• Opini
  • Dewan Menimbang-nimbang Anakku Sayang

Dewan Menimbang-nimbang Anakku Sayang

Rancangan Undang-undang Dewan Pertimbangan Presiden diduga memuat agenda politik untuk mengakali hukum. Bukan sekedar mengganti nama jadi Dewan Pertimbangan Agung.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

6 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Pro-kontra seolah tidak pernah tandas di penghujung pemerintahan Bapak Joko Widodo. Kali ini, kontroversi menyeruak dalam isu Rancangan Undang-undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Konon, RUU inisiatif yang disahkan secara kilat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rapat Paripurna ke-22 Masa Sidang V, Kamis, 11 Juli 2024, ini memuat banyak agenda politis.

Meskipun begitu, kita harus lebih digdaya menghadapi kenyataan ini bahwa semua itu benar adanya. Namun, di sinilah momen bagi kita mengurai kebenaran di balik “bagi-bagi kue politik” ini atau murni demi progresivitas kekaisaran Jokowi dan suksesornya, Prabowo Subianto, calon presiden terpilih Indonesia untuk periode 2024-2029.

Baca Juga: Pascapemilu 2024, dari Pencitraan Berbasis AI hingga Sengitnya Parlemen
Menjaga Etika Generasi Muda Menuju Indonesia Tidak Cemas 2045
Krisis dan Ketidakadilan Sosial

Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Wantimpres

Sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah dilewati oleh kehadiran DPA. Hal itu dengan tegas disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan pelaksanaannya diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, dan disempurnakan kembali dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1978 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung. Saking pentingnya, keberadaan DPA dibuatkan bab khusus dalam konstitusi, yaitu Bab IV DPA. Tugas utama dan pertamanya DPA tidak lain adalah memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.

Gelombang reformasi kemudian mendatangi Indonesia di penghujung pemerintahan Soeharto di tahun 1998. Pasca tahun tersebut, wajah ketatanegaraan Indonesia berubah drastis dan yang terkena imbasnya adalah eksistensi DPA. Dalam amendemen keempat UUD Tahun 1945, DPA dihapuskan. Meskipun pewaris nama takhta dewan pertimbangan telah dihapuskan, roh dari jiwa penasihatnya tidak hilang. Hal itu disebabkan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan di negara seluas lima juta km2 ini perlu pendamping, memberikan masukan-masukan, nasihat, wejangan, untuk setiap langkah yang diperlukan guna lebih efektif dan efisien.

Oleh karena itu, wadah yang hilang keberadaannya bagi para great council ini, dilahirkan kembali dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Guna melegitimasi kehadirannya, nomenklatur hukum lembaga tersebut dimasukkan ke dalam satu rumpun bab yang diatur dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 16. Kemudian, diperkuat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Tugasnya sendiri sama dengan pendahulunya, yaitu memberikan nasihat dan pertimbangan presiden, diminta ataupun tidak diminta, dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Itu berarti, tidak ada yang berbeda dari DPA dan Wantimpres, hanya mungkin payung hukumnya saja yang berbeda secara nomenklatur dan sedikit substansinya. Berarti, aman, kan?

Masa Lalu Memang Estetis

Sudah ditegaskan, tidak banyak hal yang berbeda antara DPA dan Wantimpres. Namun, satu hal yang jadi sorotan, sekaligus pembeda dari sebelumnya, adalah keributan akibat substansi revisi UU Wantimpres ini. Misalnya, dalam Pasal 1A RUU Wantimpres, DPR berinisiatif mengubah kode nama lembaga tersebut menjadi DPA. Entah apa yang dipikirkan, spekulasi paling dini adalah romantisme masa lalu dan upaya mengenang kejayaannya. Bagi saya, penamaan “agung” punya kesan keren, megah, mewah, dan terhormat. Hakim saja disebut “yang mulia”, masa orang yang secara struktural dekat presiden, di bawahnya, disebut “dewan” atau “tuan penimbang”? Penamaan “pertimbangan agung”, punya konotasi luar biasa, selain kemuliaan, juga orang (agung) terhormat yang memberikan wejangan kepada sang agung yang lebih agung. Pantas saja, banyak anak bayi laki-laki Indonesia, juga perempuan, yang diberikan nama “Agung” oleh orang tuanya. Kesan doa terpancar dari nama tersebut agar kelak dia jadi orang agung yang adi luhur.

