Sekolah-sekolah di Bandung Memerlukan Satgas Antiperundungan
Perundungan masih menjadi masalah krusial di sekolah-sekolah. Keberadaan satgas antiperundungan bisa jadi solusi bersama untuk mengikis perundungan.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah26 Juli 2024
BandungBergerak.id - Pendidikan mengemban tugas menanamkan nilai-nilai kemanusiaan pada anak bangsa. Kenyataannya ada tiga dosa besar yang merongrong dunia pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Penangan tiga masalah ini tak cukup dengan kegiatan seremonial saja.
Baru-baru ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung melakukan sosialisasi pencegahan perundungan melalui Panglima (Perangi Bullying Bersama). Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung Uum Sumiati mengklaim sudah ada 47 SMP yang mendeklarasikan dan mengkampanyekan Panglima.
Deklarasi dilakukan oleh guru dan murid di lapangan sekolah yang kemudian diunggah melalui akun Instagram masing-masing sekolah, sebagai penegasan para siswa dan guru melakukan komitmen bersama untuk melawan segala bentuk perundungan.
"Kita terus berupaya memberikan edukasi kepada warga sekolah. Salah satunya dengan deklarasi ini sebagai komitmen bersama," ujar Uum, sebagaimana dikutip dari keterangan resmi, Rabu, 24 Juli 2024.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Gender dan Anak Unpad Antik Bintari mengatakan, persoalan perundungan tidak cukup dengan sosialisasi saja. Kerja sama lintas sektoral dan pembentukan satuan tugas (satgas) penanganan seperti di perguruan tinggi akan menjadi efektif untuk melakukan pencegahan perundungan atau kekerasan di sekolah.
“Harus ada satgas-satgas penanganan kekerasan seksual di level pendidikan, dan di luar pendidikan, perlu tugas satgas melakukan pencegahan secara berkelanjutan. Saya yakin sosialisasi satu kali dua, mau seperti apa teknisnya, karena engga sebatas sosialisasi pada anak-anak, orangtuanya gimana, sekolah mau gimana tanggung jawabnya,” kata Antik, dihubungi BandungBergerak, Rabu 24 Juli 2024.
Antik mengatakan, menargetkan zero bullying sebaiknya dilakukan dengan cara berjejaring antarlembaga. Sebab, jika hanya fokus pada anak-anak maka target ini kurang efektif. “Karena, anak-anak sendiri kan harus perlindungan orang dewasa,” lanjut Antik.
Antik juga menyebut, target zero bullying memerlukan sistem yang jelas termasuk di dalamnya ada mekanisme mitigasi dan proses penanganan. “Jadi kalau sekadar sosialisasi tanpa membangun sistem akan sia-sia. Mungkin yang terpapar hanya beberapa kelompok,” katanya.
Peneliti asal Unpad ini menegaskan pentingnya menjaga keberlanjutan pencegahan perundungan. Tugas ini tidak bisa mengandalkan sepenuhnya pada DP3A, melainkan memerlukan kerja sama semua lembaga.
“Itu tidak mungkin kalau mengandalkan DP3A kan bukan tanggung jawab mereka saja. Membuat generasi tanpa bullying, itu bullying bukan isu yang sederhana, dia berbicara bagaimana sebuah relasi kuasa, bagaimana ruang aman tercipta,” ungkap Antik.
Memang, kata Antik, inovasi untuk mencegah bullying perlu diapresiasi. Tetapi akan lebih efisien apabila dilakukan oleh lintas sektoral. “Kalau DP3A menghadirkan satu kebijakan itu harus diapresiasi juga langkah mereka terbatas di situ. Akan lebih buruk kalau tidak dilakukan,” imbuhnya.
Melihat Cara Rumah Bintang Mencegah Perundungan
Perundungan pada anak terjadi bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan. Mencegah hal tersebut, Rumah Bintang (Rubin), kelompok belajar alternatif yang berdiri tahun 2004 di Kota Bandung mempunyai tips mencegah perundungan bahkan stigma dengan melibatkan anak bermain dan belajar.
Niki Suryaman, pengagas Rumah Bintang, menyebut proses dialog antara anak dan lingkungan sangat perlu dilakukan untuk mencegah bullying dan stigma. “Dulu di Rubin, anak-anak mengenal orang yang ditatto itu identik dengan orang jahat. Tapi waktu saya mengundang teman perempuan yang juga ditatto untuk mengajar anak-anak, akhirnya mereka paham, bahwa yang ditatto itu gak semuanya jahat,” ujar Niki pada BandungBergerak, Rabu 24 Juli 2024.
