• Opini
  • Pengadilan Kasus Pembunuhan Dini Sera Afrianti, Kebobrokan Nyata Sistem Peradilan

Pengadilan Kasus Pembunuhan Dini Sera Afrianti, Kebobrokan Nyata Sistem Peradilan

Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memutus bebas Gregorius Ronald Tannur atas kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. Hakim mengabaikan fakta persidangan.

Rachmad Yunus Indrayanto

Musisi & Junior Associate Advocate. Dapat dihubungi di media sosial Instagram @Haarahetta

Aksi unjuk rasa pada pengadilan kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti dengan terdakwa Gregorius Ronald Tannur. (Foto: Dokumentasi Rachmad Yunus Indrayanto)

15 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Hujan bulan Juni memiliki ketabahan, kebijakan, serta kearifan dalam hati pak Sapardi Djoko Damono. Tetapi Hujan Bulan Juli di Pengadilan Negeri Surabaya penuh dengan air mata merah darah dan sumpah serapah yang terlontar dari gemuruh gunung berapi yang meledak, menjadikan tempat suci untuk mendapatkan keadilan bagi para pencarinya hancur lebur seketika itu juga pada hari Rabu 24 Juli 2024 dalam sidang terbuka untuk umum kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti yang dilakukan oleh Terdakwa Gregorius Ronald Tannur.

Pada putusan dengan perkara nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby justru majelis hakim menjatuhi vonis bebas dan menyatakan terdakwa tidaklah terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan tingkat pertama tersebut sangatlah mencederai hukum, dan akan membuat masyarakat tidak percaya lagi dengan Lembaga Peradilan yang digadang-gadang sebagai tempat mendapat keadilan oleh seluruh masyarakat.

Kehancuran dan kemerosotan hukum di Indonesia saat ini sangat nyata adanya. Bagaimana tidak, dengan putusan semacam itu akan tercipta ke chaos-an dalam kehidupan masyarakat kita ke depannya. Putusan tersebut seperti malapetaka bagi hukum itu sendiri, kebobrokan hakim dalam perumusan pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang mengabaikan kebenaran, fakta-fakta, pengetahuan atau keilmuan dari ahlinya menjadikan putusan tersebut berbau busuk.

Baca Juga: Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)
Negara Harus Bertanggung Jawab Memberikan Bantuan Hukum Kepada Warga Dago Elos
Bahasa Hukum dan Titik Balik Sebuah Keadilan

Fakta yang di Abaikan dalam Persidangan

Pada kasus ini sungguh sangat unik, di mana pendapat dari ahli pidana Sapta Apriliantilo, S.H., M.H., LLM. yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum justru tidak dipertimbangkan sama sekali keterangannya di persidangan dalam pertimbangan hakim. Justru dengan mengutip keterangan ahli bernama Eddy Suzendi, A.Ma PKB, S.H. sebagai ahli Keselamatan berkendara atau Kecelakaan Lalu Lintas yang justru memberikan keterangan seperti seorang ahli fisika menurut saya dengan menjabarkan gaya sentrifugal dan gaya inersia. Menghadirkan ahli keselamatan berkendara atau kecelakaan lalu lintas adalah suatu kebodohan menurut saya.

Bukti rekaman CCTV pun juga diabaikan kenyataannya bahwa korban sempat mendapat beberapa penganiayaan yang dilakukan oleh Ronald dengan dipukul menggunakan botol Tequila. Dalam proses rekonstruksi reka adegan ulang di TKP pun didapati fakta bahwa terdakwa terbukti memang melindas korban. Fakta yang ada dan sudah terekam di CCTV adalah murni kesengajaan pelaku memukul korban dengan botol, melindas korban, membiarkan korban sekarat dan dimasukkan bagasi mobil.

Keterangan Terdakwa juga sangat kontradiktif, bahwa terdakwa mengaku pernah pacaran lalu putus dan menjadi teman dekat. Namun ketika ditanya oleh security mall di TKP saat hari kejadian, terdakwa mengaku tidak mengenal korban, hingga ditanya lagi baru mengaku kenal dengan korban. Terlepas dari kebohongan saat hari kejadian pun saat dalam persidangan, terdakwa masih berusaha mengelak dalam keterangannya seperti dia tidak melakukan kekerasan seperti memukul, menendang dan mencekik leher korban sesuai yang tertuang di BAP Kepolisian. Pengakuan konyol semacam ini pun majelis hakim tidak dapat menarik kesimpulan secara bijak dan benar mengenai rangkaian kebohongan yang sengaja dibuat oleh Terdakwa.

