Bergerak untuk Palestina Melalui Marwah Sejarah Indonesia
Aksi Wanggi Hoed dkk kali ini diikuti perempuan berkebangsaan Australia yang kebetulan lewat di Jalan Asia Afrika. Mereka sama-sama mengutuk Israel.
Penulis Nabila Eva Hilfani 27 Juli 2024
BandungBergerak.id – Beratribut bendera Palestina dengan sorban melilit di leher, Wanggi Hoed, seniman pantomim Bandung kembali turun ke jalan bersama seorang kawan dari gerakan Solidaritas Seni untuk Palestina, di monumen Dasasila Bandung, Jalan Asia Afrika, Bandung, Kamis, 25 Juli 2024. Mereka membawa pengeras suara, dupa menyala, dan potongan kardus bertuliskan “Tangkap Netanyahu” dan “Boycott Israel”.
Aksi Wanggi dan kawan-kawan Solidaritas Seni untuk Palestina ini menyerukan bahwa “Jenazah Bukan Angka, Cahaya di Dalam Diri Jangan Mati! Hiduplah!”. Seruan ini merupakan respons atas pernyataan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 19 Juli 2024 lau yang menegaskan bahwa pendudukan Israel atas wilayah dan permukiman Palestina adalah tindakan ilegal. Dunia internasional mendesak Israel menghentikan tindakan ini.
“Ya salah satunya (tujuan aksi) adalah reaksi kita terkait dengan keputusan dari Mahkamah Internasional atau pengadilan hukum internasional itu. Itu juga bagian dari bagaimana kedatangan atau hadirnya Benjamin Netanyahu di Amerika pada kongres di tanggal 24 Juli kemarin,” ucap Wanggi Hoed dengan wajah tegas dan serius.
Solidaritas Seni untuk Palestina bukan lagi gerakan kelompok di satu daerah, tetapi sudah tergabung dengan solidaritas global yang juga lantang menyuarakan isu Palestina di berbagai negara. Wanggi menyatakan, lawan yang dihadapi Palestina bukan lagi aparat, melainkan negara-negara barat yang selalu membangun narasi hingga masyarakat dunia terpecah belah.
Aksi Wanggi dan kawan-kawan dimulai dengan berjalan kaki dari tugu Simpang Lima hingga Tugu Dasasila Bandung. Aksi ini sebagai bentuk keprihatinan Wanggi dan kawan-kawan Solidaritas Seni untuk Palestina atas ketidakberartian kemanusiaan. Di saat genosida semakin telanjang, tetapi justru banyak pihak yang menutup mata.
Aksi yang dilakukan Kamis itu mendapatkan respons positif dari perempuan berkebangsaan Australia, Zoe yang secara tidak sengaja berada di sekitaran lokasi aksi. Bahkan Zoe ikut berpartisipasi dalam aksi pengutukan atas tindakan Israel di Palestina yang masih berlangsung hingga hari ini.
Zoe Reynolds adalah painted photography yang sering kali turun mengikuti aksi demonstrasi di negara asalnya. Genosida yang terjadi di Palestina mendorong Zoe untuk sukarela bergabung dalam aksi yang dilakukan Wanggi dan kawan-kawan Solidaritas Seni untuk Palestina.
“Setuju ya, international code sudah bilang ini genosida, ini melanggar peraturan dunia. Jadi ini bukan soal Palestina dan Israel saja, tapi itu lebih atas lagi (kemanusiaan). So, dunia harus menghargai dan menghormati peraturan dunia,” jelas Zoe dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih.
Perempuan Australia yang sering kali mengunjungi Indonesia untuk urusan pekerjaan ini juga mengungkapkan kesedihannya atas apa yang terjadi di Palestina.
“Saya sudah nenek-nenek ya, tapi ini pertama kali saya melihat perang di dunia yang hanya bisa saya tonton saja di sosial media, yang saya lihat sangat menyedihkan. Bayi-bayi dibunuh. Rakyat yang tidak terlibat sengaja dibunuh. Kasian mereka. Kejam sekali negara Israel,” ucapnya.
Zoe berharap Palestina bisa segera merdeka seperti Indonesia. Menurutnya, Indonesia pernah mengalami penderitaan selama dijajah Belanda. Hal serupa dialami Palestina.
“Itu mereka sudah ratusan tahun di sana, disuruh keluar, sumber daya alamnya seperti gasnya dicuri, makanannya dicuri, rumahnya dicuri, kasian ya. Bukan Israel sendiri (melakukan semua itu), tapi ada juga dukungan dari Amerika Serikat dan negara saya juga (Australia). Seharusnya (Australia) lebih nonblok,” terang Zoe soal harapannya mengenai Palestina dan sikap negaranya Australia.
Gerakan, Seni, dan Kemanusiaan
Wanggi dan kawan Solidaritas Seni untuk Palestina lainnya memulai aksinya dengan merias wajah khas seni pantomim. Tubuhnya berbalut pakaian serba hitam, mengenakan sorban yang menutupi leher hingga dada. Bendera Palestina dililitkan kuat pada tas yang dipanggul.
