• Berita
  • Insiden Penolakan Perayaan Asyura di Kopo Menegaskan Pentingnya Ruang Dialog Dua Kelompok Agama

Insiden Penolakan Perayaan Asyura di Kopo Menegaskan Pentingnya Ruang Dialog Dua Kelompok Agama

Jaminan negara terhadap kebebasan beragama berkeyakinan kurang maksimal. Pemerintah juga tidak memfasilitasi ruang dialog antarkelompok agama.

Ilustrasi. Intoleransi menjadi tantangan serius bagi negeri bhineka seperti Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

Penulis Awla Rajul23 Juli 2024


BandungBergerak.idInsiden penolakan kegiatan Haul Imam Husein (cucu Nabi Muhammad SAW) di Grand Ballroom La Gardena, di Kopo Square, Rabu, 17 Juli 2024 lalu menegaskan pentingnya menghadirkan ruang dialog antara kelompok keagamaan. Negara, dalam hal ini pemerintah perlu melakukan promosi tentang pentingnya penghormatan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Koordinator acara Hilmi Dhiyaul Haq menceritakan kronologi aksi penolakan itu. Pihaknya memulai acara sekitar pukul satu siang, selepas dzuhur sebagaimana pemberitahuan yang telah disampaikan ke pihak kepolisian. Acara yang hanya dikhususkan untuk jamaah internal itu awalnya berjalan kondusif.

Sekitar pukul dua lewat, dari kabar panitia yang berada di luar, sudah ada sekitar 20 orang yang melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan yang diselenggarakan pada puncak asyura itu. Dari dokumen kronologi Komunitas Anak Bangsa berakhlak dan Religius (KABAR) yang diterima BandungBergerak, di sana juga dijelaskan, sekitar jam yang sama, kepolisian menyampaikan terkait adanya kelompok masyarakat yang datang mendemo acara.

“Nah di situ pertama yang mereka lakukan adalah menghalangi jalan masuk. Sehingga ada beberapa jamaah yang mau masuk di sekitar jam segitu sudah gak bisa masuk. Dihalangi dan diteriaki sesatlah atau apalah. Diintimidasi dengan verballah. Mereka meminta ke kepolisian dan perwakilan dari kami untuk mempercepat acara,” cerita Hilmi kepada BandungBergerak, Jumat, 19 Juli 2024.

Hilmi menerangkan pihaknya menolak mempercepat kegiatan, karena pihak kepolisian tidak bersamalah saat sebelumnya memberitahukan detail kegiatan. Beberapa alasan lainnya adalah kegiatan yang diberlangsungkan tersebut dijamin secara konstitusi, legal formal, dan sudah mendapatkan izin dari pihak keamanan.

Kronologi KABAR menyebutkan, para pendemo yang menolak acara berdasarkan alasan yang tidak benar dan fitnah. Dalam kegiatan tersebut ditekankan, tidak ada pelaknatan terhadap para istri dan sahabat nabi, dan tidak ada prosesi melukai diri seperti yang dituduhkan pendemo. Adapun pesan utama yang ingin disampaikan melalui acara ini yaitu “Pembelaan terhadap Bangsa Tertindas Palestina”.

Pihak pendemo meminta agar acara tersebut diselesaikan jam tiga. Namun begitu, panitia tetap menyelenggarakan sesuai perencanaan hingga pukul empat. Sayangnya, karena permintaannya ditolak ini, pihak pendemo mulai melakukan pelemparan-pelemparan dan meminta masuk ke area acara untuk berdiskusi. Hilmi pun mengaku heran, mengapa kepolisian mengizinkan mereka masuk, meski hanya di koridor depan acara. Di saat itulah kondisi memulai memanas.

“Nah itu sudah mulai tu, ada aksi-aksi fisik sedikit, pegang kerah baju, kontak fisik. Itu sudah mulai karena mereka sangat tersulut emosi. Saya juga tidak mengerti kenapa seperti itu padahal kita tidak mengganggu apa pun, tidak ada yang membuat mereka dirugikan. Ya entah apa yang mereka pikirkan,” kata Hilmi.

