Mengurai Dampak Sosial dan Ketenagakerjaan dari Wacana Pensiun Dini Operasional PLTU Cirebon 1
Transisi energi dengan mempensiundinikan operasional PLTU Cirebon 1 mesti ditopang dengan kebijakan yang mendukung pemulihan masalah lingkungan, sosial, dan ketenaga
Penulis Awla Rajul17 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Transisi energi menjadi isu yang terus disuarakan oleh banyak pihak, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. LBH Bandung, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Salam Institute menerbitkan Riset Transisi Energi Berkeadilan di Jawa Barat: Studi Kasus PLTU Cirebon 1 bagi Aspek Sosial dan Ketenagakerjaan. Riset ini fokus membahas dampak pemensiunan dini PLTU Cirebon 1 pada aspek sosial masyarakat dan tenaga kerja di sekitar PLTU.
Perwakilan LBH Bandung Maulida Zahra menerangkan, riset merupakan upaya lain yang dilakukan LBH Bandung untuk melakukan advokasi bantuan hukum. Sebab, LBH Bandung mengadvokasi bantuan hukum pada permasalahan struktural bukan hanya dengan upaya litigasi, melainkan juga dengan upaya nonlitigasi, seperti riset dan kampanye publik.
“Kami berharap riset bersama ini akan bermanfaat. Karena transisi energi mau gak mau akan terdampak untuk seluruh aspek,” ungkap Maulida, di kegiatan Diseminasi Riset Transsi Energi Berkeadilan di Jawa Barat yang diselenggarakan secara hibrida, Kamis, 15 Agustus 2024.
Proyek Strategis Nasional PLTU Cirebon 1 dipilih sebagai objek riset lantaran pembangkit yang beroperasi mulai 2012 ini merupakan pilot project yang akan dipensiundinikan pada 2035 mendatang. Selain aspek sosial yang cenderung sudah sering diperhatikan, aspek ketenagakerjaan, sayangnya jarang dibahas. Padahal, pensiun dini operasional PLTU ibarat dua mata pisau, ia akan berdampak pada masyarakat sekitar dan juga bagi para pekerja di PLTU.
“Wacana pensiun dini PLTU Cirebon 1 berpotensi berdampak terhadap kehidupan bermasyarakat, akan pula berdampak pada bagaimana nasib para pekerja, baik pekerja tetap maupun tidak tetap yang menggantungkan hidupnya di sana. Transisi energi juga akan terjadinya transisi pekerja,” ungkap Maulida yang merupakan salah satu penulis riset ini.
Metode yang digunakan dalam riset tersebut, lanjut Maul, dilakukan dengan melibatkan pendataan secara langsung pada masyarakat sekitar yang berpotensi terdampak secara langsung. Selain itu, riset ini juga memuat uraian teoritis dan konseptual berkaitan dengan skema pensiun dini PLTU, serta studi pustaka lainnya yang relevan.
Pengumpulan data empiris dilakukan pada Maret hingga April 2024 dengan mewawancarai warga desa sekitar PLTU Cirebon 1, yaitu desa Waruduwur, Citemu, Kanci Wetan, dan Kanci Kulon. Sedangkan warga yang diwawancara di antaranya merupakan nelayan, pencari kerang, pemilik warung sekitar, pekerja PLTU, dan istri pekerja PLTU.
Maulida menyebut, pembangunan infrastruktur memang membutuhkan lahan dan akan berdampak pada alih fungsi lahan. Pembangunan dan pengoperasian PLTU, khususnya, berdampak pada merosotnya kesehatan warga dan kualitas lingkungan hidup.
“Dampak kesehatan memang masih perlu didalami. Tetapi temuan setidaknya sudah membuktikan kalau pembangunan infrastruktur perlu mempertimbangkan aspek hidup yang sehat dan nyaman. Aspek sosial harus memperhatikan hak-hak. Jadi dalam pembangunan mau tidak mau harus diperhatikan,” kata Maulida. “Transisi energi yang ideal itu yang layak dan menyejahterakan, bukan asal.”
Maulida menegaskan, dalam pembangunan dan wacana pemensiunan dini bagi masyarakat sekitar PLTU Cirebon 1, negara harus menjamin hak-hak sosial masyarakat, di antaranya hak atas pembangunan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan hak partisipasi publik. Ketiga hak ini, ditemui tidak dijamin oleh negara. Lantaran pembangunan dilakukan tiba-tiba, terjadi beberapa kerusakan lingkungan, hingga minimnya partisipasi masyarakat.