Mereka memulai aksi di tengah tugu Asia Afrika Simpang Lima. Mereka mengibarkan bendera Palestina sekaligus memamerkan teks-teks kutukan terhadap Israel yang dituliskan dengan spidol hitam dan merah di atas potongan-potongan kardus. Kutukan-kutukan ini ditunjukkan kepada para pengguna jalan.
Selesai dengan aksi pertamanya, Wanggi dan kawan Solidaritas Seni untuk Palestina melanjutkan aksinya dengan berjalan kaki menuju monumen Dasasila Bandung yang merupakan spirit antipenjajahan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Spirit inilah yang mesti dilakukan Indonesia dalam kasus Palestina.
“Salah satunya (tujuan) adalah bagian dari bagaimana kita menjaga marwah sejarah dari Konferensi Asia Afrika yaitu salah satunya adalah melawan kolonialisme dan imperialisme,” tutur Wanggi.
“Titik yang kita ambil adalah tugu Simpang Lima Asia Afrika. Di sana jelas ada naman-nama negara. Negara-negara yang terlibat, ada 29 negara dalam Konferensi Asia Afrika. Nah kita coba melihat negara-negara tersebut. Apakah mengakui Palestina? Ada sebagian. Namun yang selalu kita pertanyakan adalah di mana Asia Afrika punya sikap. Sejarahnya ada, tapi sikapnya belum ada, dan Indonesia punya hutang sejarang terhadap Palestina,” lanjut Wanggi dengan semangat yang terpancarkan dalam gerak tubuhnya.
Selama perjalanan menuju monumen Dasasila Bandung, sirine pengeras suara meraung-raung. Mereka tiba di depan monumen Dasasila Bandung yang tepat berada di depan Hotel Savoy Homann Bandung.
“Monumen Dasasila Bandung ini jelas menjadi bukti tertulis dalam sepuluh poin. Salah satunya bagaimana semangat melawan kolonialisme dan imperialisme,” ucap Wanggi.
Bukan lagi hanya sebatas memamerkan teks-teks seruan, seketika suara sirine diubah menjadi lantangan kutukan dan harapan. “Boycott Israel. Free Palestine. Boycott Israel. Free Palestine. Tangkap Netanyahu. Tangkap Netanyahu. Penjahat Kemanusiaan.”
Mereka lantas berbaring di atas kain hitam. Zoe Reynolds juga tak mau ketinggalan dalam aksi simbolik yang bermakna bergugurannya ribuan korban di tanah Palestina.
“Jenazah Bukan Angka, Cahaya di Dalam Diri Jangan Mati! Hiduplah!” menjadi tema yang tergambarkan melalui aksi dan atribut yang mereka gunakan. Dupa yang menyala menyebarkan suasana duka dengan sirine yang lantang terdengar berulang sebagai pengingat sedang banyaknya manusia yang dibantai hingga mati.
“Selalu orang melihat yang meninggal atau jenazah (korban di Palestina) itu adalah angka. Selesai di angka. Padahal itu adalah nyawa. Dia punya cahaya. Dia punya jiwa. Seperti yang ada di dalam diri kita masing-masing,” jelas Wanggi.
Baca Juga: Membela Palestina di Jalan Asia Afrika
Doa untuk Palestina dari Cikapayang
Satu Jam Hormat untuk Palestina
Perlawanan yang Belum Usai
Wanggi Hoed adalah seniman pantomim yang telah lama aktif menyuarakan isu-isu kemanusaiaan. Menjadi manusia seutuhnya menjadi dasar bagi Wanggi untuk tidak berhenti terlibat aktif dalam menyerukan isu-isu kemanusiaan.
“Bukan hanya sekadar komitmen dan konsistensinya, tapi balik lagi sejauh mana kita memandang diri kita sebagai manusia lagi. Sudah seperti apa sih, mencakup apa. Selalu mempertanyakan diri, mempertanyakan diri sendiri, seni saya berfungsi gak si? Atau jangan jangan ada problem,” tutur Wanggi.
Terlibat dan inisiatif bergerak menjadi upaya Wanggi merawat rasa kemanusiaan dalam dirinya. Stamina dan dasar literatur yang kuat menjadi bahan bakar keterlibatannya yang konsisten bergerak.
Sejak tahun 2023 dan tepat di tanggal 2 Maret 2024 sebagai langkah aksi isu Palestina pertamanya menjadi perjalanan yang belum begitu panjang, tetapi Wanggi Hoed telah melakukan aksi tidak terhitung banyaknya dan hal itu tidak akan berhenti hingga Palestina merdeka.
“Sampai Palestina merdeka,” ucapnya, tegas.
Wanggi juga berkata bahwa pada akhirnya Solidaritas Seni untuk Palestina bukan hanya bergerak untuk isu Palestina, lebih besar dari itu, tentang kemanusiaan di dunia.
“Kita juga ingin di Solidaritas Seni untuk Palestina ini bisa saling terhubung dengan solidaritas global untuk banyak hal. Dalam artian ini bukan hanya Palestina saja, kita juga ke Kongo, Kuba Venezuela, Papua, terutama Bangladesh,” ucapnya.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Nabila Eva Hilfani, atau artikel-artikel lain tentang Palestina