Menengok Kabar Warga Dago Elos Setahun Setelah Tragedi 14 Agustus
Tanggal 14 Agustus 2023 tak bisa dilupakan warga Dago Elos. Penyerbuan dan gas air mata dari polisi melahirkan tragedi dan menimbulkan trauma.
Penulis Nabila Eva Hilfani 14 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Suasana Dago Elos mendadak mencekam kala gas air mata pertama kali meledak, Senin malam, 14 Agustus tahun lalu. Kabut asap yang memedihkan mata dan mencekik napas, warga berhamburan diiringi teriakan, isak tangis anak kecil yang ketakutan, suara berat langkah kaki dari boot-boot polisi yang terus berdatangan, lalu ada suara dobrakan pintu.
Semua itu masih begitu jelas dalam isi kepala warga Dago Elos. Termasuk Rosnita (39 tahun), salah seorang warga Dago Elos yang di malam penuh horor itu bersembunyi di rumahnya bersama anak-anak dan ibunya. Ia tidak melihat langsung bagaimana kejadian di luar rumah. Namun di persembunyiannya kecemasan dan ketakutan cepat merambat ke dalam rumah. Tubuhnya gemetar.
Rosnita waktu itu masih mengandung anaknya yang ketiga. Ia ditemani ibunya yang telah menginjak usia lansia. Tanpa suami, karena sedang bekerja menjadi perantau di ibu kota.
“Gak ada komandan, kosong,” demikian teriakan di luar rumah yang masih terngiang dalam pendengaran Rosnita. Waktu itu di luar rumah polisi sibuk menaiki pagar untuk mencari target sasaran.
Duduk dengan raut muka penuh pilu. Rosnita menceritakan kekhawatiran di malam 14 Agustus, bertepatan dengan hari ini. Ia mencemaskan anak dalam kandungannya. Sekarang anak itu sudah lahir dan baru bisa berdiri.
“Kalau kondisi lagi hamil kaya gitu kan, ya takutnya ada gangguan gimana kan, lahir saya. Apalagi lagi hamil, ngedengerin suara kan gitu. Takutnya ada apa-apa,” terang Rosnita.
Kengerian malam 14 Agustus 2023 juga masih begitu jelas dirasakan oleh Lia (42 tahun), perempuan yang keluarganya telah lama tinggal menetap di Dago Elos sejak tahun 1990. Dengan mata sedikit gemetar menahan air mata, Lia bersedia bercerita bagaimana pilunya pada malam tragedi itu.
“Sedihnya gini, karena banyak anak-anak, lansia, tetangga-tetangga saya yang mungkin udah bagian dari keluarga saya gitu kan. Mereka yang biasanya melihat di TV gas air mata, sekarang (saat malam tragedi) harus mengalaminya sendiri. Itu kayaknya sangat-sangat menyakitkan bagi saya pribadi gitu,” terang Lia.
“Ah sedih teh kalau diceritain mah. Ngeliat di lapangan sini udah pada caos semuanya gitu kan. Mereka (aparat) teh udah ke rumah-rumah warga (mencari, menggedor-gedor, dan mendobrak) tuh kayak yang kita ini kriminal. Kaya kita teh teroris, penjahat gitu. Padahal kita kan warga sah gitu kan, tapi perlakuan mereka bener-bener gitu,” lanjutnya.
Dampak serangan gas air mata dirasakan langsung Ade (44 tahun), warga Dago Elos lainnya. Anak-anak yang juga ikut menjadi korban asap gas air mata tak berdaya menangis kesakitan. Sebagian warga bahkan harus menerima pukulan dan pasrah dibawa petugas.
Ade sedang berada dalam kerumunan ketika gas air mata ditembakkan. Massa pun belingsatan. Ade yang tengah bersama keluarga, ayah, istri, dan anak harus terpisah karena semuanya panik.
“Termasuk saya dan kawan-kawan menyelamatkan diri masuk ke arah perkampungan, ke tempat tinggal maksud saya itu. Dengan kondisi masta itu udah perih. Terus napas itu udah tersengal-sengal. Mata tuh terasa perih, mungkin jalan juga agak remang-remang,” cerita Ade.
Luka Dalam yang Belum Juga Selesai
Tragedi Brutalitas Aparat, begitulah sebutan yang disematkan oleh warga Dago Elos untuk menyebut peristiwa 14 Agustus 2023. Bukan hanya sebuah ingatan buruk yang menempel begitu saja di benak mereka. Kengerian malam itu mengukir luka dalam yang membekas menjadi trauma tak terpulihkan.
“Kalau saya trauma. Traumanya teh kaya ngedenger suara anak-anak lari depan rumah aja langsung kebangun, malem, siang. Terus ngedenger ambulans itu tuh langsung kayak yang ketakutan,“ tutur Lia, yang juga masih merasakan kesal ketika kembali mengingat peristiwa itu, saat ditemui BandungBergerak.id di depan bale RW Dago Elos, Selasa, 13 Agustus 2024.
“Ada tetangga yang didobrak pintunya, yang anak kecil kakinya sampe itu (luka). Itu juga sampai sekarang, kalau saya gak salah dengar, masih takut sama polisi,” lanjutnya.
