• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Membangkitkan Semangat Literasi dengan Membaca Buku Asia Afrika

BANDUNG HARI INI: Membangkitkan Semangat Literasi dengan Membaca Buku Asia Afrika

Asian African Reading Club dimulai 15 Agustus 2009. Kini, komunitas sudah berusia 15 tahun dan konsisten membaca buku berkaitan dengan Asia Afrika.

Kegiatan Asian African Reading Club yang dimulai 15 Agustus 2009, kini telah berusia 15 tahun. AARC rutin menggelar membaca buku bersama di Museum Asia Afrika setiap hari Rabu. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman15 Agustus 2022


BandungBergerak.id – Kesibukan dan kepadatan aktivitas warga di kawasan pusat Kota Bandung sudah menjadi santapan warga kota setiap harinya. Para pengunjung sibuk berswafoto berlatarkan gedung-gedung tua di sana dan para pedagang sampai para cosplayer sibuk menarik perhatian pejalan kaki.

Di tengah kesibukan tersebut, tepatnya di salah satu ruangan di Museum Konferensi Asia Afrika, sejumlah orang dengan beragam usia dan latar belakang juga turut sibuk meramaikan aktivitas di Kota Bandung. Kegiatan mereka terutama setiap Rabu sore.

Namun, mereka bukan sibuk berswafoto, bukan pula sibuk berkumpul-kumpul biasa, akan tetapi mereka sibuk mendaras bab demi bab buku yang membahas soal Asia-Afrika. Mereka menyebut perkumpulannya dengan nama Asian African Reading Club (AARC).

Salah satu pendiri dan pegiat AARC, Adhew Habsta menyebut kegiatan tadarusan buku tentang Asia-Afrika telah berlangsung selama 13 tahun lamanya, tepatnya pada 15 Agustus 2009. Adhew menyebut, awal dari kegiatan mereka yaitu ikut meramaikan Festival Kemerdekaan yang digelar di Kota Bandung.

“Saya sebetulnya cuman orang yang diajak untuk membuat kegiatan agar Museum KAA itu jadi makmur. Dulu ada kang Deni Rachman, ada teman-teman dari UPI juga, terus ada Teh Fuji pustakawan Balai Pustaka, ada juga penyiar radio, dan orang-orang dari museum. Ditemukanlah kami untuk ikut mengelola kegiatan di Festival Kemerdekaan yang salah satu kegiatannya ada tentang buku,” tutur Adhew Habsta kepada BandungBergerak.id, Minggu, (14/8/2022) malam.

Saat itu, Deni Rachman menginginkan kegiatan tersebut terus berlanjut, tidak hanya digelar dalam satu hari saja atau digelar dalam festival besar saja. Mendengar ide yang diungkapkan oleh Deni, tentu semua yang terlibat pada acara sebelumnya menyetujuinya.

Sejak itulah mereka menamai perkumpulannya dengan nama Asian African Reading Club dan kegiatan tadarusan buku secara konsisten mereka laksanakan sampai sekarang.

Mereka tidak memiliki semboyan yang muluk-muluk untuk membuat perubahan dan dampak yang besar untuk dunia literasi di Kota Bandung agar menjadi lebih baik, atau meningkatkan semangat baca warga Kota Bandung, sebab mereka menyadari hal itu bukan sesuatu yang mesti dipaksakan.

Namun dengan membentuk kelompok baca Asian African Reading Club, setidaknya sedikit demi sedikit ada manfaat yang dapat mereka dapatkan dan berikan kepada orang lain.

“Tujuan awalnya memang bukan untuk membentuk kelompok literasi, tapi tujuan kita membentuk kumpulan ini yaitu untuk membangun kembali nilai-nilai semangat KAA dengan cara membaca. Metode yang kami gunakan itu dengan tadarus, yaitu membaca secara keroyokan, maksudnya setiap orang dapat giliran untuk membaca sebagaimana tadarusan Alquran dan diakhiri dengan diskusi,” ucapnya.

Sudah puluhan buku yang telah mereka bahas pada setiap hari Rabu sore hingga malam. Adhew menyebut AARC membatasi kategori buku yang mereka bahas, di antaranya mereka hanya membahas buku yang memiliki kaitannya dengan Asia dan Afrika saja, baik itu sejarah, sastra, dan yang lainnya. Pembatasan ini dilakukan untuk lebih mengenal nilai-nilai yang tertuang pada KAA.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
Bandung Hari Ini: Gugum Gumbira dan Kontroversi Jaipongan

Anggota komunitas Asian African Reading Club. Saat ini AARC telah berusia 15 tahun. AARC rutin menggelar membaca buku bersama di Museum Asia Afrika setiap hari Rabu. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*
Anggota komunitas Asian African Reading Club. Saat ini AARC telah berusia 15 tahun. AARC rutin menggelar membaca buku bersama di Museum Asia Afrika setiap hari Rabu. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*

Meraih Manfaat dan Apresiasi

Adhew tak kuasa membendung haru ketika dirinya diajak oleh Deni untuk ikut berkecimprung menjadi pegiat AARC. Sebelumnya Adhew memang sudah aktif di dunia literasi, namun ia mengaku pertemuannya dengan AARC semakin membuat dirinya meraih banyak manfaat dengan bertemu orang-orang yang luar biasa.

Selain itu ia menyebut pertemuannya dengan AARC membuat ia terselamatkan dari terjerumus ke dalam dunia yang gelap. Oleh karenanya salah satu alasan mengapa Adhew masih bertahan di AARC selama 13 tahun itu sebab ia merasa memiliki hutang yang mesti ia bayar karena di kala mudanya ia mengaku tidak bersungguh-sungguh dalam berliterasi.

Oleh karenanya ia juga tak kuasa membendung kebanggaan dan rasa harunya ketika para peserta AARC yang ia asuh kebanyakan dari anak-anak muda yang memiliki potensi luar biasa dan dapat menghasilkan karya yang baik untuk bangsanya. Tidak jarang orang yang pernah mengikuti kegiatan AARC kemudian diterima di universitas-universitas ternama, kemudian ada juga yang dipercaya menjadi narasumber untuk suatu acara, atau malah menjadi bagian dari staf di Museum Konferensi Asia Afrika.

“Saya bangga juga ketika ada peserta AARC yang baru menduduki bangku sekolah menengah atas sudah rajin membaca buku. Hebatnya buku yang ia baca itu bukan buku-buku yang receh, tapi buku karya Bung Hatta, dan buku-buku luar biasa lainnya. Dari perkumpulan ini, saya bisa bilang kalau generasi sekarang itu generasi yang hebat, generasi yang bisa melanjutkan tongkat estapet perjuangan generasi sebelumnya,” tutur Adhew.

Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, ia merasa sudah cukup bangga dapat mengurus anak-anak AARC dan dapat memberikan manfaat kepada khalayak umum sehingga dapat mengantarkan mereka ke gerbang perjuangan.

Hasil lain yang telah didapatkan dari kegiatan tadarusan buku, di antaranya telah merilis buku yang berjudul “Membaca Mohammad Yamin dan Kisah-kisah di Balik Tadarusan Buku AARC”, dan audiobook dari buku karya Dr. Roeslan Abdulgani yang berjudul “The Bandung Connectiong: Konferensi Asia Afrika di Tahun 1955”.

Adhew menyebut, potensi dari anak-anak AARC sebetulnya bukan hanya sebatas minat membaca dan menulis saja, tak jarang ada peserta yang memiliki keterampilan dalam bahasa, kesenian, dan lainnya. Pernah pada saat tadarusan buku Ali Sastromidjojo ada peserta yang malah menggambar sosok Pak Ali, kemudian gambarnya tersebut diberikan kepada cucunya Pak Ali sehingga membuat ia terharu dan sangat mengapresiasi kegiatan AARC.

Peran AARC akhirnya sangat membantu dalam meningkatkan dan meramaikan aktivitas literasi di Kota Bandung. Bahkan tidak jarang ada orang yang terinspirasi dan membuat kegiatan serupa di institusi atau di daerahnya masing-masing.

Menanggapi hal ini, salah satu pegiat dan pendiri AARC Deni Rachman berharap kegiatan AARC dapat terus bergulir secara konstiten membagikan semangat literasi kepada publik dan menjadi komunitas yang mandiri dengan fondasi kerelawanan. Terlebih saat ini AARC telah berperan sebagai bagian dari literasi ibukota Asia-Afrika dengan menggali khazanah literasi di Asia dan Afrika.

Peran AARC menjaga api kontuinitas gerakan literasi yang berasal dari inisiatif warga, semacam menjadi gir kecil literasi yang terus berputar di tengah acara literasi insidental yang kerap sifatnya seremonial. Bahan bacaan yang ditadaruskan juga menjadi bibliografi pustaka di Asia-Afrika,” ucap Deni saat dihubungi BandungBergerak.id, Senin (15/8/2022). 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//