Maulida lantas membacakan rekomendasi-rekomendasi dari dua aspek. Pada aspek sosial, PLTU dan pemberi dana wajib memastikan masyarakat lokal terdampak dapat memahami secara komprehensif terkait pensiun dini PLTU Cirebon 1. Negara juga harus menjamin terbukanya akses informasi untuk pelibatan bermakna masyarakat lokal.
Negara juga dipandang perlu membentuk produk hukum khusus yang mengatur hak-hak masyarakat lokal terdampak, termasuk pengawasan serta konsekuensi hukumnya dalam konteks pemensiunan dini PLTU. Selain itu, juga melaksanakan kajian dampak lingkungan dan sosial kembali agar relevan dengan kondisi saat ini.
Pada aspek ketenagakerjaan, negara wajib menjamin dan tegas dalam urusan pemenuhan hak-hak normatif pekerja PLTU dipenuhi sesuai standar dan aturan yang berlaku. Salah satunya, melalui revisi Undang-undang Cipta Kerja karena dalam undang-undang ini banyak hak pekerja yang terampas.
Negara harus mengawasi ketaatan regulasi ketenagakerjaan, menjamin pelibatan pekerja dan serikat pekerja termasuk melindungi kepentingan pekerja, membuat strategi konkret untuk reskilling dan back to work bagi pekerja terdampak. Negara juga harus menjamin kebebasan berserikat bagi pekerja PLTU sebagai perwujudan pemenuhan hak pekerja.
“Lalu yang terakhir itu menjadikan skema just transition sebagai momentum menyamaratakan status pekerja, khususnya PKWT/pekerja outsourcing agar terciptanya transisi energi yang berkeadilan yang benar-benar adil bagi seluruh aspek yang terdampak,” ungkap Maulida.
Menagih Komitmen Keadilan Negara
Perwakilan ICEL Syaharani menerangkan, sudah empat kebijakan berkaitan dengan transisi energi berkeadilan, yaitu dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Perpres 112/2022, RUU EBT, dan RPP KEN. Sayangnya, belum ada kebijakan khusus yang terkait ketenagakerjaan pada aspek transisi energi.
Dari empat kebijakan itu, lanjut Syaharani, ada tiga temuan yang perlu menjadi perhatian bersama.
Yang pertama, empat kebijakan itu belum ada komitmen politik untuk akselerasi energi bersih. Ia menilai, kebijakan energi di Indonesia sangat teknokratis, buta terhadap sektor lain, tidak mempertimbangkan sektor lain yang terdampak akibat transisi energi. Bahkan terkait regulasi ketenagakerjaan belum ada sama sekali regulasinya, baik yang membahas upscaling, kecelakaan kerja, dan sebagainya.
“Empat dokumen ini buta terhadap sektor lain, misalnya gak membahas terkait bagaimana dampak sosial ke masyarakat atau bagaimana agenda dekarbonisasi ini berdampak untuk masyarakat sekitar. Jadi sebenarnya ini menjadi tanda tanya besar terkait kebijakan energi kita,” ungkap Syaharani dalam kegiatan Diseminasi Riset.
Adapun yang kedua, kebijakan itu tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ketenagakerjaan. Sedangkan yang ketiga terkait tidaknya adanya keterlibatan partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan ini, Rani, demikian ia kerap disapa, menyebut bahwa sektor energi dan kebijakannya hanya fokus terhadap hal-hal teknis saja. Sedangkan partisipasi bermakna masyarakat, akses informasi, tidak ada sama sekali.
Padahal, dalam membangun kerangka keadilan dalam kebijakan transisi energi, ada tiga aspek pertanyaan yang perlu ditanyakan, yaitu aspek lingkungan, aspek sosial-ekonomi, dan aspek tata kelola.
Rani menerangkan, masih adanya tantangan dan hambatan transisi energi berkeadilan di Indonesia. Di antaranya peraturan dan kebijakan yang belum memadai untuk mendukung level of playing field energi terbarukan, data dan informasi yang tidak memadai untuk mendukung penyusunan kebijakan, serta pendekatan top-down dalam pengelolaan energi dan sulitnya melakukan desentralisasi energi.