Setelah acara selesai, jamaah membubarkan diri melalui pintu belakang, sesuai arahan kepolisian. Sebab pintu depan masih dihalangi oleh pendemo. Ketika seluruh jamaah sudah bubar menyisakan panitia dan beberapa jamaah, ada pihak pendemo yang masuk lagi ke tempat acara. Yang masuk ke tempat acara itu berupaya mengambil dokumentasi, entah untuk tujuan apa.

“Apa maksudnya? Silakan kalau mau lihat tapi kami juga mendokumentasikan. Kami gitukan. Nah dia tidak terima dan teriak-teriak. Ketika teriak-teriak itu, karena kita banyak di dalam dan hanya satu-dua orang yang masuk, mungkin dia merasa tertekan karena banyak orang, dia mulai agak kalap, fisiknya mainlah. Ada orang kita yang dekat didorong,” cerita Hilmi.

Yang sangat disayangkan, ketika sosok tersebut berbalik mau keluar, di pintu, ada seorang jamaah perempuan. Entah karena merasa dihalangi oleh perempuan itu atau apa, si orang tersebut melakukan kekerasan fisik. “Dia melakukan tendangan ke bagian kaki teman kami itu sampai lumayan ada bekas memar. Kemudian mendorong si perempuan itu sampai terpental dan bahunya sampai sakit. Saya juga tidak mengerti kenapa akhirnya main fisik.”

Pihak tersebut akhirnya diamankan oleh kepolisian. Pun setelah kegiatan sudah berlangsung dan sudah pulang, Hilmi mengaku mendapatkan laporan ada beberapa jamaah yang dilempari, diintimidasi, bahkan dipukul.

Diduga Kelompok yang Sama

Dalam pernyataan kronologinya, KABAR menduga kelompok pendemo adalah kelompok yang belakangan dikenal dengan sikap intoleransi. Sebelumnya telah mengirimkan surat imbauan kepada Wali Kota Bandung terkait penolakan asyura. Saat aksi penolakan, Hilmi menyebut kelompok itu mengklaim diri sebagai masyarakat sekitar.

Hilmi juga mengaku aneh sebab ada yang menyebut-nyebut pihak panitialah yang memulai kekerasan. Ketika panitia menolak mempercepat acara, pendemo memandangnya sebagai bentuk provokasi. Padahal, panitia sama sekali tidak melakukan kekerasan fisik, tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Ia menggarisbawahi, pihaknya hanya berupaya ketika menyalamatkan perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut.

“Kami paksa dorong karena itu reaksi dari aksi yang mereka lakukan. Selebihnya kami melakukan dalam batas yang aman. Tapi mereka menganggap itu sebagai provokasi,” ungkap Hilmi merasa aneh.

Koordinator acara ini memandang bahwa Jawa Barat sebenarnya adalah daerah yang sangat toleran. Jawa Barat “ternodai” sebagai provinsi yang intoleran oleh sedikit kelompok yang mengatasnaman masyarakat. Hilmi mengatakan hanya kelompok-kelompok itu yang mungkin tidak mau menerima perbedaan, tidak mau berdiskusi, berdialog, hanya ingin memaksakan pendapat mereka.

“Harapan kami kepada pemerintah agar ada tindakan tegas. Memang harus ada aturan khususkah atau ada tindakan khusus agar ya kelompok seperti itu bisa dicegah untuk melakukan tindakan anarkis mereka. Kemudian dari pihak kepolisian juga harapannya memang selalu sigap. Alhamdulillah polisi juga bisa sigap menjaga hingga semua bisa pulang dengan aman. Mungkin bisa terus menjaga kondusifitas, kita apresiasi sama-sama,” katanya berharap.

Direktur Eksekutif LBH Bandung, Heri Pramono memandang, aksi penolakan itu bukan hanya menambah angka pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) semata. Aksi penolakan yang telah terulang beberapa kali ini akan tereduksi menjadi sikap kultural kebencian terhadap kelompok minoritas beragama.

“Walaupun ada himbauan dari pemerintah Bandung untuk menjaga kondusivitas berdasarkan fatwa MUI, tetapi tetap saja walaupun itu sudah ada peringatannya, sudah ada imbauannya, kalau kejadian-kejadian itu berulang dan terakumulasi itu menjadi satu sifat kultural. Dan kultural ini kan sulit dihilangkan ya,” kata Heri ketika dihubungi via telepon, Jumat (19/7/2024).

