• Berita
  • Asian African Reading Club Merayakan Ulang Tahun Ke-15 dengan Sarasehan Antologi Setara tak Seteru

Asian African Reading Club Merayakan Ulang Tahun Ke-15 dengan Sarasehan Antologi Setara tak Seteru

Asian African Reading Club (AARC) genap berusia 15 tahun. Meluncurkan Antologi Setara tak Seteru, kumpulan esai tentang literasi.

Komunitas Asian African Reading Club (AARC) memperingati ulang tahun yang ke-15 tahun dengan menggelar Sarasehan Penulis Antologi Setara tak Seteru, Rabu, 14 Agustus 2024 di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah/BandungBergerak)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 17 Agustus 2024


BandungBergerak.idLima belas tahun umur yang cukup panjang untuk sebuah komunitas diskusi buku di negara dengan tingkat literasi rendah. Apalagi menurut UNESCO, Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah dalam hal minat baca. Oleh karena itu, bertahannya Asian African Reading Club (AARC) sampai saat ini adalah sebuah karunia tersendiri.

Dalam merayakan umurnya yang ke-15 tahun, AARC menggelar Sarasehan Penulis Antologi Setara tak Seteru, Rabu, 14 Agustus 2024 di Museum Konferensi Asia Afrika.

Antologi ini hasil pengumpulan esai-esai mengenai isu kesetaraan yang diwadahi AARC. Ada 34 esai yang terkumpul dalam antologi karya penulis-penulis dengan latar belakang berbeda-beda.

Pemilihan tema Setara tak Seteru tak lain berasal dari kegelisahan yang terjadi di masyarakat, di mana masih banyak ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi di Indonesia maupun dunia. AARC merasa bertanggung jawab dalam menyuarakan semangat Bandung dalam hal kesetaraan, toleransi, dan hidup berdampingan secara damai sebagaimana amanat Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Sarasehan Penulis Antologi Setara tak Seteru dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 stanza, lalu dilanjut dengan agenda sambutan dari beberapa pendiri awal AARC, yaitu Nunun Nurhayati, Deni Rachman, serta Adew Habtsa. Noviasari Rustam selaku Kepala Museum Konferensi Asia Afrika juga menyampaikan pengantar dan dilanjut dengan sesi pemotongan tumpeng secara simbolis oleh Adew Habtsa.

Salah satu pembicara sekaligus penulis esai di antologi tersebut adalah Soeria Disastra, seorang sastrawan sekaligus penerjemah karya-karya sastra Tionghoa. Ia pun memberikan pandangannya mengenai kesetaraan.

Menurutnya, Pancasila sangatlah sederhana tetapi sudah mencakup hakikat nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan umat manusia, khususnya kebudayaan Indonesia. Pancasila merupakan hasil dari kebijaksanaan dan kejeniusan para pendiri bangsa Indonesia dengan kandungannya yang memanusiakan manusia.

“Salah satunya dari tanah Sunda. Ada jargon silih asih silih asah silih asuh, itu sebetulnya adalah kesetaraan antarmanusia. Tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah,” ujar Soeria Disastra.

Ia juga menambahkan, keadaan di Indonesia sekarang ini benar-benar mengkhawatirkan. Seperti banyaknya perseteruan antarkelompok, ras, suku, atau agama yang menimbulkan perpecahan bangsa. Ia mempertanyakan mengapa bangsa Indonesia tidak bersatu untuk membangun bangsa dan kebudayaan umat manusia.

“Jangan pasea wae ungal dinten. Jangan ribut aja. Kapan kita akan membangun bangsa kalau ribut terus?” keluh Soeria.

Selain Soeria, ada juga pembicara lain yang meramaikan perayaan tersebut, seperti Muwalina Syahdina, Ojel Sansan Yusandi, Franky Elboin Lingga, dan Topik Mulyana. Mereka berlima merupakan beberapa penyumbang esai dari 34 penulis dalam antologi buku Setara tak Seteru.

Baca Juga: Dua Belas Tahun Mendaras Asia Afrika
BANDUNG HARI INI: Membangkitkan Semangat Literasi dengan Membaca Buku Asia Afrika
Membaca Sastra Tiongkok Indonesia Bersama Asian African Reading Club

Bertahannya AARC Bukanlah Suatu Kebetulan

Untuk mempertahankan suatu komunitas mengenai literasi di negara ini sangatlah tidak mudah. Perlu usaha ekstra dalam mengembangkannya agar tak mati dan tertelan di dalam masyarakat.

Adew Habtsa, atau yang akrab disapa Mang Adew mengungkapkan, bahan bakar yang dipakai dalam mengendarai AARC sendiri adalah nilai kebersamaan lewat hidup berdampingan secara damai.

“Jadi AARC seakan-seakan sebagai rumah, untuk belajar mengenai nilai-nilai (kebersamaan) itu,” ujar Mang Adew.

Dalam awal mula pembentukan Asian African Reading Club pun, Mang Adew sudah siap menghadapi segala konsekuensi yang ada. Ia sadar bahwa mendirikan komunitas yang menempuh perjalanan melalui buku dan diskusi sama saja dengan menjadikan diri sebagai minoritas di negara ini.

“Tapi, saya mah senang dengan jalan sunyi ini. Gimana lagi, kan ini mah sukarela. Saling mengerti aja, tidak memaksakan,” ujar Mang Adew yang juga musikus balada Bandung.

Untuk pertama kalinya AARC merayakan ulang tahun dengan mengundang pihak dari luar Museum Konferensi Asia Afrika. Sebelumnya, perayaan-perayaan yang dilakukan hanya dilakukan oleh pihak internal museum.

Mang Adew berpendapat, mempertahankan komunitas seperti Asian African Reading Club diperlukan minat yang sama dari partisipannya. Akan sulit untuk bertahan jika tidak menemukan suatu kecenderungan yang sama.

“Setelah menemukan minat yang sama barulah menghubungkan dengan minat baca. Sehingga ke depannya hal itu akan membuka pintu baru bagi setiap orang yang berpartisipasi di dalam AARC,” ujar Mang Adew.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah, atau artikel-artikel lain tentang Komunitas Asian African Reading Club Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//