Selain itu, ada tantangan safeguard yang lemah termasuk jaminan partisipasi dan pemenuhan hak-hak dasar, pendanaan untuk kondisi pemungkin energi transisi yang minim, dan kelembagaan yang kompleks, multiaktor, multilevel, dan multidimensi di tengah ego sektoral dan silos.
“Menegaskan bahwa secara prekondisi ini tidak mendukung adanya transisi energi yang berkeadilan,” tegasnya.
Baca Juga: Pegiat Lingkungan Jawa Barat Menagih Hutan yang Hilang di Cisoka
Mempertanyakan Hak-hak Publik dalam Operasional Kereta Cepat Whoosh dan Proyek Infrastruktur Lainnya
Bandara Kertajati masih Dihinggapi Sepi, Warga Berharap ada Banyak Moda Transportasi
Kondisi di Tapak
Siti Latifah dari Salam Institute berpendapat, pemerintah sejak awal tidak mempertimbangkan aspek sosial dan spasial di lokasi. Ketika pertama kali dibangun, kehadiran PLTU Cirebon 1 berdampak langsung kepada para petambak garam, ikan, dan udang di Kanci. Namun, hadirnya PLTU berdampak banyak pula pada nelayan-nelayan kecil pencari rebon, nelayan rajungan, dan perajin terasi.
Sedangkan masyarakat Waruduwur mulai kehilangan sumber uang mereka, yaitu kerang hijau. Latifah menyebut, kerang hijau ibarat mesin ATM bagi masyarakat Waruduwur. Kapan saja mereka membutuhkan uang, mereka akan mengambil kerang dan menjualnya. Tetapi pascaberoperasinya PLTU Cirebon 1 hasil kerang hijau menurun.
“Kemudian itu hilang begitu saja. Ada yang masih beroperasi tapi juga terdampak, karena berdebu, garamnya hitam, dan lainnya. Sehingga keuntungannya gak sebanding. Akhirnya memicu penolakan-penolakan. Mereka tentu saja melakukan penolakan karena berbagai aspek persoalan dari masyarakat terdampak tadi,” katanya.
Selain itu, sebenarnya sedikit sekali warga sekitar yang bekerja di PLTU Cirebon. Bahkan, para pekerja di PLTU sebenarnya berhadapan dengan kondisi baru, yaitu terancam tidak bekerja karena wacana pensiun dini. Kebanyakan para pekerja di PLTU dengan skema alih daya (outsourcing) bahkan berharap PLTU tidak ditutup.
“Berdirinya PLTU itu katanya untuk menyerap tenaga kerja, tapi nyatanya enggak. Sebab PLTU ini padat modal, bukan padat karya,” kata Latifah.
Latifah menyebut, ada dampak sosial yang tak bisa dihitung secara materil lantaran adanya PLTU Cirebon 1 hingga mencuatnya wacana pensiun dini, yaitu peran ganda perempuan nelayan yang semakin berat karena suami sering tidak melaut lantaran hasil tangkapan yang sedikit. Ada pula fenomena penurunan struktur masyarakat nelayan dari juragan menjadi buruh serabutan, dan timbulnya konflik horizontal antara warga karena hadirnya PLTU yang menyebabkan hilangnya tradisi guyub.
Dalam struktur masyarakat pesisir, lanjut Latifah, ada tipologi orang laut dan orang darat. Orang laut sebagian besar aktivitas sosial-ekonomi dilakukan di laut. Orang laut merupakan penduduk lokal yang kebanyakan berpendidikan rendah, cenderung tidak religius, dan apatis terhadap persoalan politik. Kondisi ini berkebalikan dengan orang darat, meski sama-sama masyarakat pesisir.
Orang darat beraktivitas sosial ekonomi di darat, kebanyakan merupakan pendatang atau penduduk lokal yang sudah tidak melaut lagi. Mereka biasanya cenderung kaum terpelajar, religius, dan berperan dominan dalam pemerintahan. Konflik horizontal terjadi, misalnya, dana CSR dari PLTU dikelola oleh orang darat yang tidak mempertimbangkan aspek kesulitan yang dialami orang laut. Atau perebutan wilayah tangkap antarnelayan.
“Ada perbedaan masyarakat darat dan laut, membuat adanya permasalahan sosial semakin meruncing,” terangnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional