Mengenang Ali Sastroamidjojo sebagai Penggagas Konferensi Asia Afrika
Nama Ali Sastroamidjojo tertutup pamor Bung Karno atau tokoh dunia lainnya. Peran Ali Sastroamidjojo sebagai penggagas Konferensi Asia Afrika orang ojadi sorotan
Penulis Reza Khoerul Iman2 April 2022
BandungBergerak.id - Terselenggaranya Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Kota Bandung tidak lepas dari seorang Ali Sastroamidjojo. Kini, konferensi yang mempertemukan 29 negara Asia dan Afrika untuk menentang kolonialisme itu genap berusia 67 tahun. Selama itu pula nama Ali Sastroamidjojo tenggelam.
Nama Ali tertutup pamor tokoh-tokoh lainnya, seperti Bung Karno yang memiliki pengaruh penting di level internasional, atau tokoh dunia lainnya sekelas Jawaharlal Nehru.
“Saya melihat Pak Ali Sastroamidjojo sampai hari ini agak tertutupi oleh perannya Bung Karno di KAA. Jadi seperti yang kita lihat di video-video iklan soal KAA, baik yang komersial atau lewat koran itu tetap Bung Karno yang menjadi simbolnya. Bukan untuk menyingkirkan Bung Karno, namun penting juga untuk mengkaji tidak hanya Bung Karno, tetapi Ali Sastroamidjojo juga sebagai penggagas ide KAA,” ucap Muhnizar Siagian, dosen Universitas Sebelas Maret.
Bersangkutan dengan hal itu, dalam memperingati hari ulang tahun KAA yang ke-67 Yayasan M. Ali Sastroamidjojo menggelar diskusi daring bertajuk “Pekan Pemikiran Ali Sastroamidjojo”. Diskusi tersebut akan diselenggarakan secara daring pada tanggal 18 - 24 April 2022 setiap pukul 20.00 WIB. Pada diskusi tersebut, pemikiran Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo akan dikupas dari berbagai sudut pandang mulai dari isu keamanan tradisional hingga non-tradisional.
Pertemuan pertama diskusi Pekan Pemikiran Ali Sastroamidjojo membahas tentang pembangunan di Asia Afrika dan relevansinya dengan pemikiran Ali Sastroamidjojo. Salah seorang narasumber pada diskusi tersebut, Muhnizar Siagian, menyatakan bahwa kondisi akademis dan lapisan masyarakat lainnya masih kurang memiliki spirit Asia Afrika.
Hal tersebut diketahui melalui riset kecil-kecilannya yang menunjukkan bahwa para mahasiswa dan akademikus sekarang masih sedikit sekali pengetahuan umumnya tentang Asia-Afrika, terkhusus pengetahuan tentang benua Afrika.
“Ini menjadi masalah untuk kita. Kita terlalu banyak terjebak pada hegemoni-hegemoni dari Eropa, Amerika, saya pikir Jepang dan Korea juga mempengaruhi. Keinginan-keinginan akademis itu lebih ke sana dalam semua hal,” tutur Muhnizar.
Hegemoni barat tersebut menjadi pekerjaan bagi dunia akademisi untuk memberikan peluang pada pandangan ke benua Asia-Afrika, khususnya benua Afrika. Namun Muhnizar menilai pandangan umum dan teropong akademis saja tidak cukup untuk meningkatkan spirit Asia Afrika. Dalam hal ini, pemikiran Ali Ali Sastroamidjojo menekankan untuk mempelajari dinamika politik internasional termasuk berbagai ideologi.
Ketiga hal tersebut, yaitu pandangan umum, teropong akademikus, dan pengetahuan tentang dinamika politik internasional, mampu untuk memberikan penjabaran yang mendalam secara akademis sampai ideologis mengenai ekonomi politik di Asia Afrika.
Selain itu melalui pemikiran Ali Sastroamidjojo dengan berlangsungnya KAA diharapkan dapat kerja sama ekonomi dan promosi kebudayaan Asia dan Afrika. Dengan demikian hegemoni barat, kolonialisme, atau neokolonialisme tidak lagi menjadi dominan dan tidak menjadi kiblat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Spirit Konferensi Asia Afrika dalam Perangko dan Radio
Penyebab Bandung semakin Hareudang
Nestapa Warga Korban Pembongkaran Rumah Bantaran Sungai Cibodas di Rusunawa Rancacili
Isu Pembangunan di Asia Afrika
Asia Afrika merupakan wilayah yang teritorialnya luas dan memiliki kompleksitas budaya, sejarah, politik dan sebagainya. Oleh karenanya, untuk pembangunan sosial dan infrastruktur di wilayah Asia Afrika bukan perkara mudah.
Mengenai isu pembangunan tersebut, akademikus dari Universitas Negeri Surabaya, Haryo Kunto W, memaparkan persoalan terkait isu pembangunan yang terjadi di Indonesia pada saat kolonial, pascakemerdekaan, hingga isu pembangunan yang terjadi hari ini.
Seperti yang terjadi pada masa-masa kolonial, Haryo menjelaskan ada praktik modernisasi kolonial, memperbaiki tanah jajahan agar lebih tereropanisasi, hingga mengenalkan pengetahuan-pengetahuan Eropa seperti teknik administratif dan birokrasi, teknik bangunan dan teknik industri, sampai teknik mengatur wilayah yang nantinya akan berlanjut di era kemerdekaan.
“Fun fact, para pemimpin negara yang datang ke KAA 1955 hampir semuanya pernah dididik dalam institusi kolonial, seperti Sukarno, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Kojo Botsio, Nasser, Nehru, dan sebagainya,” kata Haryo.
Pascakemerdekaan, pembangunan menjadi sebuah kewajiban bagi pemimpin poskolonial dari Asia Afrika, khususnya bagi Indonesia. Dalam hal ini terjadi beberapa perubahan seperti penggantian struktur sosial jajahan ke negara merdeka, modernisasi versi Asia Afrika (antikolonialisme dan imperialisme Eropa - Amerika), projek-projek infrastruktur pembangunan di Asia Afrika banyak menggunakan teknisi dari negara Asia Afrika, dan yang lainnya.
“Pembangunan yang terjadi di Indonesia seperti Sukarno memperbaiki negara pascapenjajahan, Suharto mengoreksi atas Orde Lama yang mengabaikan ekonomi dan kekacauan politik, dan Orde Reformasi koreksi atas otoritarianisme Orde Baru,” jelas Haryo.
Hingga hari ini isu pembangunan terus terjadi, berkembang, dan berubah menyesuaikan pada zamannya. Penjelasan Haryo menjelaskan peran pemerintah dalam isu pembangunan terkini menjadi bergeser, bukan lagi membuat perencanaan, namun lebih pada pemberdayaan, perangsangan, dan fasilitator.
Pemerintah bertugas menyiapkan kerangka hukum yang memadai untuk mengakui aneka ragam kelompok warga, kemudian memberi mereka kebebasan untuk menemukan arah hidupnya sendiri dalam arena strategis atau pengembangan otonomi dan tanggung jawab.