Komunitas belajar ini juga hadir di tempat-tempat penggusuran mengobati trauma anak-anak dengan mengajaknya bermain dan belajar. “Kami biasanya ngelapak, bikin kolase, main sama anak-anak, hadir juga di penggusuran seperti di Tamansari dan Anyer Dalam. Biasanya kami juga mengajak mereka bermain ke Gambung (Ciwidey),” terang Niki.
Rumah bintang yang mengusung motto “sebaik-baik orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain”, juga menekankan pentingnya nilai toleransi pada anak. Menurut Niki, anak-anak di Rubin diajarkan menghormati setiap perbedaan. “Biasanya kita juga makan bersama di sana ada orang yang Kristen, anak-anak diberi tahu tentang perbedaan keyakinan, kita diwajibkan saling menghargai,” jelas Niki.
Namun, Niki mengingatkan, anak-anak tetap harus berada di dunianya. Mereka punya hak pada seluruh ruang dan waktu untuk bisa tubuh berkembang.
Baca Juga: Potret Perundungan di Sekolah-sekolah di Jawa Barat
Kasus Perundungan di Bandung Menunjukkan Wajah Buruk Pendidikan
Tiga Kolaborator Melawan Perundungan
Melindungi Anak dari Kekerasan
Kekerasan pada anak selain bullying masih terus terjadi di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak sampai Juni 2024 mencapai 1.193 kasus dengan rincian: 839 kasus pelanggaran pemenuhan hak anak dan 300 kasus pelanggaran perlindungan khusus anak.
Dari data tersebut, kasus tertinggi pada pemenuhan hak anak adalah anak korban pengasuhan bermasalah yang mencapai 486 kasus; anak korban kebijakan pada lingkungan pendidikan mencapai 84 kasus. KPAI juga mencatat dan anak korban kekerasan seksual 116 kasus, kekerasan fisik/psikis 101 kasus.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mengatakan, ibarat fenomena gunung es data yang menimpa anak-anak tersebut masih terus bergerak karena masih banyak kasus yang tidak terlaporkan. Bahkan sepanjang 2023-2024 KPAI menemukan kasus anak melakukan kekerasan pada diri sendiri (selfharm) dengan angka di tingkat mengkhawatirkan. Sebagian kasus tersebut terjadi di satuan pendidikan.
“Angka kekerasan pada diri sendiri mencapai 46 kasus; 22 kasus tempat kejadian di satuan pendidikan atau di luar satuan pendidikan tapi masih menggunakan atribut sekolah,” ujar Aris, melalui keterangan resmi yang diterima BandungBergerak, Rabu 24 Juli 2024.
Dalam ranah dunia online atau daring, KPAI menyebut korban kejahatan di ranah daring terhadap anak semakin meningkat. Hingga Juli 2024, kasus anak korban cybercrime semakin meningkat, mulai dari anak korban kekerasan seksual, anak korban pornografi, anak korban eksploitasi, anak korban bullying, hingga anak korban judi online.
Data KPAI menjadi sinyal bahwa lingkungan tumbuh kembang anak tidak baik-baik saja atau darurat kekerasan. Akibatnya, kesehatan mental anak terancam, kemampuan anak untuk melakukan selfprotec dan selfdivence terhadap ancaman kekerasan atau pengaruh lingkungan negatif juga lemah.
“Akhirnya anak rawan menjadi korban kekerasan, bahkan pelaku kekerasan, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri,” jelas Arif.
Aris menekankan, pencegahan kekerasan bisa dilakukan dengan pengasuhan positif yang dilakukan oleh orang tua yang secara partisipatif memberikan perhatian, melakukan deteksi diri terhadap situasi mental anak. Semua upaya yang dilakukan oleh orang tua perlu memperhatikan prinsip kepentingan terbaik buat anak.
Tak hanya itu, Aris menegaskan pemerintah harus mendorong satuan pendidikan sebagai pengasuhan alternatif untuk melaksanakan penguatan perlindungan pada anak terkhusus di ranah digital.
“Secara taktis, pemerintah harus tegas menutup situs atau aplikasi gim yang bermuatan kekerasan anak, situs pornografi, judi online, serta segala bentuk cybercrime lainnya. Hal itu dilakukan untuk menciptakan ranah daring yang ramah anak, menghindarkan anak dari keterpaparan dan adiksi konten negatif yang mengancam kesehatan mental anak,” kata Aris.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Perundungan