Ketakutan akan aparat yang menjadi pelaku pengukiran trauma malam itu juga membuat anak Ade urung bermimpi menjadi polisi. Terlalu banyak kengerian yang disaksikan gadis kecil usia 5 tahun di malam itu.
“Anak saya itu yang cita-citanya pengin jadi polisi itu udah ga ada (cita-citanya). Dia bilang ‘polisi itu jahat’, karena pas kejadian itu ada di tengah-tengah dan semua (aparat) teriak-teriak yang udah dimengerti sama anak-anak kecillah,” terang Ade, ketika ditemui Selasa malam, 13 Agustus 2024.
Dampak psikologis juga dirasakan Dea (22 tahun). Berbulan-bulan pascakejadian ia menjadi pendiam dan memendam marah.
“Aku gak tau waktunya beberapa lama. Aku sempat gak bisa menceritakan kembali secara detail gimana ceritanya tanggal 14 Agustus, karena yang muncul adalah setiap cerita ya marah. Dan aku tuh kalau marah tuh nangis gitu. Itu gak enak banget,” jelas Dea, ditemui BandungBergerak.id Selasa, 13 Agustus 2024.
“Aku sempet ketemu psikolog juga. Terus dia bilang bahwa ‘semua yang kamu rasakan itu valid dan kamu harus mengeluarkan itu,’ jadinya aku mengeluarkan semuanya itu dengan orang yang memang aku percaya,” terang Dea saat menceritakan jalan tempuh penyembuhan trauma yang ia pilih.
Baca Juga: Kronologi Kaos Penutupan Jalan di Dago Elos, Gas Air Mata Melukai Warga
AJI Bandung Kutuk Kekerasan pada Jurnalis dalam Kaos Dago Elos
Hidup Mesti Berlanjut
Warga Dago Elos melanjutkan kehidupan mereka yang tercerabut luka-luka akibat trauma masa lalu. Mereka juga terus memperjuangkan tanah yang kini dalam proses persidangan.
“Kalau selama satu tahun ini, ya rutinitas tetap kita lakukan, karena ya kita juga perlu hidup ya, tapi perjuangan juga kita masih berjuang, karena kasus ini (kasus pengklaiman tanah warga Dago Elos oleh Muller dan PT. Dago Inti Graha) belum selesai-selesai ya. Apalagi kasus 14 Agustus udah seperti hilang begitu saja. Padahal kita udah melapor ke kompolnas. Komnas HAM. Tapi kan belum ada hasil apa-apa gitu,” terang Ade, dengan suara yang lesu.
Sementara Rosnita memilih berusaha melupakan peristiwa kelabu 14 Agustus lalu. “Jangan sampai terus-terusan kita ngingetin yang kaya gitulah. Da kita juga ada masa depan. Kita mah banyak berdoa ajalah sama Yang Di Atas, selamat dunia akhir aja,” ucap Ros yang saat ini memilih fokus terhadap perkembangan anak-anaknya.
Bertahan untuk hidup juga bertahan untuk memperjuangkan tanahnya. Satu tahun berlalu melewati segala bentuk perlawanan dan persidangan.
“Kalau disebut lelah, ada ya rasa lelah. Rasa cape ada, tapi kalau liat anak-anak, liat orang tua teh semangat lagilah, karena ini kan buat masa depan anak saya gitu ya,” tegas Ade yang memilih keluar dari tempat kerja asalnya untuk fokus berjuang bersama warga Dago Elos lainnya.
“Mungkin traumanya diabaikan dulu demi memperjuangkan si duo Muller ini biar dipenjara,” timpal Lia, tegas.
Meski membuat luka yang begitu dalam, tragedi malam 14 Agustus justru semakin memperkuat solidaritas warga Dago Elos untuk berjuang. Dari sekelompok kecil yang berjuang menjadi sekelompok besar yang berperang mempertahankan hak tanah milik warga Dago Elos.
“Setelah kejadian itu, makin banyak warga lagi, yang tadinya mungkin cuma sekadar tahu dan mantau lewat sosial media, ataupun mungkin warga yang tinggalnya di sini tapi lagi jauh di mana. Setelah malam itu kita ngadain diskusi, banyak banget warga yang akhirnya datang, karena untuk tau ini tuh ada apa dan kenapa gitu kan,” terang Dea.
Dea juga menjelaskan, rasa takutlah yang membuat sebagian warga sebelumnya belum berani ikut bergabung secara langsung berjuang mempertahankan tanah Dago Elos. Pada akhirnya, harapan akan terbebasnya dari persoalan perampasan tanah menjadi satu keinginan yang terus terucap dari setiap mulut warga Dago Elos.
Bebas, merdeka, kembali menjalani hidup tanpa bayang-bayang kecemasan. Penjatuhan hukuman kepada pihak yang telah berusaha merebut dan pihak yang membuat trauma, tidak lupa terucap dalam kalimat panjang tentang harapan. Meski luka masih menganga, warga Dago Elos tetap akan berdiri, bersatu, dan berjuang.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain Dago Elos