, aku masih sering datang ke kos. Aku sudah menganggap penghuni kos sebagai keluarga sendiri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//