Heri memandang kasus intoleransi masih terjadi salah satunya karena masih ada peraturan-peraturan yang melanggengkan intoleransi. Menurutnya, pemerintah harus melakukan promosi terkait pentingnya menghormati KBB. Meski dalam hal perlindungan pemerintah belum maksimal melakukan tugasnya.

“Kejadian penolakan Syiah kemarin itu kan menjadi wujud bahwa ketika negara itu juga punya tindakan yang bisa membuat kondusif. Tapi tetap saja, ujaran kebencian atau tindakan-tindakan muncul dari akarnya. Makanya penting melakukan promosi untuk mencerabutnya dari akar,” kata Heri.

Baca Juga: Tradisi Asyura Sudah Berabad-abad Diperingati di Bandung Maupun di Pelosok Nusantara, Mengapa Ditolak?
Menyikapi Viralnya Video "Aliran Sesat" di Bandung yang Menyudutkan Kelompok Syiah
Tak Ada Partai Politik yang Berkampanye Melindungi Hak-hak Digital Kelompok Minoritas

Menghadirkan Ruang Dialog

Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Sabahuddin menyayangkan masih adanya pelanggaran KBB di Jawa Barat, khususnya yang baru saja terjadi di Kabupaten Bandung. Ia juga sangat menyesali tindakan aparat pemerintah yang justru tidak memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan yang tengah melakukan perayaan.

“Melakukan pembiaran itu yang kami sesali, pembiaran kepada mereka yang bisa menerobos masuk ke dalam. Padahal belum lama Setara Institute udah ngeluarin (laporan) terkait pelanggaran KBB di Indonesia. Jawa Barat udah balik lagi ke peringkat pertama. Jadi itu sih yang masih jadi PR bersama, terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat,” ungkap Sabeh, demikian ia kerap disapa saat dihubungi BandungBergerak, Jumat, 19 Juli 2024.

Ketika aksi penolakan itu terjadi, Sabeh mengaku juga berada di lokasi. Saat pertama tiba, ia mengaku kesulitan masuk ke tempat kegiatan karena dijaga oleh polisi dan dipenuhi oleh kelompok-kelompok yang menolak. Sabeh juga menerima sendiri laporan adanya beberapa jamaah yang mendapatkan kekerasan dan intimidasi.

Sabeh menekankan pentingnya menghadirkan ruang dialog. Sebab, sekreatif apa pun kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan toleransi, jika tidak ada ruang dialog maka harapan mewujudkan toleransi yang membumi tidak tercapai. Ruang dialog harus menjadi batas minimal untuk mewujudkan toleransi.

“Bahkan hal-hal seperti ini harusnya bisa didialogkan dalam ranah toleransi untuk memahami pemaknaan maupun tafsiran keagamaan. Sehingga orang-orang itu bisa saling mengerti. Intinya bisa didialogkan, gitu,” tegasnya.

Di samping itu, negara, dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menaruh keberpihakan terhadap teman-teman minoritas keagamaan yang tengah melakukan perayaan. Seharusnya pemerintah secara sadar memberikan jaminan dan kebebasan kepada setiap kelompok dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Koordinator Jakatarub lainnya, Indra Anggara berpendapat, sejauh ini tampaknya pemerintah tidak ingin menghadirkan ruang dialog di antara dua pihak, misalnya kelompok agama yang konservatif dengan kelompok keagamaan minoritas. Ia melihat, pemerintah hanya ingin bertemu dengan kelompoknya masing-masing, tanpa mempertemukan keduanya. Persis hal inilah yang menjadi permasalahan. Makanya aksi-aksi penolakan laten dan latah terjadi setiap tahunnya.

“Karena kalau ruang dialog dan pertemuan itu tidak ada, mungkin beberapa tahun ke depan ini akan terus berlanjut karena stigma dari masing-masing itu akan melekat terus. Jadi akan menciptakan toleransi yang semu sebenarnya. Pemerintah di sisi lain memang mengerjakan tugasnya, tapi tidak maksimal. Bisa dilihat dari hasilnya,” terang Angga.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Toleransi Antarumat Beragama

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//