Sejarah dewan penasihat sendiri punya kehormatan tersendiri di berbagai bangsa. Misalnya, di Inggris, dewan ini merupakan badan eksekutif sejak abad ke-13, walaupun otoritas kekuasaan politiknya mulai melemah karena beralih ke kabinet di akhir abad ke-17. Tidak tanggung-tanggung, posisinya adalah penasihat raja, orang yang memiliki kehormatan untuk membisikkan nasihat-nasihat kebijaksanaan pada orang paling mulia di negeri itu. Bahkan, pengangkatannya mesti mengambil sumpah khusus dan layak disematkan atas namanya, “Yang Terhormat”. Keren, kan?

Dalam TV serial Game of Thrones, yang dibuat oleh David Benioff dan D. B. Weiss, sebagaimana terinspirasi dan didasarkan pada novel A Song of Ice and Fire karya George R. R. Martin, keberadaan seorang penasihat itu setara dengan Hand of the King atau tangan kanan raja atau bisa saja great council yaitu dewan penasihat yang juga menjaga sebagai master atau menteri di dunia nyata. Bisa dikatakan, Hand of the King lah sejatinya penasihat dan orang nomor dua di kerajaan. Tugasnya adalah memberi nasihat untuk segala hal, bahkan dapat memimpin kerajaan sementara ketika sang raja atau ratu tidak bisa memimpin melalui titah raja. Bila merujuk ke DPA Indonesia, siapa Hand of the King-nya? Bukan kah ada sembilan orang, yang berarti sembilan orang agung untuk memberi nasihat kepada orang yang lebih agung, presiden. Mungkin, itulah mengapa, nomenklatur Wantimpres diubah menjadi DPA dalam RUU Wantimpres.

Kesetaraan Gender Ketatanegaraan

Polemik berikutnya adalah RUU Wantimpres akan memosisikan lembaga ini menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain. Hal ini sudah dijelaskan oleh konstitusi dan UU Wantimpres bahwa kedudukannya secara struktural ada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Dengan perubahan struktural ini, artinya DPA memang akan direinkarnasi seperti pada era Orde Baru, di mana DPA sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. Muncul kesan adanya “kesetaraan” gender lembaga tinggi negara atau konsekuensi serius dari penamaan nomenklatur di pembahasan sebelumnya soal penamaan DPA. Masa gelarnya “agung” tapi berada di bawah ketiak presiden dan disetarakan dengan menteri yang dipilih presiden. “Independen, dong,” kiranya DPR memikirkan ini. Konsekuensi pandangan ini adalah DPA harus independen dan nonintervensi. Walau tugasnya mengintervensi keputusan presiden juga.

Kita mesti husnuzan, bahwa DPR lembaga yang visioner, dengan menempatkan DPA sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dan terlepas dari intervensi politis presiden, dapat berkontribusi dalam memberikan kebijaksanaan yang efektif dan murni. Atau, mungkin saja ini cara politikus untuk mendegradasi dan memangkas kekuatan presiden yang bak raja di Kings Landing, seperti di Game of Thrones.

Namun, hal yang jelas adalah bila konsepsi ini disahkan, maka tidak hanya pemerintah tidak menghormati hukum namun juga menabrak konstitusi. Mari kita bangun, pertama, DPA menjadi sejajar di RUU sedangkan UUD menyebutkan “bagian” dari kekuasaan pemerintahan negara; kedua, Pasal 12 Ayat (1) RUU menjelaskan bahwa pimpinan partai politik hingga organisasi kemasyarakatan diperbolehkan menjabat sebagai DPA, padahal tidak diizinkan UU Wantimpres; ketiga, jumlah anggota DPA diserahkan kepada presiden. Semua ini jika dirangkai akan menjadi cerita di mana seorang kaisar mengangkat great council atau dewan besar sesuai kehendak raja karena titah raja adalah mutlak dan absolut dan anggotanya dipilih dari siapa pun yang berhasil mendapatkan hati raja, syukur bila orang tersebut kompeten.

Dengan demikian, perubahan nama Wantimpres dan DPA dan sekelumit RUU Wantimpres baru bisa jadi direncanakan dengan saksama dan dalam tempo yang benar-benar singkat untuk memuat agenda politik dan mengakali hukum seperti permainan yang umumnya terjadi. Sulit untuk berprasangka baik di sini, tapi setidaknya kita paham bahwa ada upaya di internal kekuasaan untuk berbagi kue politik secara tersistematis dan perlahan membangun kekaisarannya sendiri. Tapi, house atau bangsawan mana yang akan berdiri di akhir?

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Sidik Permana, atau tulisan-tulisan lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//