Penegakan hukum adalah persoalan nyata saat ini, ada banyak faktor yang mendukung proses terciptanya penegakan hukum salah satunya adalah para pejabat penegak hukum itu sendiri baik itu Kepolisian, Jaksa, maupun Hakim dalam lingkup peradilan. Dr. H. Ishaq, S.H., M.Hum. dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Hukum mengutip J.E. Sahetapy yang berpendapat bahwa, “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan, penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.

Keilmuan yang Sia-sia, dan Tak di Anggap

Muruah keilmuan harusnya dijaga dan dijadikan pedoman dalam mengambil setiap langkah maupun keputusan yang akan berdampak sangat besar di masyarakat, namun apakah pada kenyataannya demikian? Seperti pada putusan perkara nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby seakan majelis hakim tidak menganggap bahkan mengesampingkan bukti-bukti yang dikemukakan oleh para ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.

Bukti berupa Visum et  Repertum Nomor KF.23.0465 yang dilaksanakan oleh Dokter Pemeriksa bernama dr. Renny Sumino, Sp.FM., M.H. dengan kesimpulan sebab kematian almarhumah Dini Sera Afrianti karena luka robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan tumpul sehingga terjadi pendarahan hebat. Dalam beberapa poin bahwa luka yang ada di kepala dan di leher tidak menjadi penyebab kematian korban, luka tersebut dapat terjadi pada pencekikan. Sedangkan kekerasan tumpul pada perut korban mengakibatkan robeknya organ hati dan itulah yang menyebabkan matinya korban.

Hakim justru mempunyai pendapat sendiri dengan penyebab kematian korban, bahwa korban meninggal karena alkohol atau minuman keras. Kenyataan bahwa dalam kasus pembunuhan ini hakimlah yang seakan lebih tahu penyebab kematian korban daripada ahli Forensik dan menghiraukan fakta-fakta keterangan dalam Visum et  Repertum Nomor KF.23.0465 pada pertimbangan hukumnya.

Saksi ahli pidana pun diragukan kebenarannya bahkan tidak pula dijadikan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan, seakan sia-sia sudah kehadiran Sapta Apriliantilo, S.H., M.H., LLM. yang sudah menjabarkan panjang lebar mengenai delik Pembunuhan Pasal 338 KUHP, delik Penganiayaan Pasal 351 ayat (3) KUHP, dan delik Kelalaian yang menyebabkan Matinya seseorang dalam Pasal 359 KUHP.

Yang Pintar Saja Bodoh kok

Seketika saya teringat dengan tulisan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil dengan Cak Nun dalam bukunya yang berjudul Arus Bawah bahwa, orang bodoh itu tidak bisa bodoh dan orang pintar tidak bisa tidak makin pintar untuk membodohi orang bodoh. Sama seperti vonis para hakim bodoh yang justru malah membebaskan pelaku pembunuhan dan penganiayaan hingga matinya seseorang yang sudah jelas memiliki bukti-bukti cukup untuk dapat dijatuhi hukuman seberat-beratnya.

Seorang anak kecil diberitahu bahwa yang terasa manis ini namanya garam maka lama-lama dia akan percaya. Jadi akan sangat berbahaya ketika kita membiarkan putusan sampah yang dalam pembukaannya saja ada pemanis berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA tapi dalam putusan Mengadilinya tidak ada keadilan yang dirasakan oleh korban maupun keluarga korban.

Hakim dalam perkara ini sudah sepantasnya untuk dicopot jabatannya, dipecat dari kedinasan, dan dijatuhi sanksi sosial lainnya. Kepintaran yang membuat mereka menjadi sangat bodoh hingga mengabaikan aturannya sendiri dalam Keputusan Bersama MA dan KY No. 047/KMA/SKB/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, di mana poin yang diabaikan adalah Hakim seharusnya berperilaku adil dan tidak memihak kepada salah satu yang berperkara karena hakim harus bersifat objektif sesuai fakta yang disajikan, hakim juga wajib menghindari terjadinya kekeliruan membuat keputusan dengan mengabaikan fakta persidangan dalam mengadili suatu perkara.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang hukum

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//