• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #42: Namanya Delies

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #42: Namanya Delies

Dalam satu perjalanan kembali menggunakan bus dari Cililitan ke Bandung, aku berkenalan seorang gadis berkaca mata. Namanya Delies.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

21 Juli 2024


BandungBergerak.id – Merantau sudah cukup lama, memunculkan harapan baru bagi Enyak buatku. Harapan itu sekali waktu ia sampaikan waktu aku pulang. “Di Bandung udah punya pilihan belum?” tanya Enyak. Iya, Enyak sepertinya mau aku segera menikah.

Aku jawab terus terang saja kalau sampai saat ini aku belum punya pasangan.

“Dibilang ada ya ada, dibilang belum ya belum,” kataku.

Memang selama aku di Bandung ada saja lawan jenis yang membuatku tertarik. Atau setidaknya ada kesempatan buatku untuk mendekatinya. Seperti satu tetangga kos yang aku kenal. Bahkan aku pernah ke rumahnya dan mengenal ibunya.

Enyak melanjutkan kenapa tidak mengenal anak ibu kos lebih serius. Enyak tanya begitu bukan tanpa alasan. Soalnya Enyak tahu aku dekat dengan keluarga ibu kosku. Sering keluar sama anak-anaknya dan mereka pun orang yang menarik. “Wah dua-duanya sudah ada yang punya itu mah,” kataku.

“Terus nyang pilihan Baba gimana? Kagak mau?” tanya Enyak lagi. Iya, sebelum Baba meninggal, beliau sempat hendak menjodohkan aku dengan anak temannya.

“Takut itu mah, kita orang susah. Malu sama anak orang kaya,” kataku minder.

Tidak ada jawaban pasti yang aku sampaikan ke Enyak dari pembicaraan kala itu.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #39: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (1)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #40: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (2)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #41: Ajak Enyak ke Bandung, Pindah ke Flat di Sarijadi

Bertemu Delies

Minggu sore aku kembali ke Bandung. Seperti biasa naik bus dari Cililitan. Aku memilih kursi nomor tiga dari depan karena semua kursi sudah terisi juga. Tak berselang lama, seorang gadis berkacamata naik ke bus.

“Sebelahnya kosong?” tanya dia sopan.

“Iya kosong,” kataku seraya memberikan tempat duduk untuknya.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Baru setelah bus keluar dari Tol Jagorawi menuju arah Puncak aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Turun di mana mbak?”

“Di Bandung mas. Turun di mana?” dia bertanya balik.

Aku bilang aku turun di Bandung juga.

“Di mana Bandungnya?” ia kembali bertanya.

“Saya di Jalan Padjadjaran,” kataku.

“Oh jadi duluan dong turunnya. Saya di Lengkong,” kata dia.

Sepanjang perjalanan kami pun mulai saling berbincang. Aku tahu kalau dia berasal dari Tasikmalaya dan dia juga bertanya tentang alamatku di Bandung. Waktu itu belum ada ponsel, tentu kami mencatat alamat. Ia juga bertanya padaku soal aktivitasku, berapa lama aku berada di Bandung, dan lain sebagainya. Oh iya, nama perempuan ini Delies.

Delies ke Jakarta untuk mengantarkan saudaranya yang hendak ke luar negeri ke Bandara Soekarno-Hatta. Ia kuliah di Bandung dan tinggal di Lengkong bersama bibinya. Dia berasal dari Tasikmalaya tetapi pulang ke Cirebon. Tak terasa sudah waktunya aku turun.

“Nanti kita lanjut ngobrolnya di Lengkong,” kataku beberapa saat sebelum turun.

“Tahu gitu Lengkong?” tanya Delies.

“Belum tahu sih. Tapi ini betul alamatnya?” tanyaku.

“Iya,” jawab Delies.

Aku pun turun dan sampai di kos tepat jam 9. Hmm, mungkinkah Delies orangnya?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//